
Editorial—Tiga peristiwa besar mengguncang Indonesia dan dunia Islam dalam waktu bersamaan: kisruh penyelenggaraan ibadah haji, kerusakan ekologis di Raja Ampat akibat tambang nikel, dan genosida brutal di Palestina yang berlangsung tanpa henti. Ketiganya tampak tak saling berkaitan secara geografis maupun sektoral, namun memiliki satu benang merah yang tak terbantahkan: absennya negara dalam perannya sebagai pelindung rakyat, dan dominasi sistem kapitalisme yang merusak.
Pertama, tragedi haji 2025 memperlihatkan bagaimana ibadah suci diperlakukan sebagai komoditas. Ribuan jamaah menjadi korban karena pembatalan visa, birokrasi kacau, dan minimnya tanggung jawab negara. Ibadah yang seharusnya dilayani sepenuh hati, justru menjadi ladang bisnis dan peluang rente bagi para pemangku kepentingan.
Kedua, kerusakan lingkungan di Raja Ampat oleh tambang nikel menyingkap wajah asli negara dalam melindungi alam: lamban, reaktif, dan subordinatif terhadap kepentingan korporat. Kawasan konservasi laut paling indah di dunia ini nyaris rusak total oleh aktivitas industri yang bahkan melanggar hukum, tapi tetap dibiarkan beroperasi hingga tekanan publik memaksa dihentikan sementara.
Ketiga, genosida atas rakyat Palestina menunjukkan bahwa bahkan atas tragedi kemanusiaan sebesar ini, negara-negara Muslim tetap bungkam. Tidak ada pengerahan kekuatan, tidak ada langkah konkret. Yang ada hanya kecaman dan pernyataan normatif, padahal darah saudara Muslim ditumpahkan setiap hari, bahkan di hari raya.
Tiga tragedi ini bukan anomali. Ini adalah gejala struktural dari sistem kapitalisme sekuler yang mengatur negara-negara hari ini. Sistem ini memutus hubungan antara kekuasaan dan tanggung jawab moral. Negara tak lagi hadir sebagai raain (pengurus umat), tetapi sebagai fasilitator kepentingan bisnis dan kekuasaan geopolitik.
Dalam sistem ini, ibadah diperdagangkan, alam dieksploitasi, dan nyawa manusia dinegosiasikan. Kapitalisme telah menghilangkan kepekaan nurani, menggantinya dengan logika untung rugi. Bahkan para pemimpin negeri Muslim lebih takut pada tekanan pasar dan diplomasi asing daripada seruan rakyat dan tuntutan syariat.
Tulisan ini tidak hendak menyerukan reformasi administratif semata. Reformasi birokrasi, regulasi ketat, atau koordinasi diplomatik tak akan menyentuh akar masalah. Yang dibutuhkan adalah perubahan sistemik yang kembali pada paradigma bahwa kekuasaan adalah amanah dari Tuhan, dan rakyat adalah tanggung jawab, bukan objek transaksi.
Dan itu hanya bisa diwujudkan oleh sistem pemerintahan yang berbasis syariat: Khilafah Islam. Sebuah entitas politik yang mempersatukan umat, mengelola sumber daya untuk kemaslahatan bersama, menjaga bumi sebagai titipan, dan membela kaum tertindas dengan kekuatan nyata, bukan dengan kata-kata kosong.
Saat negara gagal menjalankan perannya, saat kapitalisme terus menindas dalam berbagai wajah, maka umat harus bangkit dan bukan sekadar mengutuk, tetapi mengambil jalan perubahan. Inilah saatnya menyambut panggilan dakwah ideologis, menguatkan jamaah yang konsisten menyerukan kebangkitan Islam, dan menjemput sistem yang telah lama absen yakni Negara Islam yang adil, kuat, dan takut kepada Allah. [OHF]