
Oleh: Afiynoor, S.Kom.
(Aktivis Dakwah Surabaya)
Linimasanews.id—Aduh, lagi-lagi kasus keracunan MBG terjadi? Kita sebagai ibu yang anaknya di sekolah mendapatkan pembagian MBG sebagai bagian dari program pemerintah tentunya miris, ya. Ibu pasti khawatir. Kekecewaan jelas ada. Lha kok bisa, terjadi keracunan massal? Di mana perlindungan sekolah terhadap anak-anak kita? Lalu, bagaimana tanggung jawab negara sebagai pihak yang mengadakan program ini?
Kasus terbaru terjadi di Kota Bogor, Jawa Barat. Sebanyak 232 siswa dari TK hingga SMP mengalami gejala keracunan setelah mengonsumsi makanan MBG (tempo.co, 11/5/2025). Setelah melalui uji laboratorium, terbukti menu MBG saat itu mengandung bakteri Escherichia coli (E. coli) dan Salmonella. Sebelumnya, sebanyak 78 siswa dari MAN 1 dan SMP PGRI 1 Cianjur mengalami keracunan MBG. Total ada sebanyak 176 orang di wilayah tersebut terpapar gejala keracunan karena makanan dari program MBG juga disajikan dalam acara hajatan warga.
Jika terjadinya satu dua kali kejadian saja, mungkin kita tidak akan sampai berasumsi jika terjadi ketidakberesan dalam pelaksanaan program MBG ini. Tetapi dengan banyaknya kasus yang terjadi, bahkan di beberapa daerah dikategorikan sebagai “kejadian luar biasa”, maka sangat wajar jika kita sebagai orang tua mempertanyakan keamanan dari makanan MBG ini. Sejauh mana keseriusan pemerintah mengatasi persoalan ini.
Mungkin dengan dirawatnya korban keracunan yang biayanya ditanggung oleh pemerintah dirasa cukup untuk mengatasi persoalan ini. Tetapi bagaimana upaya mitigasi kasus serupa agar tidak terulang lagi, tentunya juga menjadi hal penting untuk dipikirkan. Setiap kasus yang terjadi menimpa anak-anak kita yang sedang belajar di sekolah adalah hal penting menyangkut perlindungan terhadap anak bangsa dan masa depannya.
Selain kualitas pendidikan yang layak, makanan bergizi pun seharusnya layak untuk dikonsumsi. Namun yang kita temui, kasus keracunan MBG menunjukkan kualitas makanan yang tidak layak konsumsi. Ayam yang masih mentah, sayur yang jumlahnya secuil, dan sejumlah komplain lainnya.
Padahal, yang namanya bergizi tentu disesuaikan dengan kebutuhan tubuh masing-masing umur. Jumlah kalori untuk anak TK tentu berbeda dengan jumlah kalori untuk anak SMA, begitu juga jumlah protein, dan sejumlah zat gizi lain yang seharusnya terkandung dalam makanan. Begitu juga pengolahannya. Ditemukannya bakteri di dalam makanan menunjukkan pengolahan yang tidak higienis. Hal ini sangat berbahaya, dalam taraf berbahaya bisa mengancam nyawa.
Selama ini pengolahan MBG diserahkan oleh pemerintah kepada Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang telah diseleksi. SPPG-lah yang bertugas menyiapkan dan mendistribusikan makanan bergizi kepada sekolah-sekolah yang dipilih menjadi tempat pelaksanaan program MBG, di sinilah letak titik kritis persoalan MBG. Pertama, masalah pendanaan dari pemerintah yang terbatas sehingga pihak SPPG mendapatkan harga per porsi 10 ribu rupiah saja untuk satu kali makan. Dengan naiknya semua bahan kebutuhan pokok, hal ini akan sangat menyulitkan bagi SPPG untuk menyediakan MBG sesuai standart kebutuhan siswa.
Hal yang terjadi selanjutnya adalah pihak SPPG akan melakukan “penyesuaian.” Bisa jadi dengan mengurangi porsi atau yang parahnya lagi mengurangi kualitas bahan makanan. Hal ini wajar terjadi, karena pihak SPPG pastinya juga ingin mendapatkan keuntungan dalam memberikan pelayanan. Di masa kapitalisme ini, mana ada yang mau bersusah-payah menyediakan layanan tanpa imbalan keuntungan? Seharusnya penyedia layanan langsung ditangani oleh pihak pemerintah, yang memiliki tanggung jawab langsung untuk memberikan pelayanan terhadap masyarakat, bukan swasta.
Kedua, masalah monitoring. Seharusnya pengolahan makanan disesuaikan dengan SOP umumnya penyedia layanan makanan. Untuk menghindari pengolahan yang ngawur, tugas pemerintah selain mendanai juga mengawasi. Dua tugas ini harus dilaksanakan oleh negara yang bertanggung jawab. Tidak berlepas tangan bahkan membiarkan korban berjatuhan tanpa mitigasi yang tepat.
Begitulah jika pandangan kapitalisme sudah mengurat-akar di sistem kehidupan kita. Pemerintah yang seharusnya bertanggung jawab penuh dalam pelayanan tapi malah berlepas tangan. Sungguh berbeda dengan bagaimana seharusnya pemerintahan berjalan dalam pandangan Baginda Rasulullah saw. Beliau langsung menyuapi seorang pengemis Yahudi yang menghina beliau. Beliau juga memerintahkan siapa pun untuk memperhatikan tetangganya, jangan sampai ada tetangga yang kelaparan, tanpa melihat apa agamanya.
Pandangan inilah yang akhirnya ditiru dan dilanjutkan oleh para khalifah sepeninggal beliau saw. Khalifah Umar bin Khattab memanggul sendiri gandum untuk seorang ibu yang anak-anaknya kelaparan. Tidak hanya itu. Pada masa kekhilafahan, pengadaan makanan gratis atau layanan makan bergizi gratis adalah bagian dari sistem sosial yang diterapkan untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat.
Salah satu contohnya adalah imaret (dapur umum) yang dibangun berdasarkan wakaf di masa Kekhalifahan Utsmaniyah. Imaret, yang didirikan pada masa Kekhalifahan Utsmaniyah berfungsi sebagai dapur umum yang menyediakan makanan gratis bagi berbagai kalangan masyarakat, termasuk pengurus masjid, guru, murid, sufi, pelancong, dan penduduk lokal yang membutuhkan. Begitulah seharusnya sebuah pemerintahan menjalankan tugasnya melayani umat dengan sepenuh hati, tidak setengah hati, apalagi tak punya hati untuk melayani.