
Oleh: Ria Nurvika Ginting, S.H., M.H. (Dosen-FH)
Linimasanews.id—Ruangan Kejagung, Jakarta Selatan, Selasa (17/6/2025) menjadi sesak. Bukan karena dipadati orang-orang, tetapi karena hamparan uang pecahan Rp100 ribu hasil penyitaan kasus korupsi yang ditumpuk di sana. Jumlah penyitaan ini dianggap paling besar sepanjang sejarah.
Direktur Penuntut Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Kejagung, Sutikno menyampaikan, uang sitaan Rp11,8 tiliun itu tidak ditampilkan semuanya. Tumpukan uang yang dipajang itu hanya sebesar Rp2 triliun, tetapi sudah membuat ruangan Kejagung yang akan digunakan untuk konferensi pers menjadi sesak (detikNews.com, 18/6/2025).
Tumpukan uang itu berasal dari kasus yang menjerat Wilmar Group dalam hal persetujuan ekspor crude palm oil (CPO) minyak kelapa sawit periode 2021-2022. Uang yang disita tepatnya Rp11.880.351.802.619 merupakan nilai yang fantastis. Uang tersebut telah disimpan penyidik pada rekening penampungan Kejaksaan Agung pada Bank Mandiri. Penyitaan tersebut dipastikan Sutikno telah atas izin dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan berdasarkan ketentuan Pasal 39 Ayat 1 huruf A juncto Pasal 38 Ayat 1 KUHAP untuk kepentingan pemeriksaan tingkat kasasi (detikNews.com, 18/6/2025).
Hasil korupsi dengan nilai fantastis yang beberapa kali dipertontonkan kepada masyarakat ini memunculkan pertanyaan. Negeri yang ternyata begitu kaya, mengapa masih banyak masyarakat ekonomi sulit? Di samping itu, ke manakah uang hasil korupsi yang telah disita tersebut? Jika dikembalikan kepada negara dan dimanfaatkan demi kepentingan masyarakat luas, seharusnya bisa mengentaskan banyak orang dari lembah kesulitan ekonomi.
Negara Berhak atas Hasil Sitaan Korupsi
Berdasarkan Undang-undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, seluruh uang hasil sitaan korupsi dan aset yang berhasil disita dikembalikan ke kas negara. Hal ini diperkuat oleh Pasal 41 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menegaskan uang hasil sitaan korupsi harus digunakan untuk kepentingan negara dan masyarakat.
Peneliti Lembaga Studi Anti Korupsi (LSAK) Ahmad Hariri mengungkapkan bahwa pengembalian uang hasil korupsi ke negara masih minim, terutama dari Kejagung. Padahal, Kejagung sering menangani kasus korupsi dengan nilai yang besar dan aktif menyita hasil korupsi. Hal ini menunjukkan transparansi masih jauh dari harapan sehingga menimbulkan kecurigaan masyarakat bahwa uang yang harusnya dikembalikan kepada negara tidak dikelola dengan baik. Selain itu, ketidaktransparanan ini memunculkan presepsi bahwa pemberantasan korupsi hanya seremonial saja (Babel.com, 11/03/2025).
Hal ini wajar terjadi dalam sistem kapitalis-demokrasi. Sebab, di dalam sistem ini, penguasa dan pengusaha bekerja sama dalam mencapai posisi kekuasaan yang diinginkan. Corak birokrasi korporasi inilah yang membuat dasar pengelolaan negara berubah dari pengurusan kehidupan rakyat menjadi pengurusan kepentingan pemilik modal (kapitalis).
Biaya demokrasi yang mahal pun menjadi faktor lain yang mendukung pejabat untuk melakukan korupsi. Selain itu, sanksi yang diberikan pun tidak memberikan efek jera, bahkan masih bisa ditawar-tawar. Ini disebabkan dalam sistem kapaitalis-sekuler diberikan hak kepada manusia untuk membut hukum. Pembuatan hukum oleh manusia yang serba lemah dan terbatas serta bergantung kepada yang lain ini tentu saja akan memihak kepada para kapitalis, bukan rakyat.
Karena itu, sudah saatnya umat Islam kembali kepada aturan yang berasal dari Sang Khaliq, Allah Swt. Islam-lah yang mampu memberantas korupsi hingga akarnya sehingga manusia bisa hidup sejahtera.
Islam Mengharamkan Ghulul (Curang)
Sistem Islam memandang bahwa korupsi termasuk tindak kriminal. Dalam kitab Sistem Keuangan Negara Khilafah karya Syekh Abdul Qodir Zallum, halaman 134 (terjemahan) dan halaman 106 (bahasa Arab), terdapat bab yang berjudul “Harta Tidak Sah dari Para Penguasa dan Pegawai Negara, Harta Hasil Usaha yang Terlarang dan Denda”. Dalam bab ini dijelaskan bahwa ghulul adalah harta yang diperoleh dari para pejabat baik gubenur, walikota, bupati dan para pegawai negara dengan cara yang tidak syar’i. Harta tersebut bisa berupa harta milik negara maupun masyarakat. Harta seperti ini tidak diperbolehkankan bagi mereka. Yang boleh mereka ambil adalah pengganti santunan dan gaji.
Ketika para pejabat atau pegawai menggunakan kekuasaannya untuk mengambil harta tersebut, maka harta tersebut dianggap ghulul (curang). Ini merupakan perolehan harta yang diharamkan, bukan miliknya karena diperoleh dengan cara yang tidak syar’i. Karena itu, mereka wajib mengembalikan kepada pemiliknya jika diketahui. Harta itu akan disita dan dimasukkan ke Baitulmal kaum muslimin, jika tidak diketahui siapa pemiliknya.
Allah berfirman, “Barang siapa berbuat curang, pada hari kiamat ia akan datang membawa hasil kecurangannya.” (QS. Ali-Imran 3: 161)
Sistem Islam melahirkan pejabat yang bertakwa sehingga memiliki kekhawatiran akan diminta petanggungjawaban di akhirat. Karenanya, ia akan berupaya menghindari ghulul. Penguasa dalam Islam bukan untuk mencari keuntungan, tetapi dalam rangka mengurusi umat.
Dalam sistem Islam (khilafah), hukum Allah Swt. (syariat) akan diterapkan secara tegas. Sanksi diberikan kepada yang melakukan penyimpangan berdasarkan syariat.
Dengan demikian tampak jelas korupsi merupakan persoalan sistemis yang tidak akan selesai jika tetap mempertahankan sistem kapitalis-sekuler seperti yang diterapkan saat ini. Sudah saatnya umat kembali kepada aturan yang sesuai dengan fitrah, yakni syariat Islam secara kafah (menyeluruh) dalam sebuah institusi Daulah Khilafah Islamiyah.