
Oleh: Muzaidah
(Aktivis Dakwah Muslimah)
Linimasanews.id—Di balik layar permainan yang tampak menghibur, industri judi online menyimpan kisah pilu: rumah tangga hancur, utang menumpuk, hingga nyawa melayang akibat stres dan tekanan ekonomi. Dalam bayang-bayang keuntungan fantastis, judi online terus menjangkau generasi muda, ibu rumah tangga, hingga kalangan profesional. Mereka terseret oleh mimpi semu menjadi kaya mendadak. Ironisnya, negara yang semestinya melindungi justru tampak ragu bahkan lemah dalam menindak praktik haram ini.
Menurut Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Budi Gunawan, perputaran uang judi online sepanjang 2024 mencapai Rp900 triliun. Angka fantastis ini mencerminkan betapa luasnya jaringan perjudian digital yang menjangkau seluruh lapisan masyarakat (CNN Indonesia, 21/11/2024).
Laporan terbaru dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkap bahwa perputaran dana judi online tahun 2025 melonjak menjadi Rp1.200 triliun. Ini berarti ada peningkatan signifikan hanya dalam waktu satu tahun, memperlihatkan bahwa langkah penanganan yang ada belum membuahkan hasil berarti (Viva.co.id, 27/4/2025).
Sumber lain dari DetikNews juga menyebutkan bahwa lonjakan perputaran dana ini bukan hanya akibat banyaknya pemain, tetapi juga karena keterlibatan jaringan bandar internasional dan lemahnya sistem pengawasan negara (Detik.com, 24/4/2025).
Angka-angka mencengangkan ini menjadi tamparan keras bagi negara yang selama ini gencar mengkampanyekan gerakan anti-judi. Meski gencar di media, praktiknya longgar dan tidak menyentuh akar persoalan. Dalam kapitalisme, apa pun yang menguntungkan secara finansial–termasuk judi–diberi ruang untuk tumbuh, apalagi jika memberikan pemasukan lewat pajak dan “sumbangan” tidak resmi ke kantong pejabat.
Alih-alih diberantas, judi online justru difasilitasi oleh ekosistem digital yang tidak dikendalikan dengan serius. Iklan besar, celah regulasi, dan lemahnya sanksi hukum membuat industri ini subur. Parahnya lagi, sistem kapitalis menciptakan ketimpangan ekonomi yang membuat rakyat rentan mencari “jalan pintas” melalui judi. Ketika kebutuhan pokok sulit dipenuhi dan lapangan kerja makin sempit, tawaran kekayaan instan menjadi sangat menggoda.
Lemahnya penegakan hukum semakin diperparah oleh banyaknya aparat dan pejabat yang justru terlibat. Hal ini memperlihatkan bahwa negara tidak netral, bahkan menjadi bagian dari masalah. Sanksi yang diberikan pun tidak menimbulkan efek jera, sehingga judi online terus berkembang dengan wajah dan nama yang berbeda.
Fakta lainnya, promosi judi online kini masuk lewat media sosial, menggunakan influencer dan konten kreator yang menyamarkan praktik haram tersebut sebagai “hiburan” atau “game.” Ini makin memudahkan generasi muda untuk terjerumus tanpa sadar. Ketika tokoh publik ikut mempromosikan, efek normalisasi makin meluas. Masyarakat tak lagi melihat judi sebagai perbuatan buruk, tapi sebagai peluang.
Berbeda dengan sistem kapitalisme yang membebaskan dan memikirkan untung-rugi, Islam memandang judi sebagai haram secara mutlak. Allah Swt. berfirman dalam surah Al-Ma’idah ayat 90, “Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya khamar, judi, berhala, dan mengundi nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan keji dari perbuatan setan. Maka jauhilah agar kamu beruntung.”
Dalam sistem Islam (Khilafah), negara memiliki tanggung jawab penuh dalam menjaga masyarakat dari segala bentuk kemaksiatan, termasuk judi. Sistem Islam tidak hanya menindak pelaku dan bandar judi dengan hukum takzir (hukuman yang ditentukan oleh negara), tetapi juga mencegah peluang munculnya kembali praktik tersebut. Negara dalam sistem Islam membangun sistem pendidikan berbasis akidah Islam untuk menanamkan kesadaran halal-haram sejak dini. Dakwah fikriyah dilakukan secara terus-menerus untuk membentuk opini umum yang mendukung ketaatan kepada hukum Allah. Media dikendalikan untuk menyebarkan nilai-nilai Islam, bukan budaya serba bebas ala Barat yang menormalisasi judi dan gaya hidup hedonis.
Sistem Islam (Khilafah) memiliki pendekatan menyeluruh dalam memberantas judi. Pertama, melarang segala bentuk aktivitas perjudian secara mutlak dan menghukumnya sesuai syariat. Kedua, membangun sistem ekonomi Islam yang adil agar masyarakat tidak terdorong mencari nafkah lewat cara haram.
Ketiga, menyediakan lapangan kerja dan jaminan kebutuhan dasar (sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan lainnya) secara langsung oleh negara. Keempat, menanamkan nilai takwa melalui sistem pendidikan Islam agar masyarakat menilai tindakan bukan dengan asas manfaat, tetapi halal dan haram. Kelima, melakukan amar makruf nahi munkar yang aktif di tengah masyarakat untuk mencegah maksiat secara menyeluruh.
Ketika negara masih menggunakan cara pandang kapitalistik yang menilai segala sesuatu dari untung-rugi materi, maka judi akan terus berkembang selama ada pihak yang diuntungkan. Negara bisa saja menutup satu situs judi, tapi akan muncul seribu situs lainnya. Tanpa sistem nilai yang kuat dan arah ideologis yang benar, semua kebijakan hanya tambal sulam.
Solusi Islam tidak hanya menyelesaikan gejala, tetapi langsung menyasar akar masalah: sekulerisme yang mencabut peran agama dari kehidupan. Dengan penerapan syariat Islam secara kaffah dalam bingkai Khilafah, praktik judi tidak hanya dilarang tetapi dicegah secara sistemik.
Fenomena judi online yang makin meluas, perputaran dana triliunan rupiah, serta dampaknya yang merusak masyarakat adalah bukti nyata bahwa kapitalisme tidak mampu menyelesaikan persoalan ini. Negara hanya menjadi pengawas dari kejauhan tanpa melakukan tindakan nyata, yang terjebak dalam kepentingan ekonomi dan politik.
Sebaliknya, Islam hadir dengan solusi menyeluruh: bukan hanya menghukum, tetapi juga membangun individu bertakwa, masyarakat peduli, dan negara yang bertanggung jawab penuh menjalankan syariat. Hanya dalam naungan sistem Islam, pemberantasan judi bisa dilakukan secara tuntas, menyeluruh, dan mencegah kemunculan kembali melalui mekanisme hukum, pendidikan, ekonomi, dan budaya yang saling menguatkan. Wallahualam bisawab.