
Oleh: Phihaniar Insaniputri
Linimasanews.id—Siapa yang tidak tahu peribahasa “surga di bawah telapak kaki ibu?” Peribahasa yang menunjukkan pentingnya berbakti kepada orang tua, terutama ibu karena itu merupakan jalan menuju surga. Peribahasa ini sangat sering kita dengar, tetapi sepertinya seorang laki-laki yang berinisial MI di Kota Bekasi belum pernah mendengar peribahasa ini atau mungkin dia lupa karena bisa begitu tega memukuli ibunya sendiri perihal keinginannya yang tidak bisa dipenuhi oleh sang ibu (merdeka.com, 23/06/2025).
Bayangkan seorang laki-laki di usia dewasa mengalami tantrum layaknya balita yang masih belum sempurna akal dan pemikirannya. Akibat dari perbuatannya sang ibu mengalami memar di kepala dan beberapa bagian tubuhnya. Sang anak pada akhirnya harus berurusan dengan kepolisian dan menyandang gelar tersangka.
Sungguh di luar nalar, tindakan penganiayaan yang dilakukan oleh MI ini. Namun sebenarnya, hal yang lebih meresahkan adalah fakta bahwa kasus MI bukanlah yang pertama dan yang terakhir. Sudah banyak kasus-kasus penganiayaan orang tua oleh anak-anaknya sendiri dan sanksi yang menjerat mereka ternyata masih belum ampuh untuk mencegah munculnya kasus-kasus yang serupa.
Mengapa ini bisa terjadi?Bagaimana mungkin ada seorang anak yang tega menyakiti ibunya sendiri? Bagi seorang ibu, anak adalah buah cinta yang tidak ternilai harganya. Bagi seorang anak, ibu adalah dunianya. Begitu kuat ikatan batin antara ibu dan anak. Maka ketika ada seorang anak yang berani mengangkat tangan untuk memukul ibunya, itu adalah sebuah anomali yang harus segera diselesaikan dan hal ini menunjukkan bahwa ada krisis moral yang melanda generasi kita.
Menyikapi kasus-kasus seperti ini, kita tidak bisa langsung menunjuk dan menghakimi, karena banyak sekali faktor yang menjadi penyebabnya. Saling bertautan yang pada akhirnya menciptakan realita yang rusak dan tidak ideal dan menghisap siapa pun yang ada di sekitarnya. Seorang anak akan terbentuk karakter dan kepribadiannya mengikuti pola asuh dari orangtua dan orang terdekatnya.
Pendidikan pertama sang anak terjadi dirumah. Akan tetapi, kenyataannya saat ini banyak anak tumbuh dalam lingkungan keluarga yang disfungsional. Akibat tuntutan kehidupan kedua orangtua harus pergi mencari nafkah meninggalkan anak-anak mereka dalam pengawasan gawai atau orang lain yang tidak memiliki visi pengasuhan yang sama. Sehingga mereka tumbuh menjadi anak-anak yang kosong jiwanya dari kasih sayang dan nilai-nilai dasar kehidupan.
Wajar anak-anak ini tumbuh menjadi sosok yang nirempati dan beringas, tidak bisa membedakan benar dan salah hanya mengikuti nalurinya semata. Mungkinkah anak-anak seperti ini memahami konsep birrul walidain?
Selain itu, nilai-nilai yang diadopsi dalam masyarakat juga mempengaruhi kepribadian seorang anak. Dalam sistem kehidupan kapitalisme sekuler yang diadopsi masyarakat dunia saat ini, materi menjadi fokus utamanya. Gaya hidup konsumtif dan hedonis menjangkiti masyarakat. Tua dan muda, tidak ada yang kebal terhadap gaya hidup ini.
Kapitalisme menjadikan masyarakat berlomba-lomba untuk mendapatkan materi itu bagaimanapun caranya. Bahkan, masyarakat tidak segan melakukan perbuatan kriminal, seperti yang dilakukan oleh tersangka MI bagaikan kehilangan akal sehatnya hanya untuk memenuhi gaya hidup.
Begitulah ketika nilai-nilai yang tersebar di lingkungan tidak memiliki standar yang jelas. Sistem sekuler meniadakan peran agama dalam kehidupan, menjadikan nilai-nilai asing yang rusak mengisi kekosongan tersebut dan pada akhirnya membentuk realita yang rusak. Sistem pendidikan yang diharapkan bisa mendidik dan membentuk kepribadian anak, namun justru menghasilkan generasi yang rusak moralnya.
Jauh dari didikan agama membuat generasi saat ini menjadi permisif dan primitif. Generasi alergi terhadap kebenaran wahyu, namun memeluk erat asas kebebasan. Maka, wajar jika akhirnya ada seorang anak yang tega bersikap kasar kepada orang tuanya. Sistem sekuler ini perlahan terus menggerus dan membelokkan fitrah manusia.
Makin jelas bahwa kasus kekerasan anak terhadap orang tua tidak sesederhana “anak itu durhaka” atau menuding sang ibu tidak bisa mendidik anak. Maraknya kasus ini menunjukkan bahwa ini bukanlah masalah individu semata. Ada hal lain yang turut menyuburkannya, yaitu sistem kehidupan yang rusak. Sistem kapitalisme sekuler yang mereduksi hakikat kehidupan hanya sekadar mengejar materi dan memuaskan hawa nafsu sehingga terbentuk manusia yang tidak manusiawi karena kehilangan fitrahnya.
Maka dari itu, untuk menyelesaikan dan memberantas masalah ini, kita perlu mencampakkan sistem kehidupan yang jelas rusak dan merusak dan menggantinya dengan sistem yang shahih. Sistem kehidupan yang memanusiakan manusia dan membentuk generasi yang shalih, yaitu sistem Islam. Sebuah sistem yang dibangun atas dasar keimanan, sehingga sistem akan membentuk dan menjaga keshalihan masyarakat secara menyeluruh.
Sistem Islam akan memastikan terpenuhinya kebutuhan dasar keluarga yang membuat para orang tua bisa menjalankan kewajibannya membersamai dan mendidik anak-anak mereka dengan tenang tanpa distraksi ekonomi sehingga anak-anak ini tumbuh dengan kasih sayang dan juga arahan.
Sistem Islam juga akan memastikan pendidikan berbasis akidah Islam bagi masyarakat, tidak hanya sekadar mengajarkan ilmu pengetahuan, tetapi juga mendidik agar terbentuk kepribadian Islam. Sehingga, anak-anak ini akan tumbuh menjadi sosok yang tidak hanya matang secara intelektual tapi juga secara emosional. Mereka akan memahami pentingnya melakukan birrul walidain karena itu merupakan perintah dalam Al-Qur’an.
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang tua ibu bapakmu. Hanya kepada-Ku-lah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (QS. Luqman: 14-15).
Sistem Islam dengan konsep amar makruf nahi munkar juga akan memastikan terjadinya kontrol terhadap masyarakat untuk menjauhkan dan mencegah anak-anak kita dari melakukan kemunkaran. Jadi, dalam sistem Islam nanti tidak hanya sekadar menghukum pelaku, tetapi juga dicari akar masalahnya dan diselesaikan mulai dari akarnya agar tidak terjadi kejadian yang serupa ditambah. Sistem sanksi Islam berfungsi sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus) yang akan memberi sanksi tegas kepada pelaku tindak kriminal dan pelanggar aturan Islam.
Begitulah sistem Islam menjaga generasi dari kerusakan. Maka sudah saatnya umat Islam kembali kepada Islam yang kaffah agar tidak ada lagi kasus anak-anak yang “durhaka” kepada orang tuanya layaknya kisah malin kundang. Wallahualam bisawab.