
Oleh : Nining Ummu Hanif
Linimasanews.id—Judi online (judol) adalah aktivitas taruhan atau permainan yang dilakukan melalui internet. Pemain mempertaruhkan uang atau nilai lainnya untuk kesempatan memperoleh keuntungan.
Judol sebagai imbas kemajuan teknologi nyatanya malah makin merusak generasi. Kemajuan teknologi informasi bak “pedang bermata dua” bagi masyarakat. Di satu sisi, internet membuka akses terhadap berbagai informasi, tetapi di sisi lain juga mempermudah akses ke platform judol yang mengintai, terutama bagi anak-anak selaku calon generasi emas Indonesia.
Praktik judol di Indonesia makin meresahkan karena sudah menyasar ke anak-anak. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mengungkap banyak permainan judi online yang menyamar sebagai game online. Modus ini membuat ribuan anak-anak terjerat judol. Bahkan, anak-anak berusia 10 tahun sudah terlibat judi onoline ini. Mereka mengakses judol melalui game online, bahkan mengunakan akun orang tua mereka.
Kemudahan untuk mengakses judi online berpengaruh pada meningkatnya jumlah anak-anak yang terjerumus judol. Cukup dengan ponsel pintar dan punya akses internet, situs-situs judi daring bisa diakses siapa saja, kapan saja, dan di mana saja. Proses registrasi hingga pembelian deposit pun dinilai mudah. Calon pemain hanya perlu mengisi beberapa kolom untuk membuat akun, lalu pembelian deposit yang akan digunakan untuk bermain tinggal menggunakan transfer bank atau dengan memindai QRIS.
Mengutip data dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) per 8 Mei 2025, sekitar 197,054 anak usia 10–19 tahun terlibat dalam aktivitas judol, dengan nilai transaksi mencapai Rp50,1 miliar pada triwulan I-2025 (Beritasatu,19/5/25). Hal ini diperkuat dengan data dari PPATK, jumlah transaksi judol selama bulan Januari sampai dengan Maret 2025 saja sudah mencapai 39,8 juta transaksi. Apabila tanpa intervensi diperkirakan sampai akhir tahun 2025 bisa menjadi 160 juta transaksi dengan nilai perputaran dana mencapai Rp1,2 triliun (cnbcindonesia.com, 8/5/25).
Fenomena judol merupakan masalah serius. Waktu yang semestinya digunakan anak-anak untuk belajar agar menjadi pribadi mumpuni, habis sia-sia dalam permainan judi. Pengaruhnya pun sangat merusak. Anak-anak menjadi anti sosial dan kurang senang bergaul dengan teman, bahkan sedikit interaksi dengan keluarganya. Secara psikologis pun, mereka lebih sensitif dan temperamen.
Dampak negatif dari judol mencakup kerugian ekonomi, kehancuran sosial, peningkatan tindak kriminal, hingga ancaman terhadap keselamatan masyarakat. Kecanduan judol pada anak-anak memunculkan tindakan kriminalitas, seperti pencurian guna mendapatkan uang dengan cara mudah. Selain itu, kecanduan judol juga menyebabkan pelaku memiliki fantasi untuk ingin selalu menang dan terus menerus berjudi. Lantas, bagaimana masa depan mereka?
Faktor Sistemis Ideologis
Di balik maraknya judol yang menggurita, terdapat faktor sistemis ideologis yang menjadi akar persoalan. Yaitu, penerapan sistem hidup sekuler kapitalis yang menghalalkan segala cara untuk meraih kekayaan secara instan. Begitupun dalam kehidupan yang diatur oleh sistem sekuler, judol cenderung tumbuh subur karena sistem ini memisahkan ajaran agama (syariat Islam) dari aspek-aspek yang mengatur kehidupan. Sistem ini pun mengabaikan nilai moral dan agama, meski harus mengorbankan masa depan generasi demi mengejar keuntungan dan cuan semata.
Selain itu, keluarga kehilangan peran dalam mendidik anak. Kedua orang tua harus berjibaku mencari nafkah di sistem sekuler ini. Penggunaan gawai yang tidak terkontrol juga merupakan salah satu penyebab anak dapat mengakses segala hal di dunia digital.
Diperparah lagi, sistem pendidikan sekuler menjauhkan masyarakat dari pemahaman agama yang shahih dan kafah. Akibatnya, masyarakat makin bodoh dengan aturan agama dan mengabaikan standar halal-haram dalam kehidupan. Judol dilakukan karena ketidakpahaman bahwa judi itu perbuatan yang dilarang oleh Allah Swt. Masyarakat yang terbentuk dalam sistem kapitalisme ini cenderung individualistis. Rasa peduli yang rendah membuat masyarakat tidak mau terlalu mencampuri urusan orang lain.
Sejauh ini, pemerintah telah melakukan pemblokiran hampir satu juta situs judi daring. Namun, langkah tersebut belum cukup untuk menyelesaikan masalah secara menyeluruh. Pemerintah masih melakukan langkah-langkah kuratif yang bersifat tambal sulam dalam menyelesaikan persoalan ini. Pemblokiran situs-situs judi online ini tidak membuat jera para bandar judi.
Alhasil, pemerintah terkesan setengah hati dalam memberantas judol. Pemblokiran situs tampak tebang pilih. Terbukti, beberapa situs masih aktif beroperasi seolah dibiarkan. Lebih memprihatinkan lagi, praktik ini mendapat “perlindungan” dari oknum yang seharusnya berperan aktif dalam memberantas judol.
Realitas ini membuktikan bahwa kapitalisme tidak mempunyai solusi yang hakiki dalam menyelamatkan generasi agar terbebas dari judol. Negara lepas tangan dari tanggung jawabnya menuntaskan kejahatan secara tuntas.
Paradigma Islam
Persoalan judi online akan tuntas melalui penerapan Islam kafah dalam daulah khilafah (sistem bernegara yang menerapkan syariat Islam secara menyeluruh). Sebab, Islam mengharamkan judi secara mutlak. Allah berfirman dalam surah Al-Maidah ayat 90:
“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji (dan) termasuk perbuatan setan.”
Khilafah Islam menerapkan sistem pendidikan berbasis akidah Islam di lingkungan keluarga, masyarakat, dan negara. Dengan dasar akidah Islam maka keluarga, terutama ibu berperan dalam membentengi anak dari kemaksiatan, termasuk jebakan judi online. Dengan begitu, anak-anak menjadi pribadi yang kuat secara akidah, bertakwa, dan takut melakukan kemaksiatan.
Sistem pendidikan Islam menanamkan akidah Islam sehingga terbentuk pola pikir dan pola sikap yang sesuai dengan ajaran Islam, tidak berorientasi hanya pada hasil/nilai akademis, tetapi lebih ke pembentukan karakter-karakter yang kuat dalam berperilaku dengan standar halal dan haram. Dalam hal ini, termasuk penggunaan literasi digital yang disesuaikan dengan syariat Islam.
Selain itu, masyarakat Islam dididik untuk memiliki kepedulian dan kontrol sosial terhadap sesama. Hal ini karena amar ma’ruf nahi mungkar diwajibkan oleh Allah kepada setiap muslim, dan merupakan perbuatan yang sangat mulia. Ketika ada indikasi kemaksiatan, masyarakat tidak akan membiarkan. Di saat yang sama, negara juga menjadi pelindung masyarakat dari segala bentuk kemaksiatan. Negara akan menutup celah-celah perjudian dan konten-konten yang merusak.
Paradigma Islam menjadikan setiap perilaku manusia harus sesuai tuntutan syariah. Masyarakat pun memahami tujuan hidup di dunia untuk meraih rida Allah. Negara juga melaksanakan fungsi kontrol dengan memanfaatkan kemajuan teknologi digital untuk kemaslahatan umat.
Karena itu, hanya dengan menerapkan syariat Islam secara kafah dalam seluruh aspek kehidupan, semua jenis kemaksiatan akan bisa diberantas tuntas, termasuk judi online. Untuk itu, diperlukan dakwah Islam untuk membangkitkan pemikiran umat akan pentingnya menerapkan syariat Allah secara kafah ini.