
Oleh: Nining Ummu Hanif
Linimasanewa.id—Publik terhenyak oleh kabar viral, Kejaksaan Agung berhasil mengungkap praktik korupsi yang melibatkan Wilmar Group dan beberapa anak usahanya. Penyidik Kejaksaan Agung menyita uang sebanyak Rp11,8 triliun sebagai bentuk pengembalian kerugian negara, Rp2 triliun di antaranya dalam bentuk tunai. Wilmar dengan kelima anak usahanya diduga kuat telah menyuap pejabat untuk mempercepat proses izin ekspor CPO (crude palm oil) atau minyak kelapa sawit mentah yang mengakibatkan negara mengalami kerugian signifikan (beritasatu,18/6/2025).
Kasus korupsi bertubi-tubi menimpa negeri ini, seolah tiada akhir. Koruptor pun beragam, menggerus kepercayaan publik terhadap integritas penyelenggara negara. Korupsi telah menjadi penyakit akut, seperti kanker yang mengakar kuat.
Upaya mencabut korupsi hingga ke akar tampaknya sia-sia belaka. Sebab, budaya dan pelaku korupsi tidak sendiri. Mereka berjamaah dan saling melindungi untuk mencari cara agar selamat. Korupsi telah melembaga karena didukung oleh kolusi di antara pelakunya. Kolusi atau persekongkolan adalah perbuatan tidak jujur dengan membuat kesepakatan secara tersembunyi dalam melakukan kesepakatan perjanjian yang diwarnai dengan pemberian uang atau fasilitas tertentu (gratifikasi) sebagai pelicin agar segala urusannya menjadi lancar.
Berkenaan dengan masalah korupsi dan kolusi, Presiden RI Prabowo Subianto pada Forum Ekonomi Internasional The 28th St. Petersburg International Economic Forum (SPIEF 2025) di Rusia menyatakan bahwa ada bahaya besar, yaitu “state capture” yang mengintai negara berkembang, termasuk Indonesia. (kumparan.com,20/6/2025).
Demokrasi Habitat Korupsi
State capture corruption adalah bentuk korupsi yang paling berbahaya karena melibatkan aktor-aktor elite, baik dari pemerintahan maupun sektor swasta dalam mengendalikan kebijakan dan institusi negara demi keuntungan pribadi atau kelompok. State capture beroperasi lebih canggih dan sistematis, menjadikan negara sebagai alat eksploitasi bagi segelintir elite.
Salah satu metode utama state capture corruption adalah pembajakan regulasi. Kelompok tertentu mempengaruhi pembuatan undang-undang atau kebijakan untuk menguntungkan bisnis mereka. Ini bisa terjadi melalui lobi politik, pendanaan kampanye, atau bahkan penempatan orang-orang mereka di dalam lembaga legislatif dan eksekutif.
Fenomena state capture akan selalu ada seiring berjalannya demokrasi dan menjadi habitat dalam sistem kapitalis sekuler karena merupakan keniscayaan yang selalu menjunjung kemanfaatan, kebebasan berprilaku, dan kebebasan dalam kepemilikan. Terlebih lagi, dalam sistem kapitalis ini, kekuasaan tidak dianggap sebagai amanah, melainkan sebagai “kendaraan” untuk mendapatkan kekayaan.
Dari sinilah terjadi politik transaksional antara penguasa dan pengusaha yang saling menguntungkan. Penguasa membutuhkan dana dari pengusaha, sedangkan pengusaha/pemilik modal membutuhkan kemudahan birokrasi dalam usahanya. Take and give ini tidak semata materi, bisa juga janji-janji dan kepentingan lainnya untuk menempatkan orang-orang pilihan. Jadilah kebijakan yang diambil oleh penguasa hanya untuk kepentingan pemilik modal. Tukar guling jabatan untuk kepetingan segelintir elite pun lumrah terjadi.
Sementara itu, lembaga pemberantas korupsi sudah tidak punya nyali karena diamputasi. UU KPK direvisi dan mendapat penolakan dari berbagai kalangan. Parahnya, KPK hanya digunakan demi kepentingan politik untuk menakuti lawan ataupun oposisi. Jadi, demokrasi telah memberikan celah bahkan menjadi habitat tindakan korupsi. State capture memang merupakan bahaya besar karena tidak meletakkan nilai agama sebagai dasar perbuatan dan hukum.
Solusi Hakiki
Lain halnya dalam sistem Islam. Dalam Islam, kepemimpinan dan kekuasaan adalah amanah yang tidak hanya dipertanggungjawabkan di hadapan manusia di dunia, tetapi juga di hadapan Allah Swt. Rasulullah saw. bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Islam memiliki mekanisme untuk menjaga integritas setiap individu rakyat dan para pejabat, dengan akidah Islam sebagai asas dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang meniscayakan penerapan Islam secara kaffah. Selain itu, pemilihan pemimpin/ khalifah dan pejabat negara didasarkan pada ketakwaan dan menjalankan pemerintahan sesuai Al-Qur’an dan As-Sunnah sehingga menjadi kontrol dan penangkal dari berbuat maksiat dan tercela.
Penguasa dalam Islam mengurusi rakyat dengan sepenuh hati dan jiwa sesuai dengan tuntutan syariat Islam. Bukan politik yang tunduk pada kepentingan oligarki, pemilik modal ataupun segelintir elite.
Penerapan sanksi tegas bagi para pelaku tindak korupsi mampu memberikan efek jera dan menjadi pencegah kasus serupa muncul berulang. Sanksi tegas tersebut bisa dalam bentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk, hingga hukuman mati.
Oleh karena itu, perubahan menuju ke arah Islam dan solusi Islam dalam memberantas korupsi harus segera dilaksanakan. Hai ini tentu membutuhkan kesungguhan dan komitmen untuk bersama- sama menegakkan kembali pemerintahan Islam dalam bingkai Khilafah yang akan menerapkan syariat Islam secara kaffah.