
Oleh: Ong Hwei Fang
(Malang, 30 Mei 2025)
Reportase—Langit mendung menggantung di atas Kota Malang siang itu. Namun dari Monumen Juang ’45, bukan hujan yang turun, melainkan arus manusia yang bergerak perlahan dengan hati penuh kepedulian. Suara takbir, selawat, dan orasi mengalun menyusuri jalanan, membentuk satu suara: dukungan untuk Palestina.
Aksi ini bukan sekadar pawai. Ia adalah ekspresi dari kegelisahan yang tak bisa lagi dibungkam, sebuah perlawanan nurani terhadap tragedi yang terus membekas di Gaza. Sebuah luka kemanusiaan yang entah kapan akan sembuh.
Sekitar pukul 12.30 WIB, massa mulai berkumpul di depan Stasiun Kota. Wajah-wajah penuh semangat dan keteguhan berdatangan: pria, wanita, remaja, hingga anak-anak. Mereka datang bukan untuk sekadar hadir, tetapi membawa pesan. Di tangan mereka tergenggam bendera Palestina, syal keffiyeh, dan poster-poster penuh seruan.
Sebagian mengibarkan panji bertuliskan kalimat Tauhid. Simbol keimanan dan semangat. Saat jarum jam menunjuk pukul 13.00, lantunan ayat suci membuka jalannya aksi. Orasi-orasi dari para pemuda mengikuti, menyampaikan duka, seruan, dan harapan. Tak lama kemudian, langkah-langkah mulai bergerak menuju Balai Kota Malang, melintasi Alun-alun Tugu yang menjadi saksi bisu solidaritas hari itu.
“Ini bukan hanya tentang Palestina,” kata Ahmad, seorang mahasiswa yang ikut dalam aksi. “Ini tentang kemanusiaan. Tentang tidak membiarkan kekejaman menjadi hal yang kita terima begitu saja.”
Suara Tokoh dan Umat Menyatu
Aksi yang digagas oleh Umat Islam Bersatu Kota Malang ini tak hanya dihadiri oleh massa biasa. Di antara mereka hadir pula para tokoh agama: Habib Qodir Baagil, Gus Azizi Fathoni, KH. Mohammad Alwan, Ustadz Saad Tamyis, dan Ustadz Sul’an.
Kehadiran mereka bukan simbol semata. Mereka melangkah bersama umat, membawa suara yang selama ini tertahan di dada: suara keprihatinan yang dalam, dan seruan akan kesatuan.
Dalam salah satu orasinya, Ustadz Amar berbicara lantang: “Genosida di Palestina bukan sekadar konflik. Ini adalah penjajahan, ini adalah tragedi. Diplomasi belum cukup. Umat harus bersatu, berjihad, dan menegakkan keadilan lewat sistem yang menyeluruh, yaitu khilafah.”
Sontak, massa menyambutnya dengan takbir, sorak dan anggukan penuh semangat. Meski retorikanya penuh gairah ideologis, pesan utamanya adalah penolakan terhadap ketidakadilan yang terus dibiarkan.
Tertib, Simpatik, dan Menyentuh
Kehadiran ribuan peserta tak menjadikan aksi ini gaduh. Aparat kepolisian tampak mengatur lalu lintas dengan tenang dan profesional. Tak ada barikade, tak ada keributan. Hanya langkah-langkah penuh harapan dan doa yang menyatu dalam kesunyian batin yang dalam.
Warga yang melintas di sekitar Alun-alun Tugu banyak yang berhenti. Sebagian turun dari kendaraan untuk melihat lebih dekat. Beberapa memotret, lainnya hanya diam. Tapi dari raut wajah mereka, tampak satu hal yang sama, mereka mengerti bahwa ini bukan demonstrasi biasa.
Ada pula orang tua yang membawa serta anak-anak mereka. Tangan kecil yang menggenggam erat, wajah yang belum sepenuhnya paham, tapi sedang ditanamkan makna: bahwa solidaritas dan kemanusiaan harus diwariskan.
Apa yang terjadi di Malang hari itu bukan sekadar peristiwa sosial, apalagi panggung politik. Ini adalah resonansi dari suara hati yang menolak untuk tunduk pada ketidakadilan. Sebuah bentuk perlawanan yang tak bersenjata, tapi penuh makna.
Dari kota kecil di Jawa Timur ini, seruan itu melesat menembus batas. Bukan untuk tiba di Gaza secara fisik, tapi untuk menyentuh mereka yang di sana. Untuk mengatakan, “Kami tidak diam. Kami bersamamu.”
Karena Palestina, lebih dari sekadar nama di peta. Ia adalah lambang luka bersama, dan mungkin, harapan bersama, bahwa dunia masih punya sisi yang peduli.