
Oleh: Adv. Satya Widarma, S.H., M.Hum.
Linimasanews.id—Perkembangan teknologi kecerdasan buatan (AI) dalam produksi konten media, baik berita maupun media sosial, telah membawa kemudahan sekaligus tantangan. Namun, penggunaan AI yang mengabaikan nilai humanistik justru berpotensi menimbulkan dampak hukum yang serius. Berdasarkan kajian normatif, hal ini dapat bertentangan dengan prinsip perlindungan hak publik atas informasi yang akurat, berimbang, dan berkeadilan sosial.
Secara hukum, aplikasi AI yang tidak dilengkapi dengan kemampuan evaluasi emosional atau etika normatif berisiko melanggar prinsip non-maleficence (tidak merugikan) sebagaimana diatur dalam Kode Etik Jurnalistik yang selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi serta menerapkan asas praduga tak bersalah. Misalnya, konten yang dihasilkan secara otomatis sering kali mengabaikan dampak psikologis pada korban atau kelompok rentan, sehingga berpotensi melanggar Pasal 27B ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang melarang penyebaran konten yang menimbulkan rasa tidak nyaman atau ketakutan.
Selain itu, homogenisasi perspektif oleh algoritma berbasis tren dapat mengancam prinsip keberagaman informasi yang dijamin dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Algoritma cenderung mereproduksi konten yang populer, sehingga suara kelompok minoritas atau marjinal sering kali terpinggirkan karena dianggap tidak populer. Hal ini bertentangan dengan asas keadilan sosial dan hak setiap individu untuk mendapatkan informasi yang berimbang.
Ketiadaan mekanisme critical reasoning pada AI juga menimbulkan risiko penyebaran misinformasi. Meskipun Pasal 28 ayat (1) UU ITE mengatur larangan penyebaran informasi yang tidak benar, AI tidak memiliki kemampuan untuk memverifikasi kebenaran konteks atau mendeteksi bias dalam data. Akibatnya, muncul legal vacuum terkait pertanggungjawaban hukum, terutama ketika konten bermasalah diproduksi secara otomatis, sedangkan dalam Pasal 15 ayat (2) UU ITE dikatakan bahwa Penyelenggara Sistem Elektronik bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan sistem elektroniknya dan ketentuan ini tidak berlaku dalam hal dapat dibuktikan terjadinya kesalahan dan/atau kelalaian pihak Pengguna Sistem Elektronik sebagaimana Pasal 15 ayat (3) UU ITE.
Pengabaian terhadap nuansa kultural dan lokalitas dalam konten AI juga dapat memicu sengketa hukum. Misalnya, konten yang tidak sensitif terhadap nilai-nilai budaya atau agama berpotensi melanggar Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penodaan agama atau Pasal 27B ayat (2) UU ITE tentang pencemaran nama baik. Atau konten yang tidak sensitif terhadap persoalan medis karena AI memberikan diagnosis medis yang keliru, menyebabkan kerugian pasien. Sengketa hukum dapat muncul antara pasien, dokter dan pengembang sistem AI. Semua hal ini menimbulkan risiko hukum bagi pihak-pihak terkait, baik pengembang, platform, maupun pengguna sistem elektronik.
Aspek pertanggungjawaban hukum menjadi persoalan krusial dalam penggunaan AI. Ketidakjelasan subjek hukum yang bertanggung jawab atas konten bermasalah menciptakan kesulitan dalam penegakan hukum. Oleh karena itu, diperlukan penegasan legal standing melalui revisi regulasi sektoral, seperti integrasi prinsip human-in-the-loop dalam Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi dan penguatan audit etika berbasis UU ITE serta KUHP pada pengembangan algoritma.
Secara kebijakan, pembentukan lembaga pengawas independen untuk mengevaluasi konten generatif AI menjadi langkah penting untuk mencegah degradasi nilai humanistik, karena jika tidak, bahkan berkemungkinan kelak pengawas independen juga berwujud platform AI. Penguatan kerangka hukum harus diarahkan untuk memastikan AI berfungsi sebagai alat bantu (tools), bukan pengendali (master), dalam ekosistem media. Tanpa intervensi kebijakan yang menjunjung transparansi dan proporsionalitas, konten AI berpotensi mengikis tatanan sosial serta menghambat terwujudnya keadilan informatif sesuai amanat konstitusi.