
Oleh: Rahma Wati
(Pemerhati Sospol, Deli Serdang)
Linimasanews.id—Kengerian perang belum beranjak dari Jalur Gaza. Kematian, luka, dan mereka yang terbaring sekarat telah menjadi pemandangan sehari-hari. Namun, kenestapaan itu kini makin bertambah, bukan karena ledakan atau teriakan yang paling keras terdengar, melainkan keluhan sunyi dari perut-perut kosong yang menjerit dalam diam. Kelaparan di Gaza bukan sekadar tidak ada makanan, tetapi lebih menjelma menjadi senjata mematikan yang membunuh pelan tanpa suara.
Dilansir dari Liputan6.com, sejak dimulainya blokade bantuan pada dua Maret otoritas kesehatan Gaza melaporkan bahwa 57 anak meninggal akibat dampak dari kekurangan gizi. Apabila situasi ini terus berlanjut diperkirakan hampir 71.000 anak di bawah usia 5 tahun akan mengalami kekurangan gizi akut dalam 11 bulan ke depan.
Dalam pengarahan kepada para jurnalis di Jenewa perwakilan organisasi kesehatan dunia (WHO) untuk wilayah pendudukan Palestina Rik Peeperkorn mengungkapkan bahwa embargo total bantuan oleh Zionis telah menyebabkan WHO hanya memiliki persediaan yang cukup untuk merawat sekitar 500 anak dengan kondisi kekurangan gizi akut. Jumlah ini menurutnya hanya sebagian kecil dan kebutuhan yang sangat mendesak, dia memperingatkan bahwa warga Gaza kini terperangkap dalam siklus mematikan, dimana kurangnya keragaman makanan, kekurangan gizi dan penyakit saling memperparah satu sama lain (17/5/2025).
Sungguh penjajahan yang sangat keji dan tidak kesatria, bagaimana tidak? Entitas Zionis yang menggunakan kelaparan sebagai senjata dalam perang, ini adalah bentuk kelemahan dan kepengecutan terbesar di dunia. Pasalnya, serangan fisik Zionis yang bertubi-tubi ke Gaza tidak membuat warga Gaza gentar sedikit pun. Tank, senjata, bom, rudal milik Zionis memang membuat warga Gaza berlumuran darah, kehilangan ruang hidup, bahkan ditinggalkan oleh orang terkasih. Namun, warga Gaza tetap berdiri kokoh dan sabar menjaga tanah suci Palestina. Mereka bersabar dalam penderitaan, mereka ikhlas terhadap qadha yang didapatkan. Mereka terus berjihad hingga titik darah terakhir melawan Zionis, meskipun pemimpin Islam mengabaikan urusan Palestina.
Kekuatan keimanan warga Gaza tidak bisa dikalahkan dengan senjata fisik Zionis. Kini, Zionis mencoba menyerang hajatul ‘udhuwiyyah (kebutuhan jasmani). Zionis menjadikan kelaparan sebagai senjata. Mereka memblokade bantuan untuk Gaza, mengebom dapur umum, menjatuhkan rudal di tengah-tengah orang yang mengantre makanan dan mengambil bantuan.
Krisis kelaparan yang diciptakan Zionis telah menunjukkan kelemahan dan betapa pengecutnya mereka menghadapi kaum muslim. Maka sebenarnya, menghadapi orang lemah dan pengecut itu sangat mudah, bukan dengan mengirim donasi dan bantuan untuk warga Gaza, melainkan mengirim tentara untuk membebaskan Palestina. Dengan begitu, tidak akan ada lagi penjajahan dan tidak akan ada lagi krisis pangan di Gaza. Sebagaimana Panglima Salahudin yang membebaskan Al-Quds dari kekuasaan kotor tentara Salib.
Namun, pembelaan itu menjadi berat dilakukan apalagi penguasa negeri-negeri muslim justru berkhianat pada umat Islam, khususnya Gaza. Mereka tidak mengarahkan moncong senjata, menggerakkan militer yang mereka punya ke Zionis. Padahal berbagai negeri muslim, khususnya di sekitar Gaza memiliki militer yang sangat kuat. Alih-alih menyerukan jihad, mereka justru sibuk dengan berbagai diskusi dan diplomatik omong kosong.
Maka sebenarnya, tidak ada harapan lagi menyelamatkan Gaza dari kelaparan akibat penjajahan kecuali dengan jihad fisabilillah. Kekuatan militer harus dikerahkan untuk membebaskan umat Islam di Gaza dan mengusir Zionis dari Palestina. Sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Rasulullah saw. yang mengusir Yahudi Bani Qainuqa’ dari Madinah karena mereka melanggar perjanjian dan membunuh seorang muslim.
Al-Qur’an juga telah memerintahkan jihad defensif (jihad difa’i) atas invasi musuh yang ditujukan kepada negeri-negeri muslim. Allah Subhanahu wa Taala berfirman, “Siapa saja yang menyerang kalian, seranglah ia secara seimbang dengan serangannya terhadap kalian.” (QS Al-Baqarah: 194)
Dalam kitab Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyah jilid ll, seorang mujtahid sekaligus pendiri partai politik Islam ideologis Hizbut Tahrir, Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani Rohimahullah menjelaskan bahwa jihad adalah fardhu ain saat kaum muslim diserang oleh musuh. Jika dikaitkan dengan penjajahan di Palestina, fardhu ‘ain ini tidak hanya berlaku untuk warga Gaza, kewajiban ini tidak hanya mengikat seluruh kaum muslim di sekitar wilayah Palestina, namun seluruh wilayah kaum muslim hingga penjajah Zionis dapat dikalahkan.
Di sinilah, kebutuhan satu komando dari seorang khalifah. Kebutuhan ini jelas menuntut persatuan umat Islam di seluruh dunia dalam sebuah institusi politik bernama Daulah Khilafah. Pasalnya, hanya Khilafah yang mampu menjadi junnah (pelindung) umat Islam. Wallahualam.