
Oleh: Finis (Penulis)
Linimasanews.id—Menteri Pertanian Amran Sulaiman mengungkap ada temuan sebanyak 157 merek beras premium yang tidak sesuai dengan standar mutu yang berlaku. Dari jumlah tersebut, hanya 26 merek yang memenuhi ketentuan. “Premium yang sesuai hanya 26. Jadi bisa bayangkan 80 persen, lebih hampir 90 persen yang tidak sesuai,” ujar Amran dalam konferensi pers yang disiarkan secara daring melalui kanal Youtube Kementerian Pertanian, Kamis, 26 Juni 2025.
Temuan itu berdasarkan hasil uji laboratorium terhadap sampel beras yang dilakukan oleh 13 laboratorium milik Badan Urusan Logistik (Bulog). Pengujian mengacu pada Peraturan Menteri Pertanian Nomor 31/Permentan/PP.130/8/2017 tentang Kelas Mutu Beras dan Peraturan Badan Pangan Nasional Nomor 2 Tahun 2023. Sejumlah pelanggaran yang diperoleh di antaranya, ada merek yang belum mengantongi izin edar, menjual beras dengan berat tidak sesuai label kemasan, serta menjual beras yang tidak memenuhi standar mutu pemerintah. Selain itu, banyak beras dijual dengan harga yang melebihi batas HET (kompas.co, 26/7/2025).
Berbagai persoalan yang terjadi saat ini, seperti melimpahnya stok beras, tetapi harga tetap melambung tinggi, kualitas dan kuantitas beras yang beredar di pasaran tidak sesuai dengan faktanya menunjukkan bahwa negara telah gagal mengurusi kebutuhan pangan rakyatnya. Negara hanya bertindak sebagai regulator dan fasilitator semata, sementara ketahanan pangan diserahkan kepada pihak swasta. Proses produksi hingga distribusi, dari hulu hingga hilir dikuasai oleh segelintir orang yang memiliki modal besar. Akibatnya, kebutuhan pangan tak lagi adil dan merata dirasakan oleh masyarakat karena negara setengah hati dalam memenuhi kebutuhan rakyatnya.
Minimnya pelayanan negara kepada rakyatnya menjadikan kerugian besar terhadap rakyat hingga mencapai triliunan rupiah. Ini semua akibat ulah para korporasi yang sering berbuat curang demi mendapatkan keuntungan besar. Sekularisme yang menjadi landasan kehidupan di negeri ini menjadikan manusia-manusia yang jauh dari pemahaman agama.
Mayoritas masyarakat tidak takut berbuat dosa kepada Allah. Mereka tidak peduli penderitaan banyak orang, yang penting untung besar. Kondisi ini buah penerapan sistem kapitalisme-sekuler yang terjadi di negeri ini.
Sistem kapitalisme terbukti melahirkan manusia-manusia rakus dan serakah. Sistem ini juga menjadikan minimnya peran negara dalam memberikan pelayanan kepada rakyatnya. Akibatnya, kecurangan demi kecurangan akan terus terjadi dan negara tidak akan pernah mampu mencegahnya.
Kita tentu menginginkan kondisi ini segera berubah ke arah yang lebih baik. Kita butuh sebuah sistem pemerintahan yang yang sahih, yang mengatur kehidupan manusia sesuai dengan fitrahnya, yakni sistem yang sesuai dengan wahyu Allah, yang menerapkan seluruh syariat Islam dalam seluruh lini kehidupan. Satu-satunya sistem yang mampu mewujudkan hal tersebut adalah Khilafah.
Islam mengharuskan negara sebagai pelayan rakyat. Penguasa memiliki tanggung jawab besar menjadi pemimpin yang amanah, adil dan menjaga kemaslahatan umat. Rasulullah saw. bersabda, “Imam (penguasa) adalah raa’in (penggembala/pelayan) dan dia akan dimintai pertanggungjawaban jawaban atas rakyat yang dia pimpin.” (HR Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menunjukkan bahwa jabatan dalam Islam bukanlah posisi untuk mencari keuntungan, tetapi amanah besar yang akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah Swt. Dalam Islam, tegaknya keadilan dan pelaksanaan peraturan tidak bisa hanya mengandalkan satu aspek, tetapi harus didukung oleh tiga pilar utama, yakni:
Pertama, ketakwaan individu. Setiap individu masyarakat menjadikan akidah Islam sebagai landasan kehidupan. Mereka bukan sekadar memiliki akhlak yang baik, tetapi ketaatan yang terbentuk menjadikan individu-individu masyarakat yang takut berbuat curang dan zalim karena takut akan azab Allah. Dalam kitab “Nidzamul Islam” karya Syekh Taqiyuddin An-Nabhani disebutkan, “Jujur, amanah, tidak curang bukan semata-mata karena akhlak, tetapi sifat itu adalah karena perintah Allah Swt.”
Kedua, kontrol masyarakat yang aktif dalam mengoreksi penguasa. Ketiga, penegakan aturan Islam secara menyeluruh oleh negara yang didukung oleh sistem sanksi yang tegas dan menjerakan.
Islam juga memerintahkan negara untuk hadir penuh dalam urusan pangan. Bukan hanya memastikan pasokan tersedia, tetapi negara mengelola seluruh proses produksi hingga distribusi. Negara tidak boleh membiarkan urusan vital, seperti pangan jatuh ke tangan korporasi swasta yang berorientasi pada keuntungan semata.
Untuk menjaga pasokan pangan, negara menjalankan strategi intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian. Negara memastikan akses petani terhadap modal, benih, pupuk dan alat pertanian, serta menjamin semua lahan produktif. Dalam hukum kepemilikan tanah, Islam menetapkan agar tanah tidak dikuasai segelintir orang dan atau dibiarkan telantar.
Rasulullah saw. bersabda, “Siapa yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” (HARI. Abu Dawud dan Tirmidzi)
Dalam distribusinya, negara mengawasi pasar sehingga rantai niaga berjalan jujur dan adil. Negara melarang tegas penimbunan, riba, tengkulak, kartel, serta kecurangan-kecurangan lainnya. Dengan aturan yang menyeluruh ini, pasokan pangan menjadi stabil dan merata atas seluruh kalangan masyarakat.
Negara dalam Islam memiliki lembaga khusus yang disebut Qadhi Hisbah yang bertugas memastikan segala bentuk pelanggaran publik, termasuk kecurangan dalam perniagaan. Jika ditemukan kecurangan, pelaku akan diberi sanksi tegas secara langsung dan efektif tanpa berlarut-larut.
Sistem Islam (Khilafah) terbukti mampu mewujudkan kebutuhan pokok masyarakat terpenuhi secara adil dan merata sebagaimana masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Sistem Islam juga mampu mencegah segala macam kecurangan dalam tata niaga karena negara berfungsi sebagaimana mestinya, yaitu sebagai pelayan masyarakat dan menerapkan syariat Islam secara kaffah dalam seluruh lini kehidupan. Wallahualam.