
Oleh: Ita Ummu Maiaa
Linimasanews.id—Permasalahan korupsi sudah kronis di negeri ini, menggurita dari birokrasi lapisan bawah sampai lapisan atas. Hal ini membuktikan betapa bobrok pengurusan terhadap rakyat dan rusaknya sistem yang diterapkan di negeri ini. Penyelesaian korupsi selalu diupayakan, terbukti dengan dibentuknya Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) di negeri ini. Namun, lembaga anti rasuah tersebut belum juga mampu memberantas korupsi. Mengapa korupsi makin menggurita dan para koruptor yang tertangkap tak mendapatkan efek jera?
Gurita korupsi Berakar dari Sistem
Korupsi bukan sekadar masalah teknis, peluang, atau kesempatan, tetapi sangat dipengaruhi oleh sistem yang dianut oleh negeri tersebut. Sistem yang akan memunculkan kebijakan dan aturan-aturan sistemis yang mengikat. Sistem kapitalisme yang dianut oleh hampir seluruh negeri di dunia ini menjadikan orientasi dan standar kesuksesan atau keberhasilan berdasarkan materi. Ini sangat berdampak kepada aktivitas yang dilakukan oleh para penguasa dan warga negaranya ketika berinteraksi urusan birokrasi, pelayanan publik, sanksi hukum, dan sebagainya.
Kapitalisme melahirkan gaya hidup hedonis yang mendorong masyarakat untuk konsumtif. Tatanan masyarakat individualis yang minim rasa empati dan persaudaraan. Keterikatannya karena materi dan kepentingan. Akhirnya, muncul kesenjangan sosial yang tajam antara si miskin dan si kaya.
Untuk menjadi penguasa atau pejabat dalam sistem kapitalisme membutuhkan dana yang sangat besar. Maka tidak heran setelah menjabat akan memikirkan “balik modal” dengan korupsi sana sini. Negeri ini babak belur oleh kelakuan koruptor.
Pemerintah kota pun berupaya mengatasi masalah korupsi ini. Sebagaimana yang dilakukan pemerintah kota Bogor. Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor terus memperkuat upaya pencegahan korupsi melalui berbagai strategi berbasis sistem dan partisipasi publik. Salah satunya dengan menggencarkan kampanye antikorupsi yang menyasar seluruh perangkat daerah dan masyarakat sebagai penerima layanan (Antara Megapolitan, 27/6/2025).
Islam Solusi Hakiki
Penguasa di dalam Islam tidak mendapatkan gaji, tetapi tunjangan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, serta tidak diperkenankan untuk bisnis apa pun hanya fokus untuk mengurus urusan umat. Masa kampanye cukup sekitar tiga hari bagi para calon pemimpin pemerintahan sehingga tidak membutuhkan dana yang sangat besar.
Selain itu, Islam mengatur kepemilikan harta atas kepemilikan negara, individu dan umum yang masing-masing memiliki batasan. Negara hanya boleh mengelola kepemilikan umum seperti laut, tambang, gunung, dan sebagainya yang hasilnya dikembalikan pada kemaslahatan umat.
Kepemilikan harta negara berupa jizyah, fai, kharaj, dan sebagainya berada di baitul mal dengan pencatatan yang jelas, mulai dari pemasukan sampai penyalurannya untuk kemaslahatan umat. Kepemilikan harta individu diserahkan pada masing-masing individu dan tidak diperbolehkan bagi individu memiliki harta milik umum dan negara.
Audit harta kepemilikan pejabat akan dilakukan, ketika ditemukan peningkatan harta setelah menjabat berlaku pembuktian terbalik. Pejabat tersebut mesti mempertanggungjawabkan kelebihan harta yang dimilikinya. Sanksi tegas berupa takzir, misal dengan menarik harta tersebut dan sebagainya akan diberlakukan ketika tidak dapat membuktikannya. Sistem Islam yang jelas dan tegas akan mencegah munculnya korupsi.
Ketakwaan individu memberikan peran penting baik bagi pejabat negara ataupun warga negara. Kontrol masyarakat dengan terbiasanya amar makruf nahi munkar di tengah masyarakat akan menutup peluang korupsi. Adapun negara akan memudahkan rakyat dalam memenuhi kebutuhan individu maupun komunalnya. Kebutuhan individu berupa sandang, pangan, papan.
Adapun kebutuhan komunal seperti kesehatan, pendidikan, keamanan. Sistem Islam dengan mekanisme yang jelas, di dukung dengan adanya ketakwaan individu dan kontrol masyarakat serta sanksi yang tegas dapat mengatasi gurita korupsi di berbagai lapisan. Wallahualam.