
Oleh: Emmy Harti Haryuni
Linimasanews.id—Pergi haji ke tanah suci, menjalani niat yang murni, wajahnya berseri-seri penuh rahmat dari Ilahi. Semoga Tuhan memberkahi amal ibadah insani.
Labaik Allahumma labaik. Labaik la syarika lak. Innal hamda. Wa ni’mata. Laka wal mulk. La syarika lak. Labaik Allahumma labaik. Labaik la syarika lak.
Indah nian syair lagu Pergi Haji tersebut, menggambarkan kerinduan yang membuncah dari setiap muslim untuk bisa menunaikan rukun Islam yang kelima, melihat langsung ka’bah yang menjadi kiblat umat Islam sedunia, merasakan thawaf, sai’, tahalul, mabit di Mina, wukuf di padang Arafah, mabit di Muzdalifah, dan melempar jumrah. Sungguh semua itu momen terindah dambaan muslim dan muslimah di dunia.
Pertanyaannya, ketika berada di Tanah Suci, apakah setiap jaamah bisa merasakan kenikmatan pesona ibadah haji? Ataukah justru kenikmatan ibadah makin memudar? Bagaimana tidak, jika kenyamanan dan keamanan beribadah terancam dan tidak terjamin. Bayangkan ketika mendapati data dan fakta jamaah haji yang tidak sesuai penempatannya. Ada suami terdaftar untuk menginap di hotel A, berbeda dengan istrinya yang harus menginap di hotel B. Sementara, tas koper besar dikirim ke hotel C, dan koper kecil terpental di hotel D dengan jarak antara satu hotel dengan hotel lainnya sangat jauh.
Kerepotan berlapis-lapis yang demikian sungguh memprihatinkan. Tenaga dan pikiran jamaah haji terkuras untuk perihal yang seharusnya tidak terjadi. Terlebih, musim haji tahun ini cuaca di Tanah Suci sangat panas hingga mencapai 50 derajat celsius. Tenaga yang semestinya digunakan untuk langsung menjalankan ritual haji karena sudah dalam kondisi berihram, menjadi panik karena terpisah dengan pasangan atau keluarga serta tas yang berisi perbekalan selama ibadah haji.
Tak berhenti di situ saja, hal yang tidak seharusnya terjadi pun terus menodai indahnya perjalanan haji. Seperti, tidak ada petugas kesehatan di dalam sebuah kloter yang menjadi penanggung jawab ketika ada jamaah yang membutuhkan pelayanan medis dikarenakan visa yang belum keluar. Bahkan, ada petugas haji yang diusir ke Jeddah karena tidak ada tashreh haji sebagai syarat untuk melaksanakan ibadah haji yang ditetapkan pemerintah Arab Saudi (ftnews.co.id, 3/6/2025).
Kisah paling memilukan adalah tentang beberapa jamaah meninggal karena kelelahan berada di dalam bus saat mencari hotel penginapan yang tak kunjung ketemu. Bahkan, ada seorang jamaah yang merupakan seorang pengajar di Perguruan Tinggi Islam Madura menggunakan visa ziarah, ia meninggal karena kekurangan cairan di tengah jalan. Ia diturunkan oleh sopir yang ketakutan terjaring razia haji ilegal menurut pemerintah Arab Saudi (Tempo.co, 4/6/2025).
Wajar saja sebuah surat kabar menulis judul “Haji 2025 Lebih ‘Mencekam’ Dibanding Zaman Pandemi”. Bayangkan, bagaimana jamaah bisa menikmati pesona Arafah jika ditimpa bertubi-tubi peristiwa berat ketika tiba di Tanah Suci? Jamaah kelelahan mempersiapkan ibadah haji dari mulai berkas-berkas persyaratan administrasi, tes kesehatan, urusan keimigrasian, kegiatan manasik haji, koordinasi antarjamaah, hingga mempersiapkan bekal logistik berbagai keperluan beribadah haji serta kesiapan mental dan materi bagi keluarga yang ditinggalkan selama beribadah haji.
Sungguh itu semua adalah aktivitas fisik yang menguras energi, pikiran, dan uang. Lalu, ketika tiba di Tanah Suci, malah mengalami berbagai kesulitan untuk menjalani kehidupan dan ibadah. Terlebih setelah diterapkan sistem multi-syarikah pada tahun ini, yang sebelumnya hanya satu syarikah saja. Kekacauan muncul ketika dalam satu kloter ternyata dipecah menjadi lebih dari satu syarikah. Itulah yang menyebabkan banyak jamaah terpisah dari pasangan atau keluarganya.
Kondisi kaum muslimin saat ini yang terpecah-pecah menjadi banyak negara membuat lemah dan muncul banyak problematika yang tidak terpecahkan. Setiap negara memiliki kepentingan masing-masing dengan aturan dan birokrasi yang berbeda pula. Akibatnya, tarik ulur kepentingan menjadi hal yang tidak bisa dihindarkan.
Sejatinya, benang kusut permasalahan dalam pelaksanaan ibadah haji yang hingga kini tak dapat terurai adalah karena kaum muslim terpecah-pecah dalam nation state. Sejatinya solusi dari berbagai permasalahan haji adalah kembali kepada persatuan umat dalam naungan satu kepemimpinan, sehingga hajat akbar ibadah haji bisa diurus dalam satu komando yang terbebas dari tarik ulur pihak mana pun.
Khilafah Menebar Pesona Arafah
“Wahai seluruh manusia, dengarkanlah baik-baik perihal yang akan kusampaikan. Aku tidak tahu apakah nanti bisa berjumpa kembali dengan kalian semua setelah tahun ini. Maka dari itu, dengarlah dengan cermat pesanku ini dan sampaikanlah kepada orang-orang yang tidak dapat hadir di sini pada hari ini.”
Mendengar kalimat itu membuat sahabat Abu Bakar tak sanggup menahan tetesan air mata yang tiba-tiba mengalir. Tak ada yang menduga saat itu adalah momen pertama dan terakhir baginda Nabi saw. memberikan khutbah haji yang dilakukan pada tahun 10 Hijriyah.
Khutbah tersebut sebuah pesan perwujudan cinta Nabi saw. kepada umatnya. Di penghujung usia Nabi saw. menunaikan ibadah haji dengan khotbah Arafah yang menyentuh hati.
Bertahun-tahun setelahnya, jamaah haji terus berdatangan. Akan tetapi, indahnya pesan cinta tampaknya sudah tidak lagi menjadi pesona yang menarik hati. Perjalanan ibadah haji hanya dianggap wisata religi yang tidak berdampak pada spirit dan perjuangan umat Islam.
Padahal, miliaran umat Islam yang berasal dari seluruh bangsa serempak bertemu di Tanah Suci untuk berhaji adalah bukti wujud kesatuan yang melampaui sekat-sekat nasionalisme. Bukankah makin jelas bahwa persatuan umat Islam sedunia tidak didasari persamaan budaya atau etnis, melainkan disatukan oleh akidah Islam yang menghapus segala perbedaan duniawi? Bukankah semestinya umat Islam yang berjumlah sebanyak hampir 2 miliar akan menjadi kekuatan superpower yang ditakuti jika terikat dengan persatuan?
Mirisnya, malah terpecah-pecah karena sekat nasionalisme dan golongan. Padahal, semestinya persatuan saat di Arafah tidak hanya sesaat, tetapi untuk selamanya agar umat terhindar dari permusuhan dan penderitaan. Persatuan sejati hanya dapat terwujud dalam institusi politik Islam global (Khilafah), yang menyatukan umat dalam satu tubuh dan tujuan. Arafah mengingatkan pesan Nabi saw. bahwa kepatuhan mutlak kepada Allah semata, sehingga otomatis mendorong umat untuk taat secara totalitas pada aturan Islam secara kafah. Baik pada aspek ritual ibadah, juga aspek muamalah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.