
Oleh: Alfisyah Ummu Arifah (Pegiat Literasi Islam Kota Medan)
Linimasanews.id—Medan dihebohkan dengan berita inses abang (R) dan adik (NH). Kepolisian menjerat kedua pelaku dengan Pasal 80 UU Perlindungan Anak. Sebab, bayi dari hubungan haram itu, wafat karena diperlakukan secara buruk, lalu dikirim melalui ojek online (detik.sumut, 9/5/2025).
Kasus ini terjadi di Kota Medan. Cara ini diambil untuk menghilangkan jejak kasus inses oleh kedua pelaku. Kanit PPA Satreskrim Polrestabes Medan Iptu Dearma Sinaga menyebut, motif para pelaku mengirimkan paket tersebut ke masjid itu dengan harapan agar bayi tersebut ditemukan marbot masjid dan dikuburkan. Pelaku R mencari lokasi masjid itu secara acak dari Google.
Kedua pelaku diamankan kepolisian. Sebelumnya, keduanya tidak tinggal bersama. Namun, R sering menemui NH dan melakukan hubungan badan. Mereka melakukan dengan sadar.
Demikian rusak parahnya sistem sosial masyarakat hari ini, khususnya di Kota Medan belakangan. Julukan “Gotham City” belum selesai, makin menambah aneka kasus asusila baru. Munculnya tak bisa dibendung lagi. Miris.
Sistem Sosial yang Cacat
Bagaimanapun, terjadinya kasus inses ini bukan yang pertama di Indonesia. Namun, di Kota Medan, kasus inilah yang pertama menghebohkan. Tentu ini tak terlepas dari beberapa masalah besar kasus sosial yang lain. Beberapa masalah besar itu merupakan faktor-faktor yang menyebabkan runtuhnya kemuliaan di dalam sebuah bangunan nasab dan keluarga.
Setidaknya ada beberapa faktor pencetus munculnya kasus inses ini. Cendekiawan Muslim Ustadz Ismail Yusanto dalam akun official-nya menyebut beberapa sebab munculnya kasus perzinaan.
Pertama, karena derasnya arus rangsangan dari media sosial yang tidak terbatas dan tidak terbendung. Saking derasnya rangsangan itu melalui gadget atau media sosial, masyarakat menganggap hal ini lumrah, biasa terjadi. Lumrahisasi itu sebelumnya belum ada. Hal yang dahulu keliru dan tabu, karena paparannya berlangsung terus-menerus, lama-kelamaan akan terkesan wajar dan biasa saja.
Dahulu pacaran itu tabu. Berduaan dengan lawan jenis itu tabu. Masyarakat pun lebih terhormat daripada kondisi hari ini, meskipun tidak islami. Namun kini, sejak muncul arus deras serangan video, gambar, ataupun wasilah yang tak senonoh memancing pemenuhan terhadap gharizah nau (naluri seksual/melestarikan jenis) yang merupakan potensi manusia, siapa pun tak bisa menolak arus deras ini. Ini hal yang sulit.
Ketika naluri itu sudah bangkit, pasti menginginkan pemenuhan. Alhasil, terkadang asusila menjadi jalan sebagai konsekuensi dari syahwat yang muncul. Bahkan, memungkinkan dilakukan dengan kekerasan. Ini sudah banyak terjadi di Indonesia, apalagi di dunia. Sebab, semua orang tak mampu mencegah hadirnya rangsangan seksual itu di layar gadget orang per orang.
Sistem kapitalisme sekuler yang diadopsi masyarakat hari ini meniscayakan kebolehan menikmatinya dengan dalih kebebasan berekspresi. Mirisnya, negara justru memperbolehkan tanpa kendali, seolah sengaja membiarkannya.
Kedua, negara tidak memberikan sanksi hukum yang tegas. Sanksi hukum yang ada hanyalah beberapa tahun penjara yang tidak membuat jera pelakunya. Padahal, mestinya pelaku zina atau pelaku inses diberikan hukum yang membuat jera dan berpikir ulang sebelum berbuat. Hukum itu misalnya rajam dan jilid sebagaimana yang disyariatkan oleh Islam, yang terbukti 13 abad berhasil meminimalisasi terjadinya zina.
Akibat sanksi hukum yang tidak membuat jera dan tidak mencegah sebelum terjadi ini, wajarlah angkanya meningkat tahun demi tahun. Dahulu zina dan kekerasan seksual hanya terjadi pada hubungan tak sedarah, kini terjadi pada korban yang sedarah, anak-anak, perempuan di bawah umur, dan lainnya. Parahnya, dilakukan dengan suka sama suka.
Kondisi yang sangat memprihatinkan ini menunjukkan masyarakat sudah rusak. Negara harus memberlakukan hukum tegas sesegera mungkin. Keadaannya sudah sangat darurat, mengancam generasi.
Karena menerapkan sistem hukum demokrasi yang berbasis kapitalisme sekuler saat ini, negara menjadi pencetus terjadinya zina dan inses dengan alasan hak asasi perorangan. Pemberlakuan hukum yang tak membuat jera terhadap kasus inses ini menyebabkan negara gagal mencegah kasus serupa. Negara berdalih, itu ada dalam ranah kebebasan individunya.
Ketiga, kurangnya ketakwaan individu pelaku inses. Pelaku inses dipastikan tergelincir dengan mudah pada bisikan setan. Bisikan ini tidak bisa ditolak karena lemahnya iman dan takwa. Shalat, puasa, dan iman di dada yang setipis kulit bawang, membuat seseorang tidak mampu membendung derasnya arus rangsangan seksual dari gadget di genggaman mereka.
Takwa tidak terbentuk sebab secara individu, pelakunya jauh dari aturan agama yang mereka anut. Misalnya, kedua abang adik ini beragama Islam, namun berulang kali melakukan hubungan inses. Itu menjadi bukti tidak terkendalinya nafsu syahwat mereka.
Kondisi ini diperparah dengan kondisi masyarakat yang acuh tak acuh. Negara pun membiarkan ini terjadi makin meluas, tanpa ada tindakan tegas. Beberapa tahun lagi, entah kasus separah apa lagi yang akan terjadi jika dibiarkan tanpa solusi ampuh.
Ketiga faktor inilah yang dominan mempengaruhi beragam zina terjadi. LGBT, transgender, hubungan inses, hingga kekerasan seksual, baik pada laki-laki dan perempuan terjadi dengan mudah, dianggap biasa dan lumrah.
Medan Butuh Syariat
Medan dan kota-kota lainnya di Indonesia, juga negara-negara di seluruh dunia ini sudah sangat tua. Dunia hari ini sudah tambah kacau. Medan butuh solusi tuntas untuk mengatasi inses sesegera mungkin.
Islam memiliki mekanisme sohih menghadapi kasus ini. Islam memiliki cara khusus yang solutif mengatasi inses, zina, dan sejenisnya. Yaitu:
Pertama, negara harus mengubah konsep dalam melayani masyarakat. Negara harus meminimalisasi arus deras rangsangan syahwat. Tontonan, gambar, video atau semisalnya yang tak senonoh akan dilarang beredar oleh Departemen Komunikasi dan Informasi. Departemen ini ada di bawah kendali pemimpin Islam bergelar khalifah untuk diatur sesuai syariat Islam. Khalifah mempunyai kuasa dan kewenangan dalam mengawasi setiap tontonan dan informasi.
Khalifah juga punya kewenangan menindak siapa saja pelaku maupun yang menyebarkan pornografi dan pornoaksi. Khalifah wajib memblokir tayangan yang merangsang syahwat di media massa maupun media sosial. Cuma khalifah dalam kekhilafahan yang memiliki kewenangan itu. Semua demi memperkecil dampak dari rangsangan yang menuntut pemenuhan.
Kedua, hukum rajam berlaku untuk pelaku zina yang sudah pernah menikah. Sementara hukum jilid (cambuk) diberlakukan bagi pelaku yang belum menikah. Pasal berlapis diberlakukan jika setelah berzina, lalu berencana menghilangkan jejak zina dan inses yang dilakukan. Islam memiliki mekanisme seperti itu. Bagaimanapun mendekati zina saja dilarang oleh syariat, apalagi sampai melakukannya. Hukum tersebut harus diberlakukan oleh negara yang kompatibel, yakni khilafah.
Selain itu, berbagai persoalan juga dipicu sistem pendidikan yang salah hari ini. Kurikulum pendidikan sekuler yang diterapkan hari ini ada cacat sejak lahir sehingga tidak mampu menghasilkan generasi yang berkepribadian islami.
Kurikulum sistem pendidikan yang islami-lah yang mampu membentuk pola pikir dan pola sikap yang islami. Kepribadian islami ini akan menjadi benteng yang kokoh bagi siapa pun. Zina, inses, penganiayaan, kekerasan seksual, kelainan orientasi seksual akan tertolak oleh individu yang kuat dan kokoh ketakwaannya. Sebab, takwa adalah benteng yang akan mencegah dari perbuatan keji dan mungkar, termasuk zina, inses dan lainnya.
Keempat, pemberlakuan sistem tata pergaulan Islam dalam bermasyarakat juga harus diterapkan dengan edukasi yang baik. Semua itu agar bisa menyentuh hati masyarakat bahwa setiap makhluk harus tunduk pada syariat jika dirinya bertakwa.
Khatimah
Demikianlah cara Islam mencegah dan menuntaskan kasus inses ini. Jika tak bersegera, kasus ini akan berulang-ulang terjadi di waktu dan tempat yang lain. Rusaknya nasab dan keluarga pun menanti di depan mata. Kita tak bisa menunda lagi, syariat Islam-lah satu-satunya harapan terakhir dan terbukti menjaga kehormatan keluarga selama berabad-abad.
Negara harus berkomitmen menuntaskan kasus ini. Negara adalah pihak yang paling berwenang dalam menjaga kehormatan keluarga dan nasab. Mau tidak mau negara harus bersegera menjadikan sistem pendidikan Islam, sistem ekonomi dan sistem sosial berbasis syariah sebagai pedoman dalam sebuah institusi yang shahih sebagaimana diperintahkan Sang Pencipta dan Rasulullah saw. Institusi tersebut bernama khilafah. Jika ini diterapkan, niscaya inses tidak lagi menghantui masyarakat dan negara.