
Oleh: Iffah Komalasari (Pengajar Tsaqafah Islamiyyah di Hagia Sophia ILS Sumedang)
Linimasanews.id—Hingga 29 Juni 2025, jumlah syuhada di Gaza terus bertambah, menembus angka 56.412 jiwa. Bangunan-bangunan yang seharusnya menjadi tempat berlindung, rumah, sekolah, rumah sakit, hingga masjid telah luluh lantak tanpa sisa. Anak-anak kehilangan orang tua, ibu kehilangan anak, dan umat Islam kehilangan kehormatannya di hadapan dunia.
Gaza bukan sekadar reruntuhan fisik, tetapi juga potret rapuhnya persatuan dan izzah umat. Sebab, ketika darah tertumpah, yang datang bukan bala tentara, melainkan kamera dan doa.
Kondisi yang lebih menyakitkan, pengkhianatan datang dari dalam tubuh umat sendiri. Di tengah genosida brutal, para penguasa negeri Muslim sibuk berkompromi. Usulan gencatan senjata malah memperkuat penjajahan, bahkan menyetujui penguasaan Tepi Barat oleh ‘Israel’. Negara-negara Arab berlomba-lomba menormalisasi hubungan dengan penjajah, sementara Indonesia nyaris tak terdengar dalam kebijakan yang benar-benar menekan Zionis.
Sebagian penguasa bahkan terus menggiring umat pada solusi dua negara, narasi usang yang hanya memperpanjang luka. Padahal, zionis tak pernah sungguh-sungguh ingin memberi kemerdekaan. Mereka hanya menginginkan legitimasi, bukan perdamaian. Sementara itu, warga Gaza yang setia di Palestina pun tak ‘kan sudi menggadaikan setitik pun tanah umat kepada penjajah. Mereka tetap setia pada Perjanjian Umariyah dan darah para syuhada.
Situasi Mencekam dan Solusi Palsu
Situasi Gaza kian memprihatinkan. Sementara, perseteruan Zionis yang menyeret Iran ke medan laga justru menyingkap kenyataan pahit. Masih saja tidak satu pun pemimpin negeri-negeri Muslim yang sungguh-sungguh mengerahkan daya dan kuasanya demi Gaza. Mereka diam, sibuk menjaga stabilitas kekuasaan masing-masing, di samping hanya melontarkan kutukan kosong.
Sementara itu, narasi solusi dua negara terus dipropagandakan, seolah satu-satunya jalan keluar. Padahal, ini tak lebih dari pembodohan umat. Amerika Serikat dan entitas Zionis tidak pernah sungguh-sungguh berniat memberi kemerdekaan sejati bagi Palestina. Rakyat Gaza yang tulus pun tahu bahwa menerima solusi dua negara berarti mengkhianati jejak darah syuhada dan perjanjian sejarah. Selama wacana ini terus digaungkan, pembantaian tidak akan berhenti. Karenanya, umat tidak boleh terkecoh.
Pertanyaannya, mengapa umat Islam yang besar ini tak berdaya? Bukan karena umat ini miskin jumlah atau lemah sumber daya. Sebab, umat Islam memiliki ratusan juta tentara dan kekayaan alam yang luar biasa. Namun, semua kekuatan itu terpecah oleh sekat nasionalisme yang lahir dari rahim kolonialisme, yang membagi umat Islam menjadi lebih dari 50 negara.
Nasionalisme telah membuat pemimpin Muslim lebih peduli pada wilayah dan kekuasaan mereka sendiri daripada penderitaan saudaranya. Mereka terikat pada sistem sekuler kapitalistik, tunduk pada tekanan penjajah Barat, dan tak lagi menjadikan Islam sebagai acuan. Lihatlah Mesir! Tetangga Gaza yang mestinya menjadi gerbang pertolongan ini justru memperketat perbatasan Rafah. Saat dunia menggelar Aksi Global March to Gaza, Mesir malah menangkap juru bicara aksi dan mendeportasi peserta. Bahkan, ketika seorang perawat nonmuslim menangis memohon akses untuk memberi makan anak-anak Gaza pun, tentara Mesir tetap membatu.
Itulah realitas umat yang hidup dalam sistem sekuler. Tercerai-berai, egois, dan tak memiliki satu kepemimpinan yang menyatukan dan melindungi.
Solusi Hakiki: Khilafah Islam
Masalah Palestina bukan sekadar kemanusiaan. Ini adalah problem politik global yang hanya bisa diselesaikan dengan solusi politik. Yakni, kembali pada sistem Islam (khilafah). Hanya khilafah yang bisa menyatukan potensi umat, memobilisasi kekuatan militer, dan mengembalikan izzah Islam.
Zionis sangat paham hal ini. Mereka menganggapnya sebagai ancaman, hingga Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pada April 2025 berkata: “Kami tidak akan membiarkan berdirinya Khilafah Islam.”
Pengakuan ini menunjukkan betapa takutnya mereka pada bangkitnya kekuatan umat yang sejati. Hal itu karena khilafah bukan sekadar lambang, tetapi institusi nyata yang akan menggulingkan hegemoni Barat dan mengusir penjajah dari tanah-tanah umat. Khilafah juga bukan mimpi utopis. Ini adalah janji Allah dan bisyarah dari Rasulullah.
Namun demikian, khilafah tidak akan hadir tanpa perjuangan. Karena itu, mat harus bergerak, bergabung dalam barisan dakwah ideologis yang menyeru kepada perubahan hakiki, bukan reformasi palsu. Dakwah inilah jalan yang diwariskan Rasulullah saw., bukan melalui kekerasan, tetapi dengan membina umat agar menyadari pentingnya kembali hidup dalam naungan Islam secara kafah. Inilah bentuk pertolongan sejati bagi Gaza dan seluruh umat yang terjajah di bawah sistem sekuler kapitalisme.
Seruan untuk menegakkan khilafah bukan berarti membiarkan rakyat Gaza terus dibantai. Justru inilah satu-satunya jalan untuk menghentikan penjajahan dengan wibawa dan kekuatan. Sebab, Gaza hari ini bukan sekadar tragedi. Ia adalah panggilan. Panggilan bagi hati-hati yang masih hidup untuk peduli dan bergerak. Ia mengguncang kesadaran umat agar berhenti menanti solusi semu.
Gaza menuntut kita untuk bangkit, menapaki kembali jalan kemuliaan yang telah diwariskan oleh Rasulullah saw.: menegakkan Khilafah Islam. Gaza adalah panggilan. Khilafah adalah jawaban. Sekaranglah waktunya menjawab panggilan sejarah itu.