
Editorial—Bangsa ini sedang menghadapi krisis eksistensial yang jauh lebih berbahaya daripada sekadar masalah ekonomi atau politik biasa. Nilai transaksi narkoba yang mencapai Rp524 triliun per tahun bukan sekadar angka statistik, melainkan bukti nyata bahwa Indonesia telah kehilangan kendali atas kedaulatannya sendiri. Fakta bahwa jaringan narkoba internasional leluasa beroperasi di tanah air, sementara sindikat lokal seperti kasus Griselda Blanco versi Indonesia bisa mengendalikan bisnis haram dari balik jeruji besi, menunjukkan betapa dalamnya penetrasi mafia narkoba dalam tubuh negara. Ini bukan lagi masalah penegakan hukum semata, melainkan indikasi nyata bahwa Indonesia sedang berubah menjadi “narco-state” dimana jaringan kriminal telah menyusup ke jantung kekuasaan.
Akar masalahnya terletak pada sistem sekuler-kapitalis yang telah melahirkan krisis multidimensi. Di satu sisi, gaya hidup hedonistik yang dipromosikan media mainstream telah menormalisasi budaya konsumsi narkoba, sementara di sisi lain, sistem ekonomi kapitalistik yang menciptakan kesenjangan ekstrim mendorong masyarakat miskin menjadi kurir dan elite finansial menjadi bandar. Yang lebih memprihatinkan, demokrasi liberal yang koruptif telah menjadikan narkoba sebagai alat transaksi politik dan sumber pembiayaan kekuasaan. Ironisnya, pemerintah justru terjebak dalam solusi semu melalui operasi-operasi kosmetik yang hanya menyentuh permukaan, sementara akar masalahnya dibiarkan tumbuh subur.
Pendekatan konvensional selama ini jelas telah gagal total. Data menunjukkan tingkat kekambuhan pengguna narkoba di Indonesia mencapai 72%, salah satu yang tertinggi di dunia. Rehabilitasi yang menghabiskan anggaran besar ternyata tidak menyentuh akar masalah, karena dilakukan dalam kerangka sistem yang justru melahirkan penyalahgunaan narkoba. Operasi penertiban yang digembar-gemborkan pun seringkali hanya menyasar pelaku kecil, sementara jaringan besar dibiarkan terus berkembang. Ini membuktikan bahwa solusi parsial dalam kerangka sistem sekuler-kapitalis tidak akan pernah mampu menyelesaikan masalah secara tuntas.
Satu-satunya jalan keluar adalah melakukan transformasi sistemik menyeluruh dengan mengadopsi sistem berbasis syariah Islam. Hanya dengan pendekatan inilah kita bisa melakukan revolusi hukum yang sesungguhnya, dimana pengedar narkoba kelas kakap akan dihukum setimpal sebagai bentuk perlindungan terhadap masyarakat. Sistem pendidikan perlu dibangun kembali berdasarkan akidah Islam untuk membentuk generasi yang memiliki ketahanan mental dan spiritual. Ekonomi harus dibebaskan dari jeratan kapitalisme yang melahirkan kesenjangan dan memicu kejahatan. Dan yang terpenting, negara harus mengambil peran aktif dalam menciptakan lingkungan sosial yang saling mengawasi dan menjaga berdasarkan prinsip amar ma’ruf nahi munkar.
Krisis narkoba saat ini sebenarnya adalah ujian besar bagi kelayakan Indonesia sebagai sebuah peradaban. Sejarah telah membuktikan bahwa hanya peradaban yang berlandaskan nilai-nilai transendental yang mampu bertahan dari ujian semacam ini. Pilihan kita sekarang sangat jelas: tetap bertahan dengan sistem usang yang jelas-jelas gagal, atau berani melakukan lompatan peradaban menuju sistem yang lebih adil dan manusiawi. Ini bukan sekadar masalah penegakan hukum, melainkan pertaruhan masa depan bangsa. Jika kita terus bersikap lunak terhadap kanker sosial ini, maka bersiaplah menyaksikan Indonesia menjelma menjadi kuburan besar bagi generasi mudanya sendiri. Inilah saatnya untuk memilih antara menjadi bangsa yang bangkit atau bangsa yang tenggelam dalam kubangan narkoba. [Lins/OHF]