
Oleh: Meti Nur Hidayah, S.Pt. (Aktivis Muslimah Brebes)
Linimasanews.id—Sungguh ironi yang memprihatinkan. Indonesia sebagai negara yang berlimpah kekayaan alamnya, malah mendera kemiskinan yang bisa dikatakan ekstrem, kemiskinan yang bisa disebut “enggak kaleng-kaleng”.
Apalah lagi ketika hitungan garis kemiskinan mengikuti standar tinggi dari Bank Dunia yang menetapkan metode perhitungan garis kemiskinan baru dari standar Purchasing Power Parity (PPP) 2017 ke PPP 2021. Standar garis kemiskinan yang ditetapkan Bank Dunia per Juni 2025 tersebut menyebutkan angka penduduk miskin di Indonesia meningkat menjadi 194,4 juta jiwa. Menurut Bank Dunia, garis kemiskinan negara yang berpendapatan menengah ke atas (upper-middle income) seperti Indonesia berubah, yakni dari 6,85 per dolar menjadi 8,40 dolar per orang per hari (bbc.com, 18/6/2025).
Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2024 Badan Pusat Statistika (BPS), jumlah populasi di Indonesia adalah 285,1 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, maka menurut standar baru perhitungan garis kemiskinan Bank Dunia, dua dari tiga orang di Indonesia tergolong miskin. Namun, jumlah tersebut ternyata berbeda dengan data perhitungan kemiskinan versi BPS yang menyebut, per September 2024 hanya ada 24,06 juta jiwa atau 8,57% dari total populasi yang tergolong penduduk miskin.
Perbedaan perhitungan garis kemiskinan di Indonesia antara Bank Dunia dan BPS menunjukkan perbedaan angka yang terlihat cukup besar. Hal demikian muncul karena adanya perbedaan standar dan tujuan yang berbeda. Badan Pusat Statistik (BPS) mengatakan Bank Dunia menghitung angka kemiskinan Indonesia berdasarkan median garis kemiskinan 37 negara berpendapatan menengah-atas, bukan berdasarkan dasar penduduk Indonesia secara spesifik.
Dengan standar garis kemiskinan Bank Dunia, jumlah penduduk Indonesia dengan pengeluaran di bawah Rp49.244 per hari mencapai 68,2% dari total populasi yang pada 2024 sebanyak 285,1 juta orang. Itu artinya, 194,4 juta warga Indonesia masuk dalam kategori miskin.
Sementara untuk mengukur kemiskinan di Indonesia, BPS memakai pendekatan kebutuhan dasar atau cost of basic needs yang terdiri dari dua komponen: makanan dan non-makanan. Jumlah rupiah minimum yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasar ini dinyatakan dalam garis kemiskinan yang dihitung berdasarkan pengeluaran minimum untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non-makanan.
Komponen makanan didasarkan pada standar konsumsi minimal 2.100 kilokalori per orang per hari, yang mencakup berbagai komoditas seperti beras, telur, tahu, tempe, minyak goreng, dan sayur, termasuk rokok kretek filter. Sedangkan, komponen non-makanan terdiri dari kebutuhan minimum untuk tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, pakaian, dan transportasi. Dengan demikian, penghitungan angka garis kemiskinan di tiap-tiap wilayah versi BPS, baik provinsi maupun kabupaten/kota akan menghasilkan angka yang berbeda-beda.
Perhitungan garis kemiskinan di Indonesia, baik dari Bank Dunia mapun BPS sama-sama dinilai kurang akurat dan relevan dengan kondisi di lapang. Pasalnya, tidak ada kesepakatan dalam standar dan bergantung pada masing-masing penilaian.
Ilusi kesejahteraan dalam Kapitalisme
Memahami problem kemiskinan kekinian pasti berkaitan dengan data angka garis kemiskinan. Sementara, setiap angka garis kemiskinan akan melahirkan kebijakan. Di titik inilah terjadi berbagai perbedaan perlakuan disebabkan perbedaan memahami posisi kemiskinan.
Di Indonesia sendiri, kemiskinan yang terjadi termasuk dalam jenis kemiskinan sistemis/struktural, penyebabnya bukan karena sesuatu yang alamiah (kultural) tapi karena dimiskinkan oleh sistem.
Hal ini dilihat dari berbagai kasus yang menjadi bukti. Misalnya, kasus warga Rempang di Batam. Penduduk yang sudah turun m-temurun menempati wilayah Rempang, sudah hidup dengan pekerjaan yang dijalankan, namun terzalimi dan direlokasi karena pemerintah memihak oligarki atas nama Proyek Stategis Nasional (PSN). Akibatnnya, banyak warga yang kehilangan pekerjaan bahkan tempat tinggal. Pengaruhnya, menambah daftar jumlah orang miskin baru.
Contoh berikutnya, menilik kasus Pantai Indah Kapuk (PIK) 2 yang lagi-lagi atas nama Proyek Stategis Nasional (PSN). Laut dikapling dan direklamasi untuk kepentingan oligarki, sehingga penduduk yang bekerja sebagai nelayan kesulitan dan terbatas aksesnya untuk melaut. Alhasil, pendapatan jadi berkurang bahkan hilang. Tentu kondisi ini menambah daftar panjang angka kemiskinan baru di Indonesia.
Kemiskinan diakibatkan oleh adanya penerapan sistem ekonomi kapitalisme dengan mekanisme liberalisasi. Proses liberalisasi yang menjadikan pihak yang punya modal sebagai pemilik dan pengelola kekayaan alam dan penentu kebijakan ini memunculkan monopoli. Lahirlah darinya kesenjangan ekonomi, yang kaya main kaya, yang miskin akan terus dan makin miskin. Data menunjukkan, di Indonesia saat ini, kekayaan 50 orang terkaya setara dengan kekayaan 50 juta penduduk Indonesia.
Dalam buku yang berjudul “State of Denial” karya Stanley Cohan dijelaskan bahwa dalam penerapan sistem ekonomi kapitalis, pemangku kekuasaan akan memiliki karakter tone deaf untuk bisa melihat persoalan riil di tengah masyarakat, khususnya masalah kemiskinan. Buku ini juga menyebutkan, kemiskinan dan pengangguran dianggap sebagai permasalahan individu, yakni, orang menjadi miskin karena dianggap malas, menjadi pengangguran karena dianggap terlalu pilah-pilih pekerjaan, tidak bisa bersaing dan kurang kerja keras.
Menganggap kemiskinan sebagai persoalan individu merupakan strategi untuk penguasa berlepas tangan dalam tanggung jawabnya, juga sebagai cara untuk cuci tangan sehingga tidak disalahkan atas ketidakmampuan menyelesaikan problem kehidupan, termasuk kemiskinan. Selain itu, agar elektabilitas tidak mengalami penurunan.
Layaklah kiranya mengatakan bahwa selama negara dalam pengelolaan sistem kapitalisme, maka rakyat tak akan pernah mendapatkan jaminan terpenuhi kebutuhan hidupnya dengan baik, terutama kebutuhan dasar. Sebab, negara tak hadir menjamin kesejahteraan merata untuk seluruh rakyat. Inilah gambaran kemiskinan premium menghantarkan ketidaksejahteraan maksimum.