
Oleh: Ika Kusuma
Linimasanews.id—Kisruh pengalihan kepemilikan pulau yang ramai diperbincangkan beberapa waktu lalu menjadi bukti kegagalan otonomi daerah (OTDA). Alih-alih menjadi solusi, nyatanya justru menimbulkan masalah baru. Otonomi daerah atau desentralisasi wilayah dalam sistem demokrasi kapitalisme ini sangat rawan dimanfaatkan atau ditumpangi oleh sejumlah kepentingan.
Sebelumnya, terjadi polemik kepemilikan 4 pulau antara Provinsi Aceh dan Provinsi Sumatra Utara, buntut kebijakan Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri) yang mengalihkan kepemilikan keempat pulau tersebut menjadi wilayah administrasi Tapanuli Tengah Sumatra Utara setelah sejak 1992 masuk dalam wilayah administrasi Aceh Singkil. Meskipun Kemendagri beralasan pemindahan kepemilikan Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang berdasarkan letak geografis, namun sebagian kalangan menduga jika hal tersebut erat kaitannya dengan potensi migas yang dimiliki keempat pulau tersebut. (cnnindonesia.com, 15/6/2025).
Selain itu, keputusan Kemendagri No. 300.2.2-2138 terkait Pemindahan Hak Kepemilikan empat pulau tersebut juga dinilai telah mencederai posisi Aceh sebagai daerah otonomi khusus. Semangat perdamaian sejak nota kesepakatan (MoU) Helsinki 2025 antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah pusat juga ikut terusik karena Aceh merasa tidak dilibatkan secara penuh dan terbuka dalam kasus ini (kompas.id, 14/6/2025).
Kesenjangan
Dasar pemikiran sistem otonomi daerah (OTDA) yang lahir sejak Revolusi Industri di Eropa itu memberikan kewenangan pada daerah untuk mengatur urusan pemerintahannya, termasuk dalam urusan pendapatan daerah.
Aturan ini justru menjadi bibit polemik baru. Karena, dengan memberikan kebebasan pada daerah untuk mengolah potensi alam mereka, pada akhirnya justru menimbulkan kesenjangan bagi daerah lain yang mungkin tidak memiliki potensi alam yang sama. Hal ini tentu akan berdampak pula pada pemerataan pembangunan dan tingkat kesejahteraan masyarakat. Bahkan, bukan tidak mungkin akan menimbulkan kecemburuan dan rawan konflik perebutan wilayah kekuasan.
Selain itu, bukan hal baru, dalam sistem demokrasi selalu ada kelompok elite yang mengendalikan kebijakan. Syekh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitab Ajhizatu ad-Daulah Khilafah menjelaskan, demokrasi menetapkan kebebasan kepemilikan sehingga siapa saja yang memiliki modal maka dia akan punya kuasa. Mereka yang berkuasa akan bebas mengeksploitasi SDA.
Tak heran, akhirnya negara hanya hadir sebagai regulator kebijakan sebab sebagian besar kekayaan alam, seperti tambang telah dikuasai swasta dan asing. Dalam sistem kapitalisme, desentralisasi sejatinya bukanlah solusi, melainkan sekadar alat untuk memudahkan kaum elite berkuasa akan suatu wilayah. Kedaulatan di tangan rakyat dalam sistem demokrasi nyatanya hanya untuk sebagian rakyat saja. Mereka yang berkuasa bebas menentukan aturan.
Ini berbeda dengan sistem Islam (khilafah). Islam menempatkan kedaulatan ada di tangan syariat, bukan di tangan rakyat (Syekh Taqiyuddin An-Nabhani, kitab Ajhizatu ad-Daulah Khilafah). Dalam Islam, pemerintahan berjalan di atas syariat. Pertanggungjawabannya tidak hanya di dunia, namun juga di akhirat di hadapan Allah Swt.
Dalam Islam, pemerintah atau negara hadir sebagai junnah (perisai) dan juga raa’ in (pemelihara) urusan rakyatnya sehingga keadilan dan kesejahteraan dapat dirasakan oleh seluruh rakyat. Sistem pemerintahan Islam bersifat terpusat atau sentralistik sehingga menjadikan negara bertanggung jawab penuh mewujudkan kesejahteraan yang merata, tidak hanya pada wilayah yang kaya akan SDA, namun memastikan ke seluruh wilayah negara.
Dalam sistem Islam, telah ditetapkan bahwa SDA hanya boleh dikelola oleh negara. Syariat melarang individu maupun asing mengelola ataupun memiliki SDA yang melimpah. Hasil dari pengelolaan SDA oleh negara itu dikembalikan untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Pendistribusian hasil tersebut dipastikan merata di seluruh wilayah. Pembangunan pun tidak hanya terpusat pada wilayah tertentu, tetapi merata di seluruh pelosok negeri.
Dengan mekanisme ini, tidak akan ada intervensi asing dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh negara. Semua berdasarkan syariat, semata-mata untuk kemaslahatan umat. Demikianlah kesempurnaan sistem Islam dalam pengelolaan SDA dan mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh warganya.