
Oleh: Eni Yulika, S.Pd.
Linimasanews.id—Kasus ditemukannya kuliner yang tidak halal kembali terjadi. Kali ini ayam goreng Widuran yang ada di Kota Solo. Padahal, sudah banyak umat Islam yang datang menikmati ayam goreng tersebut, tetapi tidak ada pemberitahuan dari pihak rumah makan mengenai ketidakhalalam produk ayam gorengnya.
Dikutip dari Tribunnews.com (03/06/25), Kasat Reskrim Polresta Solo, AKP Prastiyo Triwibowo menanggapi soal laporan dari warga Solo mengenai Ayam Goreng Widuran yang dianggap telah membohongi konsumen dengan tidak mencantumkan keterangan non-halal.
Namun, jelas Prastiyo, dalam Pasal 26 dan 27 UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang jaminan produk halal yang menjadi dasar aduan, juga tidak mewajibkan semua restoran untuk melakukan hal tersebut. “Di situ juga ada celah bahwasanya memang apabila tidak memasang itu akan menjadi dapat dikenakan sanksi administrasi. Hanya sebatas itu,” urai dia.
Miris, kasus ini mungkin merupakan sebagian kecil kasus yang tampak, sementara yang tidak tampak mungkin banyak. Karena, pemahaman publik tentang bahan-bahan halal masih minim. Bahkan, makanan yang haram pun masih kerap dikonsumsi dengan banyak alasan. Misalnya, kuliner hewan buas seperti ular, ataupun minuman memabukkan seperti khamar. Ini membuktikan sifat kehati-hatian umat Islam untuk terjaga dari makanan dan minuman yang halal masih sangat kurang.
Hal ini makin parah karena ditambah lagi aturan yang mengharuskan makanan agar berlabel halal, sedangkan makanan haram tidak ada aturan untuk mencantumkan keharamannya, kecuali hanya sebuah spanduk bergambar makanan saja. Seperti kasus restoran ayam Widuran tersebut. Orang menganggap menunya hanya ayam, zat yang halal. Padahal, pada bahan yang digunakan untuk menggoreng kriuk ayam tersebut terbuat dari lemak babi. Alhasil, dalih rasanya yang enak membuat keharamannya diabaikan karena tidak tampak dari penampilan.
Begitu pula khamr atau minuman yang menghilangkan akal. Jika legal boleh beredar, tetapi jika tidak legal tidak bisa beredar. Akhirnya, khamr tetap merajalela. Bagi masyarakat miskin, tuak di dalam hidangannya menjadi biasa dengan alasan menghangatkan tubuh.
Akibat Sekuler
Sistem yang tidak berlandaskan Islam menjadikan masyarakat tidak peduli dengan makanan yang dimakan. Sistem hari ini memisahkan agama dari kehidupan (sekuler). Sistem ini membuat manfaat menjadi standar penentuan boleh tidaknya makanan dikonsumsi. Jika haram, tetapi ada yang membutuhkannya, maka akan tetap diproduksi. Sistem ini tidak menjamin makanan yang dikonsumsi oleh umat Islam halal. Akhirnya, masyarakat kebingungan dan terbiasa tidak peduli. Akhirnya, yang penting bisa makan dan enak, halal belakangan.
Sementara itu, di dalam Islam, harusnya masyarakat diberikan edukasi yang sungguh-sungguh tentang pentingnya mengonsumsi makanan yang halal. Selain itu, diedukasi tentang cara mencari tahu bahan baku suatu produk itu halal atau tidak. Publik harus tahu bahwa semua bahan pendukung harus terhindar dari bahan-bahan haram. Dibutuhkan pula petugas sidak untuk menguji di laboratorium, sehingga masyarakat tahu mana yang berbahaya dan yang tidak.
Selain diberi pemahaman, pengujian bahan makanan, dibutuhkan pula aturan yang tidak berbenturan dengan syariat Islam. Setelah itu semua, aturan yang tegas akan membuat masyarat tidak berani untuk mengulangi maksiatnya kembali. Aturan tentang label halal yang ada di depan warung harus benar-benar dalam pengujiannya agar dapat diketahui bahan bahannya halal atau haram. Makanan yang haram jumlahnya lebih sedikit, harusnya diberi label haram, sehingga umat Islam tidak tertipu oleh penjual yang nakal.