
Oleh: Ummu Syam (Aktivitis Muslimah Cibarusah)
Ipteng—Pada era Khilafah Abbasiyah, seseorang yang dianggap kaya adalah yang paling banyak memiliki buku di rumahnya. Kok, bisa?
Di masa itu, negara memberikan jaminan kepada masyarakatnya berupa kebutuhan primer secara gratis. Ketika kebutuhan primer ini sudah terpenuhi, maka hal ini berbanding lurus dengan kebutuhan akan ilmu pengetahuan.
Terbukti, ilmu pengetahuan di era Khilafah Abbasiyah mengalami kemajuan yang sangat pesat. Perpustakaan-perpustakaan banyak dibuka. Di era ini, negara banyak mencetak para ilmuwan dan penulis. Bahkan, orang-orang Eropa berbondong-bondong datang belajar ke pusat-pusat studi Islam, seperti Spanyol dan Sicilia.
Hal ini membuktikan bahwa syariat Islam, ilmu pengetahuan, dan masyarakat yang faqih fiddin adalah kolaborasi yang harmonis untuk mencapai peradaban yang maju nan gemilang. Di masa inilah disebut sebagai masa keemasan Islam. Tak ayal, buku, ilmu pengetahuan dan pendidikan, menjadi acuan dalam mengklasifikasikan strata sosial masyarakat.
Sedangkan pada era 4.0 saat ini, frasa “kaya” secara harfiah mengalami pergeseran makna. Hal ini tentu dipengaruhi oleh banyak hal. Meskipun teknologi telah membawa banyak kemudahan dalam menjalankan berbagai aktivitas, namun ironisnya hal ini tidak selalu diikuti dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Sistem kapitalisme yang diterapkan dalam berekonomi, menyeret masyarakat kepada kehidupan yang kapitalistik. Absennya negara dalam memenuhi kebutuhan primer rakyatnya mengakibatkan beban yang dipikul rakyat makin berat. Sehingga, aktivitas masyarakat hanya berkutat pada pemenuhan kebutuhan primer, sedangkan pendidikan dianggap hanya menjadi formalitas sebagai syarat untuk mencari pekerjaan.
Maka, tidak heran jika makna “kaya” diartikan dalam bentuk materi. Kebahagiaan pun dipandang dari seberapa banyak materi yang dimiliki. Tidak heran juga, budaya pamer kekayaan menjadi corak khas kehidupan masyarakatnya. Inilah hasil dari sistem kapitalisme.
Lalu, bagaimana dengan Barat? Apakah dengan kemajuan ilmu pengetahuan membawa Barat pada masa keemasan?
Majunya peradaban Islam telah menginspirasi Barat dalam hal ilmu pengetahuan. Melalui negosiasi dengan pihak gereja, para orientalis Barat berhasil memisahkan agama dari kehidupan. Karena bagi Barat, agama adalah candu, agama adalah penghambat kemajuan. Era Reinassance pun dimulai, menjadi saksi kemajuan intelektual dan industri di dunia Barat.
Alhasil, sejak saat itu, tepatnya sejak Islam kehilangan identitasnya sebagai peradaban yang maju, Barat begitu memesona dalam pandangan para pencari ilmu pengetahuan. Barat memang menyajikan ruang ilmu pengetahuan yang begitu luas, dan menawarkan kemajuan teknologi, namun Barat sangat rapuh pada sistem tatanan sosialnya.
Kehidupan kapitalistik menyentuh setiap lini kehidupan, termasuk dalam pendidikan di Barat. Tidak sedikit perguruan tinggi yang terang-terangan melabeli dengan “Entrepreneur University”. Bahasa sederhananya, pendidikan menjadi ladang komoditas bisnis yang menjanjikan, menekankan relevansi terhadap industri, masyarakat, dan ekonomi. Di samping itu, Barat menawarkan kehidupan yang bebas sebebas-bebasnya, sehingga tidak sulit bagi kita membedakan mana perilaku hewan dan mana perilaku manusia. Hal ini mengisyaratkan, bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di Barat tidak serta merta membawa manusia pada kemajuan taraf berpikir dan berperilaku.
Inilah potret manusia dalam kehidupan kapitalistik. Dalam perspektif ilmu pengetahuan dan pendidikan, setiap individu terdorong oleh motif ekonomi, konsumsi massal, dan pencapaian materi. Dimana hal ini berpotensi menggeser nilai-nilai kemanusiaan dan keseimbangan hidup.
Dengan kompleksitas permasalahan pendidikan dan ilmu pengetahuan di era kapitalistik sekarang, tidak heran rasanya jika masyarakat merindukan “The Golden Age” itu datang kembali. Ketika kesejahteraan dalam naungan Islam sejalan dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, dan luhurnya budi pekerti manusia. Semua itu hanya akan didapatkan ketika kita tidak lagi menodai hak Allah Swt. sebagai pengatur kehidupan, dan menjadikan Islam satu-satunya ideologi yang diimplementasikan dalam kehidupan individu, masyarakat, maupun negara.