
Oleh : Tri Cahya Arisnawati (Aktivis Dakwah)
Linimasanews.id—Ramai di media sosial kebijakan Kang Dedi Mulyadi (KDM) mengenai syarat penerimaan bansos dengan KB vasektomi bagi kepala keluarga. Hal ini mengundang atensi dari berbagai pihak masyarakat, pengamat, hingga MUI. Pihak yang pro dengan kebijakan KDM menganggap, orang miskin yang banyak anak sebagai kezaliman orang tua terhadap anaknya karena tidak mampu membiayai.
Sementara itu, KDM menyebut, tujuan kebijakannya itu untuk menekan angka kelahiran dan menurunkan kemiskinan. Ia menyampaikan bahwa banyak permintaan bantuan kelahiran yang nilainya tinggi, terutama untuk anak keempat atau kelima, sering berasal dari keluarga miskin. Karena itu, ia mengusulkan, pemberian insentif sebesar Rp500.000 bagi warga yang bersedia melakukan vasektomi, sebagai bentuk tanggung jawab terhadap keluarga.
Kebijakan ini mendapat penolakan dari berbagai tokoh. Salah satunya, Direktur Rujak Center for Urban Studies Elisa Sutanudjaja menilai hal itu sebagai bentuk diskriminasi terhadap warga miskin. Ia menegaskan, seharusnya KB vasektomi tidak dijadikan syarat untuk menerima bantuan. Elisa juga menyebut, angka kelahiran di Indonesia juga sudah menurun dalam 50 tahun terakhir, dari 5,61 persen menjadi sekitar 2,18 persen. Karena itu menurutnya, pendekatan yang lebih efektif adalah dengan membuka akses pendidikan, terutama bagi wanita (Tempo.co, 05/5/2025).
Penolakan keras juga disampaikan oleh Ketua Bidang Dakwah dan Ukhuwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat, KH. Cholil Nafis. Dalam akun media sosial X @cholilnafis pada Kamis, 1 Mei 2025, Cholil menyebut bahwa kebijakan tersebut bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam karena menganjurkan pemandulan permanen. Ia juga menyebutkan bahwa konsep KB dalam Islam tidak berarti menghentikan kelahiran, melainkan menunda atau mengatur jarak kehamilan demi kemaslahatan keluarga. Ia juga berpendapat bahwa fokus penanggulangan kemiskinan seharusnya diarahkan pada penciptaan lapangan kerja, bukan membatasi kelahiran (Indonesians.id, 1/5/2025).
Sungguh kenyataan miris. Warga miskin dianggap beban oleh pemerintah. Sekilas kebijakan ini dirasa bisa membantu mengatasi kemiskinan dan meringankan beban keluarga miskin, namun setelah dikaji secara mendalam, ada unsur diskriminasi dan juga pelanggaran nilai-nilai ajaran Islam di dalamnya. Banyak anak dianggap musibah dan beban karena keluarga miskin yang banyak anaknya kerap meminta bansos untuk membantu meringankan kebutuhan sehari-hari.
Lebih parahnya lagi, ketika orang tua yang memiliki banyak anak dianggap menzalimi anak-anaknya karena keterbatasan mengakses pendidikan, kesehatan hingga memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Akar Permasalahan
Kemiskinan merupakan masalah klasik yang telah ada sebelum Indonesia merdeka, namun belum juga tuntas tertangani. Hal itu disebabkan ketidakmampuan pemerintah untuk melihat akar permalasahan yang menjadi penyebab utama kemiskinan. Alhasil, solusi yang diberikan pun tambal sulam, bahkan kadang menambahkan rumit permasalahan.
Pemerintah menganggap jumlah anak yang melebihi standar (dua anak) sebagai penyebab kemiskinan. Padahal sesungguhnya, banyaknya jumlah anak bukanlah penyebab kemiskinan.
Penyebab kemiskinan adalah ketidaktersediaan lapangan pekerjaan yang memadai bagi jumlah penduduk usia produktif, akses pendidikan yang rendah, dan pengelolaan sumber daya alam (SDA) oleh swasta, baik asing mupun aseng. Padahal sejatinya, SDA tidak boleh dikelola apalagi dimiliki oleh pihak swasta. Sebab, jika swasta yang mengelola, hasilnya sebagian besar akan masuk ke kantong swasta. Artinya, menguntungkan dan menambah kekayaan swasta. Sedangkan rakyat, hanya bisa gigit jari karena tidak merasakan hasil dari kekayaan alam yang mestinya juga mereka miliki.
Inilah penyebab kemiskinan yang sesungguhnya. Sistem kapitalisme memberi ruang bagi para pemilik modal (swasta) untuk menguasai SDA. Padahal sejatinya, SDA tersebut adalah milik rakyat. Negara bukan berpihak pada rakyat, justru memberi fasilitas kepada para pemilik modal untuk mengeruk SDA melalui berbagai kebijakan dan undang-undang.
SDA seharusnya bisa dinikmati oleh rakyat melalui berbagai kemudahan akses, bahkan gratis terhadap kebutuhan dasar, seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Begitulah jika daa sistem Islam. Islam tidak memberi ruang sedikitpun bagi swasta untuk menguasai SDA.
Dalam Islam, negara benar-benar bertindak sebagai raa’in (pengurus urusan rakyat) yang benar-benar bertanggung jawab atas apa dan siapa pun yang dipimpinnya berlandaskan hukum Islam. Bukan hanya sebagai regulator yang menyerahkan segala sesuatunya kepada pihak swasta sebagaimana sistem kapitalis saat ini. Hal inilah yang membuat rakyat dan penguasa dalam sistem kapitalis seperti berjual beli sebab dengan mengandalkan swasta. Negara pun hanya memikirkan untung rugi.
Islam memiliki seperangkat aturan yang sempurna untuk menyelesaikan kemiskinan hingga ke akar masalahnya. Islam memiliki jaminan agar kemiskinan bisa diselesaikan. Berikut beberapa hal yang dapat dilakukan negara untuk menuntaskan kemiskinan.
Pertama, negara menjamin terpenuhinya kebutuhan primer masyarakat. Hal itu dengan mewajibkan laki-laki untuk mencari nafkah untuk keluarganya. Apabila tidak bisa, kewajiban itu diserahkan pada kerabat dekat. Jika tidak ada kerabat dekat, baru hal itu akan diambil alih oleh negara. Masyarakat yang kaya akan didorong untuk membantu rakyat miskin. Mereka melakukannya atas dasar dorongan keimanan.
Kedua, Islam akan membagi kepemilikan menjadi tiga, yaitu individu, umum, dan negara. Individu bebas mendapatkan harta, asalkan caranya tidak bertentangan dengan hukum syarak. Sementara itu, kepemilikan umum, seperti SDA, akan dikelola oleh negara dan hasilnya akan dikembalikan kepada rakyat, swasta dilarang memilikinya. Sedangkan kekayaan negara, akan dikelola oleh negara untuk kepentingan negara.
Ketiga, negara wajib mendistribusikan kekayaan secara merata, seperti memberikan tanah kepada siapa saja yang mampu mengelola. Keempat, pembangunan ekonomi akan bertumpu pada sektor riil. Dengan begitu, kekayaan yang ada itu asli, bukan sesuatu yang diada-adakan.
Begitulah cara Islam dalam menuntaskan kemiskinan. Cara-cara tersebut hanya bisa dilakukan dalam sistem Islam, tidak bisa diterapkan di sistem kapitalisme hari ini. Jadi, sudah saatnya kaum muslim mencampakkan sistem kapitalisme yang sejatinya hanya membawa kerusakan. Selayaknya umat Islam menerapkan sistem Islam yang berlandaskan akidah Islam.