
Oleh : Dian Wiliyah Ningsih (Mahasiswi Teknik Informatika)
Linimasanews.id—Sungguh memilukan. Luka mendalam yang dirasakan umat Islam terasa menyayat hati. Sosok mulia yang membawa umat manusia keluar dari zaman kebodohan (jahiliyah) menuju cahaya Islam, kini divisualisasikan dengan dalih bentuk kebebasan berekspresi.
Dikutip dari CNBCIndonesia (5/7/2015), beberapa kartunis majalah satire ditangkap otoritas Turki setelah menerbitkan ilustrasi yang dinilai menyinggung agama karena dianggap menggambarkan Nabi Muhammad saw. dan Nabi Musa.
Kartun itu memicu kecaman luas dari pemerintah dan kelompok konservatif. Presiden Recep Tayyip Erdogan menyebut karya tersebut sebagai “provokasi keji” dan menegaskan bahwa pemerintah tak akan mentloleransi penghinaan terhadap nilai-nilai sakral umat Islam. Erdogan menyebut gambar itu sebagai “kejahatan kebencian islamofobia”.
Beberapa organisasi masyarakat mengkritik bahwa tindakan pemerintah Turki berlebihan terhadap kebebasan berekspresi yang dilakukan oleh para kartunis.
Kasus kartunis penghinaan Nabi menjadi sejarah memilukan yang kembali terulang. Penghinaan terhadap Nabi bukanlah terjadi kali ini saja. Kasus Charlie Hebdo di Prancis, misalnya. Pada 2020 Koran Charlie Hebdo mempublikasi karikatur Nabi Muhammad saw. dengan dalih mengangkat isu intoleransi dan represi tentang ekstremis Islam yang mengancam demokrasi.
Masih di Negara Prancis, seorang guru mata pelajaran Sejarah dan Geografi Samuel Paty (47) menggunakan karikatur Nabi sebagai bahan ajar. Tindakan tersebut memicu kemarahan umat Islam, namun Presiden Prancis mengatakan bahwa perbuatan sang guru sebagai bentuk kebebasan berekspresi. Seorang Profesor dari Universitas Hamline bernama Erika Lopez Prater juga pernah menunjukkan lukisan yang menggambarkan Nabi Muhammad. Lagi-lagi, atas nama kebebasan berekspresi.
Begitulah negara yang menganut paham liberal sekularisme, kebebasan berekspresi menjadi senjata untuk menyerang kehormatan umat Islam. Mereka para kartunis penghina Nabi hanya mendapatkan konsekuensi hukuman ringan atas tindakan yang mereka perbuat.
Apakah umat Islam kembali diam saja menyaksikan penghinaan ini? Kasus-kasus seperti ini akan terus terulang tanpa ada solusi yang membuat jera pelaku penghinaan terhadap Nabi. Karena itu, sebenarnya kasus seperti ini dikarenakan bebalnya mereka atau lemahnya umat Islam?
Jika ditilik, kasus seperti ini juga pernah terjadi dalam Daulah Khilafah Utsmaniyah pada masa Khalifah Abdul Hamid II yang terjadi pada tahun 1909. Negara Prancis dan beberapa negara Eropa pada masa itu akan menyelenggarakan pementasan drama teater yang bertujuan untuk menghina Nabi Muhammad saw. Khalifah Abdul Hamid II langsung mengirim surat protes keras dan mengancam hubungan diplomatik jika saja pertunjukan tersebut tidak dihentikan. Alhasil, negara-negara Barat membatalkan pertunjukan itu karena takut dengan tekanan dari khalifah.
“Ini penghinaan terhadap Rasulullah. Aku tak akan mengatakan apa pun. Mereka menghina Baginda kita, kehormatan seluruh alam semesta,” kata Sultan sebagai pemimpin umat Islam yang menegaskan rela mati demi membuktikan kecintaan pada Rasulullah saw.
Oleh karena itu, hukuman yang tepat bagi penghinaan Nabi adalah hukuman mati sebagai bentuk penjagaan kehormatan Rasulullah saw. Bahkan para ulama, seperti Imam Ahmad, Imam Malik dan Ibnu Taimiyah sepakat, “Barangsiapa menghina Rasulullah saw., hukumnya adalah dibunuh, baik dia Muslim maupun kafir dzimmi”.
Namun, membunuh mati pelaku penghina Nabi tidak bisa dilakukan individu, seperti kasus Paty, seorang guru yang mati dipenggal seorang remaja yang marah atas ulah Paty. Hukuman mati yang dilakukan individu tidak akan membuat pelaku jera atas tindakannya.
Lalu apa yang membuat negara Prancis dan negara-negara Barat lainnya di saat itu takut? Jawabnya, karena adanya sosok seorang pemimpin atau khalifah yang menjadi junnah (pelindung).
Karena itu, ketika tidak dipimpin oleh seorang khalifah, umat Islam akan mengalami penghinaan, ajaran dan nabinya juga dilecehkan oleh orang-orang kafir. Akhirnya, bukan umat Islam yang lemah, melainkan umat membutuhkan khalifah sebagai junnah.
Sudah seharusnya umat Islam, bersatu dalam satu institusi, di bawah kepemimpinan Khilafah Islamiyah. Yaitu, negara yang menerapkan syariat Islam secara kaffah (menyeluruh). Ketika itu terjadi, negara-negara kafir akan berpikir dua kali untuk menghina maupun melecehkan sosok mulia yang dicintai umat Islam. Khalifah akan siap berperang jika dalam peringatan tegas negara kafir masih terus bertindak ingin melecehkan Nabi.