
Oleh: Jumiran
(Freelance Writer)
Linimasanews.id—Seperti roda yang terus berputar, kejadian perundungan tetap berulang. Padahal berbagai aturan undang-undang, beragam metode, dan edukasi telah dimasukkan dalam pengajaran di sekolah. Nyatanya, berbagai kasus yang mirip terjadi dalam bentuk yang beragam dan mengerikan.
Kasus perundungan terjadi di kota Bandung, Jawa Barat. Terjadi pada seorang siswa SMP yang dipukuli dan ditendang secara bergiliran oleh teman-temannya hingga mengalami luka-luka. Masih dalam wilayah kota Bandung, seorang anak yang kepalanya berlumuran darah usai ditendang dan terbentur batu. Kemudian, korban di masukan ke dalam sebuah sumur (Bandung, CNN Indonesia, 05/07/2025).
Berbagai kasus perundungan yang terjadi, sebagian besar diakhiri dengan mediasi dan ganti rugi pada si korban. Nyatanya, hal itu tidak mampu menyelesaikan masalah ini, yang ada kasus serupa kian marak.
Sistem Pendidikan Gagal
Dalam UU 20/2003 pasal 3 menjelaskan bahwa tujuan Pendidikan Nasional yaitu menjadikan peserta didik sebagai manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa. Sayangnya, hanya sekadar retorika belaka.
Tak dimungkiri, upaya lain terus dilakukan. Misalnya, pengajaran di sekolah selalu memasukkan nilai-nilai edukasi kepada anak didik. Berbagai mata pelajaran di sekolah dijadikan sebagai upaya mengatasi kasus perundungan. Fakta menunjukkan, pengajaran yang diberikan masih bersifat teori belaka.
Di sisi lain, penerapan kurikulum merdeka menjadikan peserta didik mengatur dan membangun cara belajar mereka secara mandiri, termasuk dalam hal berfikir. Sementara di saat yang sama, guru hanya menjadi fasilitator, bukan sebagai pendidik. Hal inilah yang menjadikan para peserta didik merasa bebas berbuat sesuai kehendaknya tanpa memikirkan aturan yang ada.
Jika ditelisik, memperoleh manusia yang beriman dan bertakwa akan sulit terwujud di sistem pendidikan saat ini. Apalagi, porsi jam mata pelajaran agama hanya diberikan waktu dua jam per pekan. Itu pun hanya membahas syariat secara umum saja. Sebaliknya, jika mengadakan kegiatan keagamaan tambahan, senantiasa dicap sebagai aktivitas radikal. Alih-alih bertakwa, justru peserta didik makin jauh dari agamanya.
Berbagai kasus perundungan yang terus berulang, makin memperjelas bahwa sanksi yang diberikan belum bersifat tegas. Apalagi memberikan efek jera. Adapun penyelesaiannya berakhir dengan mediasi dan ganti rugi pada pihak korban. Apalagi, jika pelakunya masih usia anak-anak atau remaja, maka tidak akan diberikan sanksi yang berat. Padahal, perbuatan yang dilakukannya bukanlah kenakalan biasa, tetapi bisa pada tindak pidana atau kejahatan yang berat.
Demikianlah, hukum buatan manusia. Tidak heran jika berbagai kasus yang serupa terus berulang. Bukannya menjadi solusi, justru menambah berbagai masalah baru. Inilah wajah pendidikan dalam sistem kapitalisme.
Islam Menuntaskan Perundungan
Berbeda dengan sistem Islam. Aturan yang lahir dari Zat yang Maha Mengetahui. Pelaksanaan hukum tidak dilihat dari usia. Ukurannya adalah ketika ada tanda-tanda baliq dan akalnya berfungsi sempurna maka ia dikatakan dewasa. Tidak peduli, berapa pun usianya. Usia tidak menjadi halangan penetapan hukum, bahkan menoleransi tindak kejahatan. Islam menegaskan bahwa setiap individu bertanggungjawab atas perbuatannya. Oleh karena itu, Islam memfokuskan pada pola pendidikan anak dari usia se-dini mungkin, untuk menyiapkan mereka menjadi individu yang bertakwa dan mengemban setiap tanggung jawab saat masa baliq tiba.
Akidah Islam juga menuntut ketaatan total pada setiap perbuatan. Ajaran Islam diamalkan bukan sekadar dihafalkan. Pendidik dalam Islam benar-benar membangun landasan iman pada peserta didik, tidak mencukupkan diri sekadar penyampaian yang menimbulkan rasa puas dan peserta didik mampu menghafalnya. Namun, ia akan benar-benar memastikan setiap peserta didik terdorong untuk mengamalkan. Pemahaman peserta didik akan dibangun bagaimana mengikuti seruan Rasulullah saw. adalah satu-satunya jalan kebenaran bagi setiap muslim.
Demikianlah, gambaran pola pendidikan dalam Islam. Dengan memahami Islam, maka akan membentuk keyakinan dan melahirkan perbuatan yang berlandaskan Islam. Alhasil, seorang pembelajar Islam akan menjauhi setiap perbuatan yang berkategori perundungan, baik secara lisan, tulisan apalagi fisik, semata-mata memenuhi seruan Allah Swt.
Di sisi lain, negara Islam (Khilafah) berperan besar dalam mengontrol pengajaran agar selalu berlandaskan akidah Islam. Kemudian, menghilangkan semua hal yang sifatnya kontraproduktif, seperti berbagai tayangan-tayangan kekerasan di media sosial. Jika melanggar, akan diberikan sanksi yang tegas dan memberikan efek jera. Pemberian sanksi dalam rangka mendidik agar senantiasa ada kesadaran keterikatan dirinya dengan sang Khaliq.
Oleh karena itu, penerapan Islam secara menyeluruh sangat urgen di kehidupan saat ini dan kehidupan mendatang. Dengan penerapan Islam secara menyeluruh dalam ranah pendidikan, akan menggerakkan pemikiran dan perasaan setiap individu menuju pada kemuliaan. Sebaliknya, selama sistem sekuler masih diterapkan, kasus perundungan akan terus berulang. Wallahu a’lam bisawab.