
Editorial—Ketika Global March to Gaza (GMTG) dicanangkan sebagai gerakan internasional untuk menekan blokade atas Jalur Gaza, harapan akan kebangkitan nurani dunia pun kembali menggeliat. Di berbagai belahan dunia, dari Jakarta hingga Johannesburg, massa turun ke jalan menyuarakan solidaritas. Namun alih-alih mendapat dukungan dari negara-negara Muslim, para aktivis kemanusiaan justru diadang, diusir, bahkan dihalangi memasuki Rafah—satu-satunya pintu keluar masuk ke Gaza dari dunia luar yang tidak dikontrol langsung oleh Israel.
Apa yang salah dari semua ini?
Kenyataan ini menunjukkan sebuah kenyataan pahit: nasionalisme dan konsep negara-bangsa telah menjadi pagar kokoh yang menghalangi jalan pembebasan Palestina. Nasionalisme, yang dulu digadang sebagai alat pembebasan dari kolonialisme, justru hari ini bertransformasi menjadi alat efektif untuk mempertahankan sistem internasional yang didesain oleh penjajah. Dalam konteks Timur Tengah, nasionalisme telah memecah umat Islam menjadi lebih dari 50 negara yang masing-masing mengutamakan kepentingan lokal di atas ukhuwah Islamiyah.
Di sinilah letak tragedi besar umat Islam. Di saat Gaza dibombardir, rumah-rumah hancur, dan anak-anak mati tertimbun reruntuhan, para penguasa negeri-negeri Muslim malah sibuk menghitung untung-rugi diplomatik. Ketika Mesir mengunci pintu Rafah dan menolak aktivis kemanusiaan, mereka bukan sedang netral, tetapi sedang meneguhkan posisi mereka sebagai penjaga status quo yang nyaman dengan perintah negara adidaya seperti Amerika Serikat. Alih-alih berdiri bersama saudaranya yang tertindas, mereka malah menjadi pagar hidup bagi kepentingan para penindas.
Gerakan GMTG dengan sendirinya membuktikan bahwa perjuangan kemanusiaan betapapun tulus dan globalnya akan selalu terbentur oleh tembok nasionalisme yang dibangun dari traktat-traktat kolonial pasca Perang Dunia I. Sekat-sekat buatan ini bukan hanya memisahkan secara geografis, tetapi juga menghancurkan kesadaran umat bahwa mereka adalah satu tubuh. Para aktivis kemanusiaan tidak kalah oleh tentara Israel, tetapi dikalahkan oleh penguasa yang sama agamanya, yang tunduk pada logika negara bangsa dan melupakan jati diri mereka sebagai bagian dari umat yang satu.
Nasionalisme telah memupus nurani. Ia mengajarkan bahwa loyalitas tertinggi adalah pada bendera dan konstitusi, bukan pada iman dan ukhuwah. Dalam dunia Islam, ini adalah pembelotan besar terhadap sejarah dan perintah agama. Islam tidak mengenal batas buatan bangsa-bangsa; Islam mengenal persaudaraan yang melintasi warna kulit, bahasa, dan geografi. Islam memerintahkan pembelaan terhadap kaum tertindas, terlebih bila mereka adalah saudara seiman. Maka ketika pembelaan itu justru ditahan oleh aparat negara-negara Muslim sendiri, umat harus sadar bahwa musuh sesungguhnya bukan hanya Zionisme, tetapi juga sistem nasionalisme yang menjadi penghalang terbesar pembebasan Palestina.
Dalam konteks inilah umat Islam harus memikirkan kembali arah perjuangannya. Perjuangan membela Palestina tidak cukup dengan gerakan kemanusiaan, konferensi, atau kutukan-kutukan formal. Solusinya adalah politik, lebih spesifik lagi, politik Islam. Artinya, perjuangan harus diarahkan untuk membongkar sekat negara-bangsa yang menjadikan umat Islam lemah dan tercerai-berai. Yang dibutuhkan bukan hanya pembukaan blokade, tetapi penghapusan sistem penjajahan modern yang dibungkus dalam perjanjian internasional dan institusi multinasional yang palsu.
Satu-satunya solusi politik yang dapat menyatukan umat, membebaskan Palestina, dan menantang dominasi global adalah kembalinya institusi Khilafah. Bukan sebagai simbol romantik sejarah, tetapi sebagai realitas politik yang menyatukan kekuatan militer, ekonomi, dan diplomasi dunia Islam. Dalam sistem ini, umat tidak lagi terkotak-kotak dalam batas paspor dan visa, tetapi dipimpin oleh satu kepemimpinan yang menjadikan pembebasan Palestina sebagai tanggung jawab bersama.
Khilafah adalah satu-satunya institusi yang mampu memutus ketergantungan kepada negara adidaya dan menyatukan potensi dunia Islam yang sangat besar dari kekuatan militer Turki, cadangan gas Qatar, populasi Indonesia, hingga kedudukan strategis Mesir. Dalam Khilafah, tidak akan ada lagi pasukan perbatasan yang mengusir aktivis kemanusiaan, karena seluruh umat dianggap satu tubuh yang harus saling membela.
Maka jelas, perjuangan membela Palestina harus ditarik ke medan yang lebih strategis: membongkar akar sistemik yang menghalangi pertolongan umat, yaitu nasionalisme dan negara-bangsa. Inilah tembok penjajah yang sebenarnya. Umat harus keluar dari ilusi PBB, Liga Arab, dan OIC yang tak pernah mampu menyelamatkan satu nyawa pun di Gaza. Umat harus melangkah pada perjuangan ideologis, menyatukan kembali barisan dalam bingkai Khilafah.
Jika tidak, GMTG dan gerakan sejenis akan selalu diperlakukan sebagai ancaman oleh rezim-rezim yang lebih takut pada hilangnya kursi kekuasaan mereka daripada robohnya Masjid Al-Aqsha. Dan selama itu pula, Gaza akan terus menunggu, dalam gelap dan debu reruntuhan, kepemimpinan yang benar-benar datang dari umatnya sendiri. [OHF]