
Oleh: Lila Gusti, S.Pd.
(Aktivis Dakwah Deli Serdang)
Linimasanews.id—Indonesia boleh bangga menjadi negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Tetapi di balik angka itu, ada kenyataan pahit yang tak bisa terus disembunyikan. Umat Islam di negeri ini faktanya belum mendapatkan jaminan nyata untuk mengonsumsi makanan, minuman, kosmetik, dan barang pakai lainnya yang halal dan aman. Kasus demi kasus terus mencuat makanan populer mengandung babi, jajanan anak berformalin, kosmetik bercampur alkohol, membuktikan bahwa pengawasan selama ini rapuh, bahkan nyaris tidak ada. Ini bukan sekadar keteledoran. Ini adalah bentuk kelalaian terhadap hak asasi umat Islam untuk hidup sesuai tuntunan syariat. Allah Swt. berfirman,
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ كُلُوۡا مِمَّا فِى الۡاَرۡضِ حَلٰلًا طَيِّب وَّلَا تَتَّبِعُوۡا خُطُوٰتِ الشَّيۡطٰنِؕ اِنَّهٗ لَـكُمۡ عَدُوٌّ مُّبِيۡن
“Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 168)
Bagaimana mungkin ada jajanan yang telah berlabel halal ternyata itu mengandung babi. Jika pencantuman logo halal itu hanyalah inisiatif sepihak dari produsen, maka ini sesungguhnya sudah merupakan bentuk penipuan kepada publik, khusunya umat Islam. Lalu bagaimana pula dengan aneka makanan dan minuman serta produk lainnya yang sama sekali tidak mencantumkan logo halal dalam kemasannya, juga tidak menyatakan produknya mengandung zat yang diharamkan bagi umat Islam? Ironisnya lagi adalah adanya jenis makanan, minuman, bahkan obat-obatan yang sudah mengantongi izin edar dari Badan Pengawasan Makanan dan Obat-obatan (POM) dan terdaftar di Dinas Kesehatan justru mengandung zat-zat tertentu yang tidak ramah pada tubuh kita dan anak-anak kita.
Herannya, hingga kini produk-produk itu masih bisa bebas diakses dengan mudah. Hari ini kita juga layak prihatin dengan aneka jajanan anak-anak yang dijajakan di lingkungan tempat tinggal kita dan juga lingkungan sekolah. Kita yang berharap anak-anak dapat tumbuh kembang dengan baik, ternyata buah hati kita “terjejali” dengan makanan dan minuman yang sangat mengancam kesehatan. Lihatlah para pedagang makanan keliling itu, mereka tidak peduli dengan bahan-bahan yang mereka gunakan untuk mengolah makanan dan minuman, yang terpenting dagangannya laku dan digemari anak-anak, lalu mendatangkan banyak keuntungan baginya.
Belum lagi ketika kita berbelanja sayuran, buah-buahan, dan lauk pauk di pasar. Banyak sayuran yang ternyata mengandung unsur pestisida yang tinggi, begitu juga buah-buahan yang menjadi andalan kita sebagai sumber vitamin bagi tubuh, ternyata mengalami proses pematangan yang juga menggunakan bahan kimia. Hal sama juga terjadi pada ikan segar yang seharusnya menjadi sumber protein yang sangat bermanfaat bagi tubuh, ternyata mengalami proses pengawetan yang diduga mengandung formalin. Bahkan tahu yang merupakan sumber protein termurah juga diduga mengandung pengawet berbahaya.
Sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim, kasus ini adalah sebuah tamparan keras. Dalam Islam, makanan bukan sekadar persoalan rasa atau harga, tetapi bagian dari ketaatan kepada Allah. Makanan halal dan thayyib (baik dan sehat) adalah syarat mutlak.
Hukum Halal Jadi Mainan, Kesehatan Dikorbankan
Apa yang sedang terjadi di negeri ini, seakan mengonfirmasi bahwa hukum halal dikomersilkan menjadi komoditas bisnis. Sertifikasi halal bisa dimanipulasi. Banyak produk beredar tanpa pemeriksaan serius, dan masyarakat dipaksa membeli dalam ketidaktahuan. Kasus temuan 9 produk, termasuk 7 produk bersertifikat halal, ternyata mengandung unsur babi (porcine) menjadi salah satu indikasinya (detik.com, 21/4/2025). Ironisnya, produk-produk ini telah melalui proses audit halal, sidang fatwa, dan bahkan memperoleh sertifikat halal.
Temuan ini tentu menggoyahkan kepercayaan masyarakat terhadap jaminan produk halal dan menimbulkan pertanyaan serius tentang kredibilitas sistem sertifikasi halal di Indonesia. Kasus ini mengungkap potensi celah dalam proses pengawasan produk halal. Lebih parah lagi, banyak produk mengandung zat haram atau berbahaya tapi tetap lolos ke pasar. Anak-anak, orang tua, umat yang awam, semua menjadi korban.
Sementara pada kasus berbeda ada Almaz Fried Chicken menghadapi kendala dalam memperoleh sertifikat halal. Selain prosesnya yang memakan waktu yang lama, biaya yang dikenakan pun sangat tinggi. Kasus ini menjadi sorotan lantaran adanya dugaan pungutan liar yang mencapai miliaran rupiah.
Ini adalah bentuk kezaliman. Kezaliman ini akan terus terjadi selama negara tidak sungguh-sungguh mengambil peran sebagai pelindung syariat dan penjaga umat. Seyogianya pemerintah melakukan pengawasan ketat dan rutin terhadap seluruh rantai distribusi makanan, mulai dari bahan mentah hingga produk jadi. Negara juga harus melakukan tindakan penegakan hukum yang tegas terhadap produsen, distributor, atau pihak manapun yang terbukti melanggar ketentuan halal dan thayyib.
Pemerintah juga perlu melakukan transparansi informasi kepada masyarakat terkait hasil uji laboratorium, sertifikasi halal, dan keamanan produk makanan. Negara wajib memberikan dukungan terhadap industri halal (baik yang berskala besar, menengah, kecil, dan kaki lima) lokal dengan memberikan insentif kepada pelaku usaha yang berkomitmen memproduksi makanan sehat dan halal. Sudah seharusnya pemerintah juga memberikan pendidikan publik, baik yang kepada berperan sebagai produsen maupun konsumen melalui kampanye yang mengajarkan pentingnya makanan halal dan thayyib.
Pandangan Islam dalam Menjamin Hak Konsumen
Dalam pandangan Islam, pemimpin adalah pelindung dan penanggung jawab rakyatnya. Rasulullah saw. bersabda, “Imam (pemimpin) adalah pemelihara dan dia bertanggung jawab terhadap rakyat yang dipeliharanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ini berarti pemerintah memiliki kewajiban untuk memastikan setiap warga negara mendapatkan akses terhadap makanan yang halal dan thayyib. Islam menawarkan solusi tuntas dan menyeluruh, bukan tambal sulam. Dalam Islam, tugas negara (Khilafah atau pemerintahan Islam) adalah mengawasi semua produksi dan peredaran barang konsumsi. Semua produk yang beredar harus diverifikasi kehalalan dan keamanannya sebelum dilepas ke pasar bukan sesudah terjadi masalah. Ini bagian dari siyasah syar’iyyah (kebijakan berdasarkan syariat).
Negara juga wajib melarang secara mutlak produksi, distribusi, dan konsumsi makanan haram dan berbahaya. Tidak ada kompromi, tidak ada ruang bagi “izin terbatas”, apalagi permainan bisnis. Pemerintah harus mengutus qadhi hisbah (hakim pengawas pasar) untuk rutin melakukan inspeksi ke pasar, pabrik, restoran, dan toko. Siapa pun yang melanggar hukum halal-thayyib dihukum tegas.
Islam juga mendorong penggunaan teknologi untuk menjaga syariat. Dengan sistem yang canggih dan terpusat, pelacakan asal-usul, bahan baku hingga produk akhir harus bisa diakses publik secara transparan.
Hak Umat yang Wajib Dipenuhi
Selama negara tetap membiarkan pengawasan halal dan keamanan pangan berjalan setengah hati, selama itu pula umat akan terus hidup dalam ancaman: ancaman kehilangan keberkahan hidup dan kesehatan tubuh. Mengonsumsi halal-thayyib adalah hak dasar seorang muslim. Memastikan hak itu terjaga adalah kewajiban negara. Islam tidak hanya memerintahkan makan yang halal, tetapi juga membangun sistem untuk mewujudkannya. Saatnya umat menuntut perubahan — bukan lagi sekadar minta maaf setelah kasus mencuat, tapi membangun sistem kehidupan yang betul-betul berlandaskan syariat Islam secara total. Wallahualam bisawab.