
Oleh: Ratna Kurniawati, SAB
Linimasanews.id—Pada era digital saat ini, media sosial telah mengubah banyak hal. Termasuk di antaranya adalah tentang memilih pemimpin. Viral saat ini menjadi bekal utama untuk menarik hati di kalangan pemilih, terutama generasi muda. Seseorang yang awalnya merupakan orang yang biasa-biasa saja, mendadak menjadi terkenal dan viral lewat konten media sosial demi mendulang suara agar terpilih menjadi pemimpin. Generasi muda mengenal sosok calon pemimpin ini lewat umggahan di media sosial seperti Tiktok, Instagram, maupun video singkat di Youtube.
Fenomena tersebut menimbulkan pertanyaan penting, apakah viralitas saja cukup untuk menilai kualitas kepemimpinan seseorang? Sedangkan, untuk menjadi pemimpin sejati tidak cukup hanya bermodalkan viral. Seorang pemimpin sejati merupakan pemimpin yang dinantikan kemampuannya memimpin dan menjalankan amanah melayani rakyat. Bukan pada saat sumpah jabatan semata.
Di antara beberapa nama pemimpin yang terkenal rajin membuat konten kegiatannya selaku pejabat publik adalah Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi (KDM). Ia kerap menggulirkan kebijakan yang menuai sorotan publik, menuai pro dan kontra, seperti di antaranya syarat vasektomi untuk bansos, siswa nakal dikirim ke barak militer, larangan wisuda dan perpisahan sekolah, larangan study tour, pangkas dana hibah pesantren, pembongkaran proyek hibisc fantasty di Puncak, pembuatan satgas anti premanisme (CNNIndonesia.com, 9/5/25).
Sementara itu, terkait tingkat kepuasan publik terhadap sosok pemimpin, Lembaga Survey Indonesia (LSI) merilis, di antara daftar Menteri Kabinet Prabowo Gibran, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman meraih peringkat kelima dengan 89,4 persen tingkat kepuasaan publik. Kebijakan strategisnya antara lain: program modernisasi pertanian, subsidi dan bantuan untuk petani, revitalisasi irigasi, dan pengendalian Impor Pangan (Jalurinfosulbar.id, 6/2/25).
Selain sosok di atas, mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan tidak kalah viral, dengan proyek dan kebijakannya antara lain: gelaran Formula E, proyek Jakarta International Stadium (JIS), sumur resapan, DP rumah 0 persen, pengelolaan sampah ITF (intermediate treatment facility), juga tarif PBB gratis bagi rumah warga ibu kota yang memiliki nilai objek pajak di bawah 2 miliar (kompas.com, 29/11/22).
Topeng
Kecanggihan teknologi dan media sosial memberikan kesempatan luas bagi siapa saja untuk membangun citra diri (image). Seorang calon pemimpin bisa menjadi terkenal karena momen lucu, gimmick yang unik, maupun cara berbicara yang berbeda. Hal tersebut memang tidak salah sepenuhnya karena media sosial merupakan sarana komunikasi modern.
Namun, ketika viralitas dijadikan tolok ukur dalam pemilihan pemimpin, tertu berisiko. Untuk apa calon pemimpin viral kalau ibarat sebatas topeng yang hanya baru berganti ketika pemimpin lama sudah lengser? Kondisi tersebut akan mengakibatkan kejenuhan yang suatu saat bisa menjadi bom waktu.
Adapun faktor pemimpin dapat memikat hati masyarakat saat ini antara lain: Pertama, kedangkalan berpikir umat. Padahal, popularitas tidak menjamin kualitas kepemimpinan. Kedangkalan berpikir menyebabkan umat fokus pada aspek permukaan dan tidak mendalami substansi. Selain itu, kurangnya literasi politik membuat masyarakat mudah terbawa arus viralitas semata.
Kedua, pemanfaatan media sosial sebagai alat pencitraan serta memanfaatkan kedangkalan berpikir masyarakat. Para calon pemimpin kerap memakai cara ini, seperti membagikan bansos sambil membawa kamera dan pasukan konten.
Ketiga, sistem kapitalis saat ini menjadi landasan berpikir dan berbuat, seperti kebebasan individu, persaingan bebas, dan cara pandang masyarakat termasuk dalam memilih pemimpin.
Keempat, mandulnya peran partai politik sebagai penggerak dan pemberi informasi dan edukasi kepada masyarakat. Mereka fokus pada kekuasaan semata.
Kriteria Pemimpin Sejati sebagai Penegak Syariat Ilahi
Seorang muslim yang hidup dalam negara mayoritas beragama Islam, sudah selayaknya menjadikan Al-Qur’an dan sunah sebagai standar dalam memilih calon pemimpin. Dalam kitab Fikih siyâSah, termasuk Kitab Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah karya Imam Al-Mawardi banyak dibahas kriteria calon pemimpin. Adapun kriteria pemimpin dalam Islam yaitu: 1. Muslim 2. Laki-laki 3. Baligh 4. Berakal 5. Merdeka (bukan budak/dibawah kekuasaan pihak lain) 6. Adil 7. Mampu atau memiliki kemampuan sebagai seorang pemimpin. Ketujuh kriteria tersebut merupakan syarat in’iqad (pengangkatan) berdasarkan Al-Qur’an dan sunah sebagaimana dijelaskan dalam kitab Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, halaman 50-53, juga kitab Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, halaman 22-27.
Namun, sebagaimana diketahui, sistem kapitalis masih bercokol di negeri ini. Alhasil, tidak berbeda dengan periode-periode sebelumnya, pemimpin hanya berganti orang yang merupakan replika rezim terdahulu. Kepentingan oligarki masih menaungi mereka sebagai pengusungnya. Selama masih bercokol sistem kapitalis maka kedaulatan masih berlandaskan ideologi kapitalis dengan asas kemanfaatan.
Hal ini tentu berbeda dengan sistem Islam yang menetapkan kedaulatan di tangan syarak. Kepemimpinan dalam sistem Islam pun berlandaskan pada akidah Islam.
Dalam Islam, kepemimpinan ada untuk mengurusi urusan umat dengan sebaik-baiknya. Untuk itu, pemimpin mesti ikhlas dalam mengemban amanah, bukan berlandaskan asas kemanfaatan maupun untung rugi. Karena itu, bukan hanya viralitas yang dibutuhkan rakyat.
Saat ini, selama masih dalam sistem kapitalis, seorang pemimpin yang terpilih akan menjaga hegemoni kapitalis seperti pemimpin sebelumnya. Pemimpin baru hanya berganti wajah. Oleh karena itu, umat harus cerdas agar tidak tertipu dalam lubang yang sama.