
Oleh: Neti Ernawati
Linimasanews.id—Pernyataan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi (KDM) mengenai vasektomi bagi kepala keluarga penerima bantuan, menuai kontroversi. KDM berharap penerima bantuan dengan jumlah anak yang banyak mau berpartisipasi dalam program keluarga berencana (KB) dan akan lebih baik bila kepala keluarga yang mengikuti program tersebut dengan vasektomi (cnnindonesia.com, 08/05/2025).
Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebelumnya telah mengeluarkan fatwa mengharamkan tindakan yang mengarah pada pemandulan (vasektomi). Terkecuali, pada kondisi yang memang memiliki alasan syar’i, seperti sakit dan sejenisnya. Sementara itu, ditilik dari segi biaya pun, tindakan ini tidak berbiaya murah, yang sudah barang tentu akan menambah pembengkakan anggaran pemerintah. Kebijakan ini juga dinilai telah melanggar hak asasi manusia dan merendahkan martabat manusia.
Anak Bukan Beban
Selama ini, banyak anak diidentikkan dengan banyaknya beban yang harus dipenuhi. Begitu pula, di balik program vasektomi bagi para penerima bansos diduga adanya anggapan bansos merupakan beban anggaran pemerintah.
Bansos atau bantuan sosial adalah upaya pemerintah menaikkan taraf hidup masyarakat yang dinilai kurang mampu agar menjadi mampu secara finansial. Bila penerima bansos tersebut memiliki banyak anak, otomatis beban finansial nya makin besar, sehingga bantuan yang diberikan pemerintah juga menjadi lebih besar.
Di sisi lain, rencana ini memunculkan anggapan: layaknya tindakan steril pada kucing yang dilakukan oleh pemiliknya, dengan dalih agar kucing sehat dan terhindar dari beban kehamilan yang berulang. Padahal di balik itu, sang pemilik kucing memiliki niat untuk mengontrol beban pemeliharaan kucing, yang bila beranak pinak biaya pemeliharaannya pun makin besar.
Kebijakan Populis, Bukti Rusaknya Demokrasi
Kekuasaan kerap membuat penguasa lupa bila rakyatnya bukanlah piaraan yang sepenuhnya menjadi beban negara. Bukan pula orang yang numpang tinggal dan meminta makan pada negara. Padahal dalam demokrasi, justru dari rakyatlah pajak yang menyokong keberlangsungan negara. Rakyat pulalah yang mengisi berbagai sektor sehingga kehidupan negara dapat berputar.
Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang diadopsi dari Barat, yang menjadikan rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Padahal, sejatinya rakyat itu manusia biasa, sudah barang tentu memiliki hawa nafsu dan keserakahan. Alhasil, dalam proses pemilihan pemimpin dan proses menjalankan pemerintahannya, banyak terjadi pelanggaran, seperti suap dan korupsi.
Sistem demokrasi ini telah menyebabkan munculnya kepemimpinan populis otoriter. Yakni, kepemimpinan yang kebijakan-kebijakannya diambil seolah-olah berpihak pada kepentingan dan nasib rakyat, tetapi sebenarnya hanya akan memberi keuntungan pada pemilik modal (oligarki). Kebijakan populis hanyalah pencitraan, seolah-olah penguasa bekerja demi kebaikan hidup rakyatnya, tetapi sejatinya hanya demi kemudahan dan keuntungan penguasa.
Penguasa yang gemar cuci tangan berpeluang kemudian mengatasnamakan pertambahan anak sebagai penyebab kemiskinan. Bapak sebagai pemimpin keluarga pun diharapkan bisa dimandulkan, tanpa melihat sisi lain yang menjadi penyebab sang bapak sulit memenuhi kebutuhan kelurganya.
Padahal, penyelesaian masalah negara oleh penguasa demokrasi justru kerap menambah deretan masalah baru. Sebab, solusi tersebut tidak dilandaskan pada hukum Allah, melainkan menggunakan hukum buatan manusia sendiri yang secara fitrahnya sangat terbatas. Alhasil, alih-alih memperbaiki kinerja, atas ketidakbecusannya mengurus negara, penguasa yang tidak sadar diri justru menjadikan rakyat (bapak) sebagai kambing hitam yang harus dikebiri demi meningkatkan kesejahteraan.
Islam Solusi Masalah Kemiskinan
Sistem pemerintahan Islam (khilafah) mampu memberikan solusi tuntas dalam mengatasi masalah kemiskinan dengan cara yang manusiawi, adil, dan bermartabat. Dalam pandangan Islam, rakyat merupakan amanah, mengurus rakyat merupakan kewajiban khalifah (kepala negara) yang harus dijalankan dengan sebaik-baiknya.
Dalam kekhalifahan, pemenuhan hajat hidup rakyat disediakan oleh negara dan didistribusikan secara merata, sehingga rakyat mendapat kemudahan dalam mengaksesnya. Kebutuhan pokok bisa didapatkan dengan harga murah, bahkan gratis untuk semua kalangan, baik kaya maupun miskin.
Hal itu terwujud karena kekayaan umum yang menyangkut hajat hidup orang banyak dikelola oleh negara dan hasilnya digunakan sepenuhnya untuk menyejahterakan rakyat. Begitu pula dengan kekayaan negara yang hasil pengelolaannya digunakan untuk pembiayaan negara. Tidak seperti negara dengan sistem demokrasi kapitalis yang memenuhi pembiayaan negara dengan memeras pajak dari rakyatnya.
Kekhalifahan Islam memiliki mekanisme dalam memberikan jaminan sosial bagi rakyat. Di antaranya, melalui pembukaan lapangan kerja dan pemberian modal usaha di sektor ril, seperti industri dan pertanian, pendidikan gratis bagi semua tanpa melihat status dan tingkat ekonomi, serta pelayanan kesehatan gratis. Adapula bantuan zakat, wakaf, dan sedekah yang dikelola Baitulmal, yang bantuannya dapat menjangkau golongan yatim piatu atau lansia yang sudah tidak dapat bekerja.
Bila negara mengalami kekosongan kas dan membutuhkan pemasukan dalam bentuk pajak, maka dalam pemerintahan Islam, pajak akan diambil dari rakyat yang mampu dan kaya saja, tidak dibebankan pada rakyat miskin. Hal ini akan melindungi rakyat miskin agar tidak menjadi makin miskin karena impitan pajak.
Sistem Islam telah terbukti mampu mengatasi kemiskinan dengan cara yang berkelanjutan tanpa mengesampingkan nilai kemanusiaan, hak, dan martabat setiap individu. Namun, semua mekanisme pengentasan kemiskinan tersebut hanya dapat terwujud dengan penerapan sistem Islam secara kafah dalam naungan daulah khilafah.