
Oleh: Rosna Fiqliah (Pemerhati Sospol, Deli Serdang)
Linimasanews.id—Pemerintah Mesir dilaporkan mendeportasi puluhan aktivis yang berencana mengikuti konvoi kemanusiaan dengan tujuan melawan blokade Israel di Jalur Gaza. Aksi Global March to Gaza yang dimulai pada Minggu (15/6/2025) bertujuan untuk menekan pihak-pihak terkait agar membuka blokade Gaza yang digempur Israel sejak Oktober 2023 (Kompas.TV, 12/6/2025).
Ironis, aksi kemanusiaan ini justru dihentikan bukan oleh Israel, tetapi oleh negeri muslim sendiri yang berbatasan langsung dengan Gaza. Fakta ini menunjukkan bahwa Gaza tidak hanya dikepung oleh penjajah Zionis, tetapi juga dikhianati oleh rezim-rezim Arab. Padahal, negara-negara seperti Mesir, Yordania, UEA, hingga Arab Saudi punya kekuatan politik dan militer yang cukup untuk menekan Israel. Namun, justru sebaliknya, mereka menutup akses bantuan, mendeportasi relawan, dan menormalisasi hubungan dengan penjajah.
Ini bukan kelemahan, tetapi pengkhianatan terang-terangan terhadap umat Islam dan saudara seiman yang sedang dijajah. Pengkhianatan ini bukan tanpa sebab. Akarnya adalah nasionalisme sekuler warisan penjajah yang menjadikan setiap negeri muslim berdiri sendiri, terpisah, dan tidak peduli terhadap nasib negeri muslim lainnya. Gaza dianggap “urusan Palestina”, bukan kewajiban seluruh kaum muslimin.
Selama umat Islam dibelenggu oleh nasionalisme, selama mereka dipimpin oleh rezim yang tunduk pada aturan internasional buatan Barat, maka Gaza akan tetap terkepung. Umat punya kekuatan, punya tentara, punya kekayaan, tapi semua lumpuh karena tidak ada satu kepemimpinan Islam yang menyatukan dan menggerakkan mereka.
Islam tidak mengenal batas negara buatan. Islam tidak mengenal sikap “bukan urusan kami” terhadap penjajahan atas wilayah kaum Muslimin. Dalam Islam, seluruh umat Islam adalah satu tubuh dan kepemimpinan umat adalah satu, yaitu khilafah.
Khilafah adalah institusi yang menyatukan umat dalam satu komando politik dan militer. Dalam sistem ini, Gaza bukan wilayah asing, tetapi bagian dari rumah sendiri yang wajib dibela. Pembebasan Gaza bukan sekadar opsi diplomasi, tetapi kewajiban jihad yang dijalankan oleh negara Islam secara resmi dan terorganisasi.
Dengan Khilafah, umat memiliki alat untuk membela dirinya. Tentara digerakkan bukan karena kepentingan politik sesaat, tetapi karena perintah Allah. Kekayaan umat dimobilisasi untuk mendukung perjuangan, bukan disimpan di bank-bank asing. Penguasa pun bertanggung jawab langsung kepada Allah, bukan kepada penjajah atau lembaga internasional.
Hanya Khilafah yang mampu menghapus sekat nasionalisme dan mengembalikan loyalitas umat kepada Islam. Hanya Khilafah yang dapat mengakhiri pengkhianatan para penguasa boneka dan menggantinya dengan kepemimpinan yang amanah. Hanya dengan kembali pada syariah secara kafah, Gaza dan seluruh wilayah Muslim yang dijajah akan benar-benar terbebas, bukan lewat slogan, tetapi lewat kekuatan riil yang sah.
Gaza tidak butuh lagi kutukan atau kecaman. Gaza butuh kebangkitan politik Islam. Saatnya umat bangkit, memperjuangkan kembali sistem Islam yang akan menyatukan, melindungi, dan membebaskan.