
Oleh: Dini Azra (Pemerhati Politik Islam)
Linimasanews.id—Munculnya grup “Fantasi Sedarah” di Facebook membuat masyarakat resah. Bagaimana tidak, postingan-postingannya secara vulgar menyampaikan konten asusila, bermuatan seksualitas terhadap anggota keluarga sendiri. Ada fantasi seksual ayah terhadap putrinya yang masih balita, ada yang berbagi pengalaman pernah berhubungan intim dengan saudara, ibu mertua dan lainnya. Mengerikan, sungguh di luar nalar!
Parahnya, grup ini sudah memiliki anggota sebanyak 32 ribu orang. Fenomena tersebut tentu memunculkan ketakutan tersendiri. Masyarakat cemas kalau-kalau ada di antara keluarga termasuk anggota grup itu, atau orang-orang dengan penyimpangan moral tersebut ada di sekitar mereka.
Menanggapi hal ini, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) meminta polisi untuk mengusut tuntas grup Facebook “Fantasi Sedarah”. Sekretaris Kemen PPPA, Titi Eko Rahayu menyatakan, jika ada pelanggaran, proses hukum harus ditegakkan untuk memberikan efek jera dan melindungi masyarakat, khususnya anak-anak dari dampak buruk konten menyimpang. Ia juga mengecam keberadaan grup tersebut yang menormalisasi tindakan incest yang sangat membahayakan masyarakat (Republika.co.id, 17/5/2025).
Setelah disorot masyarakat, grup tersebut sempat berganti nama menjadi “Suka Duka”. Namun akhirnya, Bareskrim Polri berhasil menangkap enam orang tersangka terkait kasus grup “Fantasi Sedarah” dan “Suka Duka”. Menurut keterangan Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, ditemukan sebanyak 402 gambar dan 7 video yang bermuatan pornografi dari device HP tersangka MR yang merupakan admin grup (DetikNews.com, 25/5/2025).
Keberadaan grup bermuatan inses ini membuktikan rusaknya sistem pergaulan. Telah terjadi degradasi moral yang luar biasa di tengah masyarakat yang dikenal religius karena mayoritas penduduknya beragama Islam. Mengapa ini bisa terjadi? Jelas, ini bukan karena agama apa yang dipeluk oleh mayoritas masyarakat, tetapi sistem apa yang diterapkan atas kehidupan masyarakat beragama tersebut.
Mayoritas penduduk negeri ini memang beragama Islam. Namun faktanya, agama Islam tidak dijadikan sumber peraturan dalam kehidupan kaum muslimin, baik secara individu, masyarakat dan negara. Sistem demokrasi yang berlaku hari ini menganut paham sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan. Agama hanya boleh mengatur urusan pribadi, terkait hubungan manusia dengan Penciptanya. Di ranah pribadi ini pun seseorang diberi kebebasan akan menjalankan ibadah atau tidak. Termasuk menjaga akidah dan akhlak, dianggap urusan pribadi.
Sementara itu, dalam kehidupan umum, manusia diberikan kebebasan berperilaku, berbuat apa pun untuk menemukan impian dan kebahagiaannya. Selama dianggap tidak melanggar aturan hukum negara, melanggar batasan syariat tidak dipersoalkan. Artinya, individu diberi hak menjalankan ibadah, tetapi perbuatan maksiat juga diberi ruang seluas-luasnya selama dianggap tidak melanggar hukum. Karena itu, maraknya inses serta ditemukannya grup inses ini merupakan buah dari paham sekularisme liberal.
Mirisnya, jika tidak viral di media sosial, negara juga tidak akan mengendus adanya kegiatan seksual sedarah tersebut. No viral no notice, no viral no justice! Buktinya, grup tersebut baru ditemukan setelah jumlah anggotanya puluhan ribu. Itu pun setelah sebelumnya terjadi kasus pembuangan bayi akibat hubungan inses. Kasus perkawinan sedarah ini membuktikan bahwa perilaku seks yang melanggar norma, agama, dan fitrah manusia ini sudah lama merebak.
Selain itu, sistem sekuler ini kapitalistik, mengagungkan kebebasan individu dalam meraih materi dan kebahagiaan duniawi. Di bidang industri hiburan, konten-konten tak senonoh bermunculan dan mudah diakses semua kalangan. Negara pun tidak mampu membendung. Meskipun sudah ada lembaga sensor dan batasan usia pemirsa untuk tiap-tiap tayangan televisi, serta sudah melakukan pemblokiran situs-situs porno, faktanya, produk hiburan dan konten pornografi banyak peminatnya, sehingga menggiurkan bagi siapa pun untuk membuat dan menjualnya. Demi keuntungan materi, mereka rela mengeksploitasi orang lain, teman, bahkan keluarga sendiri untuk dijadikan objek seksualitas.
Kemajuan teknologi tanpa diimbangi edukasi untuk memfilter hal-hal negatif ini, ditambah tidak adanya aturan tegas dari negara, tentu rawan disalahgunakan. Terlebih, umat jauh dari pemahaman agama yang benar serta akidah Islam yang lemah, alhasil membuat hidup manusia hanya dituntun oleh hawa nafsunya, halal haram tidak lagi menjadi standar perbuatan, surga dan neraka terkadang dianggap khayalan dan bahan candaan. Sungguh miris fakta kehidupan jika sistemnya tidak bersandar pada aturan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Jelaslah, agama yang dianut oleh mayoritas penduduk sebuah negara bukan menjadi jaminan kehidupan mereka benar. Melainkan, harus dilihat terlebih dahulu sistem yang diterapkan oleh negara tersebut.
Islam Sistem Kehidupan yang Shahih
Islam bukan sekadar agama ritual yang hanya mengatur masalah ibadah dan urusan individual. Islam memiliki seperangkat aturan (syariat) lengkap yang mengatur seluruh aspek kehidupan, termasuk mengatur pergaulan atau hubungan sesama manusia.
Dalam Islam, hubungan dengan lawan jenis sangat dijaga agar tidak terjadi kerusakan. Di antaranya, Islam mengatur batasan aurat bagi laki-laki dan perempuan, baik di dalam rumah atau di tempat umum. Laki-laki dan perempuan hanya bebas membuka aurat di depan pasangan yang sah di tempat pribadi (kamar). Di depan anak-anak pun harus berpakaian sopan, apalagi di depan orang lain yang bukan mahram.
Selain itu, diperintahkan kepada para lelaki untuk menundukkan pandangan. Campur baur di tempat umum antara laki-laki dan perempuan dilarang, kecuali untuk keperluan syar’i, misalnya urusan pekerjaan, jual beli, berobat, dan menuntut ilmu. Apalagi berdua-duaan dengan lawan jenis selain mahram, sangat dilarang karena berpotensi mendekati perbuatan zina. Membuat, melihat dan menyebarkan tontonan porno juga adalah dosa besar.
Jika sistem Islam diterapkan, negara akan menutup rapat celah terjadinya pergaulan bebas, termasuk hubungan inses. Pertama, negara akan memberikan pendidikan berbasis akidah Islam sejak dini sehingga terbentuk individu yang bertakwa, takut pada Tuhan-nya. Dengan begitu, akan terbentuk pula masyarakat islami yang saling menasihati dalam ketaatan dan kebenaran. Di masyarakat yang benci akan kemaksiatan, otomatis konten-konten asusila tidak akan diproduksi dan tidak laku.
Di samping itu, yang paling penting negara juga akan terus berperan melindungi umat dari pengaruh pemikiran dan budaya asing yang tidak sesuai dengan Islam. Jika pun terjadi kasus perzinaan atau bahkan inses, negara akan memberikan hukuman yang setimpal sesuai ketetapan syarak. Sebab, dalam Islam, negara berfungsi untuk mengurusi urusan umat dengan aturan Islam. Dalam hal ini, kepala negara (khalifah) sebagai pemimpin hanyalah pelaksana hukum, bukan pembuat hukum. Karena itu, sebagai solusi memperbaiki kerusakan hari ini, sudah sepantasnya umat Islam memperjuangkan kembalinya sistem kehidupan Islam.