
Oleh: Elfia prihastuti, S.Pd.
(Praktisi Pendidikan)
“Gajah bertarung dengan gajah, pelanduk mati di tengah-tengah.”
Linimasanews.id—Itulah analogi yang diungkapkan oleh seorang cendekiawan muslim, Ustadz Ismail Yusanto untuk menggambarkan situasi politik internasional akhir-akhir ini. Rivalitas dua negara besar di dunia, Cina dan AS tengah mewarnai percaturan politik ekonomi dalam satu dekade terakhir. Persaingan sengit antara kedua negara tersebut berujung pada perang tarif impor di antara keduanya. Situasi ini tentu membawa dampak cukup signifikan bagi negara-negara dunia ketiga yang sebagian besar adalah negeri-negeri muslim, yang bermitra dengan kedua negara tersebut, termasuk Indonesia.
Fakta Perang Dagang Cina vs AS
Presiden Amerika Serikat Donald Trump kerap menampilkan kejutan-kejutan yang mampu mengusik negara-negara di dunia. Emosi pemimpin negara adidaya ini sering tidak stabil selama berkuasa. Seperti terjadinya perang dagang antara AS dan Cina, sejatinya dipicu oleh kekesalan Presiden Donald Trump karena neraca perdagangan AS selalu defisit dibandingkan Cina.
Oleh karena itu, Trump memilih langkah proteksionisme untuk menyeimbangkan neracanya. Ia mengambil langkah menaikkan tarif bea impor surya panel dan mesin cuci masing-masing menjadi sebesar 30 persen dan 20 persen. Sejak itu genderang perang dagang mulai bertalu-talu, tepatnya 22 Januari 2018 (CNN Indonesia, 04/11/2020).
Tidak hanya itu, Trump juga menaikkan bea masuk baja sebesar 25 persen dan 10 persen untuk aluminium. Sontak, Cina pun tak mau kalah melakukan balasan turut menaikkan produk daging babi dan skrap aluminium mencapai 25 persen dan memberlakukan tarif 15 persen untuk 120 komoditas AS. Beijing juga telah mengadu kepada WTO perihal kenaikan tarif aluminium, namun tidak menemukan kata sepakat di antara keduanya. Pada tahun 2025, ketegangan perang tarif kembali memanas. Dengan alasan yang sama yaitu dalam rangka menyeimbangkan arus perdagangan global AS yang defisit Trump kembali mengambil langkah perbaikan dengan mengumumkan kenaikan tarif resiprokal. Tak hanya Cina, tapi ketentuan yang sama juga berlaku pada mitra dagang AS.
Pada 2 April 2025, Trump memutuskan untuk memberlakukan kombinasi tarif dasar sebesar 10 persen untuk semua barang yang masuk ke AS. Negara yang tercatat defisit perdagangan tertinggi dengan AS juga akan dibebankan tarif resiprokal yang lebih tinggi lagi. Untuk Cina dikenakan tarif timbal balik senilai 34 persen (Tempo.co.id, 10/04/2025).
Sebagai balasannya, Cina ikut menerapkan tarif sebesar 34 persen untuk produk-produk AS. AS pun mengancam akan mengenakan tarif sebesar 50 persen. Demi membalas AS Cina pun membebankan tarif sebesar 84 persen. Saling membalas kenaikan tarif terus berlangsung antara kedua negara tersebut, hingga akhirnya mencapai 125 persen.
Bukan Sekadar Perang Tarif
Perang dagang yang terjadi antara AS dan Cina sebenarnya bukan sekadar perang tarif. Hal ini merupakan sebuah kompetisi strategis yang dilakukan oleh dua kekuatan besar di dunia. Konflik dagang ini tak pelak akan melibatkan berbagai dimensi, di antaranya dimensi ekonomi, teknologi dan geopolitik. Dampaknya akan merembet pada negara-negara berkembang yang juga merupakan negeri-negeri muslim termasuk Indonesia.
Selama lebih dari dua dekade, AS tidak mempunyai pesaing secara global. Negara ini menjadi kekuatan yang sulit dikalahkan. Strategi yang dibangun selalu memberikan banyak keuntungan bagi negara paman Sam ini. Namun kemunculan Cina yang mulai meluas pengaruhnya, cukup membuat AS ketar-ketir dominasinya akan melemah. Terlebih, banyak negara-negara yang berada dalam pengaruhnya, secara perlahan mulai berpihak pada Cina.
Proyek Belt and Route Initiative (BRI) merupakan alat Cina untuk membabat pengaruh AS di kawasan Indo-pasifik. Cina secara agresif meluncurkan proyek tersebut melalui kerja sama perdagangan dan investasi di kawasan yang memang menjadi medan persaingan antar keduanya. Cina juga melancarkan aktivitas dominasi di kawasan Laut Cina Selatan yang diklaim sebagai wilayah kedaulatannya.
Eksploitasi sumber daya di kawasan Laut Cina selatan ternyata menghantarkan Cina menjadi negara dengan belanja militer terbesar kedua setelah AS. Oleh karena itu, Cina meningkatkan aktivitas militernya di kawasan ini dan melakukan kerjasama baik ekonomi maupun militer, dengan negara-negara di kawasan ini. Meningkatnya kekuatan pengaruh Cina di berbagai kawasan dunia tentu akan mempersulit AS untuk melindungi sekutunya sekaligus menghambat kepentingan AS. Jika kekuatan Cina tak segera dibendung, maka akan membuat AS kehilangan posisinya, khususnya di Indo-pasifik dan mengancam posisi strategisnya secara global.
Untuk itu, berbagai upaya strategis dilakukan AS untuk membendung kekuatan Cina. Di antaranya melakukan pendekatan kepada negara-negara sahabat dengan memberikan bantuan, menjalin kerja sama dengan mitra strategis seperti Jepang, korea, Australia dan berbagai upaya lainnya untuk membendung kekuatan Cina termasuk melakukan proteksionisme terhadap Cina dan mitra dagang yang neraca surplus dibanding AS.
Retaknya Kapitalisme
Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Dr. Rizal Taufikurrahman menilai, terkait perang tarif resiprokal Trump menunjukkan dunia saat ini bukan mengalami krisis biasa. Ternyata kebijakan ini telah mengakibatkan gejolak ekonomi global yang berimbas pada ketegangan geopolitik, perang dagang, disrupsi ekonomi dan lonjakan ketimpangan. Faktanya, pasar bebas, liberalisasi dan deregulasi yang sudah lama menjadi alat untuk mencengkram dunia, tidak lagi ampuh bagi sistem kapitalis. Kebijakan yang ditempuh Trump adalah strategi baru agar AS bisa mempertahankan eksistensi hegemoninya secara global.
Sulit disangkal, bahwa secara kasat mata sebenarnya kapitalisme telah mengalami kegagalan. Ketimpangan ekstrem dengan 1% orang menguasai 50% aset dunia, adalah tanda kegagalan sistem ini. Ditambah lagi krisis berulang yang terjadi di percaturan politik ekonomi dunia, seperti di tahun 1998, krisis akibat pandemi dan yang lainnya. Demikian pula kerusakan lingkungan yang parah akibat kerakusan dalam ekploitasi SDA. Semua persoalan diatas cukup menjadi bukti kapitalisme mulai retak.
Menengok Sistem Khilafah
Dalam pandangan Islam geopolitik dunia dipetakan menjadì dua, Dar al-Islam (wilayah Islam) dan Dar al-kufur (Bukan Wilayah Khilafah). Dar al-kufur yang berada di luar wilayah Khilafah, dipetakan menjadi kafir harbi fi’lan (kafir yang musuh riil) dan kafir Harbi hukman (kafir musuh potensial). Dikatakan kafir harbi fi’lan karena secara riil memerangi Islam dan kaum muslim. Disebut kafir harbi hukman karena tidak memerangi Islam dan kaum muslimin tetapi berpotensi melancarkan serangan.
Berkaitan dengan ekspor impor ketentuannya adalah warga negara muslim atau kafir dzimmi (orang kafir yang menjadi warga negara dalam Khilafah) dilarang menjual persenjataan, sistem komunikasi, alat-alat berat dan strategis lainnya kepada negara, perusahaan atau warga negara Dar al-kufur. Sedangkan barang-barang yang tidak strategis seperti pakaian, makanan, perabotan, souvenir dan lain-lain maka seorang muslim atau kafir dzimi boleh menjualnya kepada negara kafir. Namun jika ketersediaan komoditas tersebut di dalam negeri amat sedikit dan akan membahayakan ketahanan ekonomi Khilafah maka negara Khilafah melarang warga negaranya untuk menjualnya, baik muslim maupun kafir dzimi menjual kepada negara lain.
Perdagangan luar negeri dengan orang kafir harbi fi’lan jelas diharamkan apapun komoditasnya. Sementara Khilafah mengizinkan kaum muslimin dan kafir dzimi untuk mengimpor komoditas dari negara-negara kafir mu’ahad yaitu orang kafir yang negaranya menjalin perjanjian dengan Khilafah. Maka mereka akan diperlakukan sesuai dengan butir-butir perjanjian tersebut baik yang menyangkut komoditas yang mereka impor dari negara Khilafah maupun komoditas yang mereka ekspor dan negara Khilafah. Hanya saja mereka tetap tidak boleh mengimpor persenjataan dan alat-alat pertahanan strategis dari negara Khilafah. Namun orang kafir yang membuat perjanjian dengan Khilafah dibolehkan memasukkan komoditas perdagangan ke dalam negara Khilafah.
Sementara itu, Khilafah juga melakukan sejumlah proteksi untuk melindungi stabilitas ekonomi. Akan tetapi, proteksi yang dilakukan oleh Khilafah tidak sama dengan proteksi yang dilakukan oleh negara kapitalis. Proteksi yang dilakukan oleh Khilafah tidak ditujukan untuk melindungi stabilitas ekonomi saja tetapi juga ditujukan untuk mewujudkan stabilitas politik dan tugas mengemban Islam ke seluruh dunia.
Cukai hanya dikenakan kepada pelaku perdagangan dari negara kafir. Adapun pelaku perdagangan dari warga negara Khilafah baik muslim atau kafir dzimi maka sama sekali tidak dikenakan cukai. Dengan diterapkannya sistem emas dan perak sebagai standar baku mata uang, maka terjadinya defisit neraca perdagangan negara Khilafah juga bisa dapat dihindari. Karena kurs valuta bersifat tetap sehingga inflasi nol
Negara Khilafah juga mempunyai bahan-bahan mentah yang dibutuhkan umat dan negara, sehingga tidak membutuhkan lagi barang-barang tersebut dari luar. Karena itu, Khilafah sudah bisa swasembada dan tidak perlu mengimpor dari luar. Ini menjadikan emas dan perak sebagai mata uang Khilafah tetap tidak keluar. Semua itu akan menghantarkan pada perekonomian negara yang sangat kuat.
Saatnya Pelanduk Bertransformasi Menjadi Gajah
Melihat Posisi Cina yang mampu menyaingi AS, tentu hal ini sangat mungkin bagi umat Islam untuk melakukan hal yang melampaui Cina. Sudah saatnya umat Islam berhenti menjadi penonton dan mulai bertransformasi menjadi gajah. Sebab kaum muslimin memiliki potensi yang akan membuka jalan menjadi negara adidaya bahkan menjadi negara ula.
Potensi SDA yang melimpah, jumlah penduduk yang banyak, dan posisi yang strategis merupakan modal dasar yang akan melesatkan kaum muslimin pada puncak peradaban tertinggi dan menjadi kekuatan tak tersaingi. Selain itu, modal paling berharga yang dimiliki oleh umat Islam adalah eksistensi ideologi Islam yang masih diemban umat Islam.
Islam sebagai sistem hidup telah memberikan panduan dalam mengatur urusan manusia, termasuk dalam masalah ekonomi. Pengaturan masalah kepemilikan barang dan jasa, pembelanjaan dan distribusinya, termasuk di dalamnya pengelolaan fiskal, moneter, industri, dan perdagangan telah dijelaskan secara rinci berdasarkan tuntunan wahyu Ilahi.
Kapitalisme yang tidak lagi memadai dalam memberi solusi kehidupan, menjadi pertanda akan bergilirnya kekuasaan bagi umat Islam, sebagaimana yang disebutkan dalam surah Ali Imran ayat 140,
وَتِلْكَ الْأَيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِ
“Masa (kehancuran dan kejayaan) itu Kami pergilirkan di antara manusia.”
Wallahualam bisawab.