
Oleh: Alfiyah Karomah., S.Tr.Kes.
Linimasanews.id—Baru saja, rakyat Indonesia dibuat termangu atas keputusan tarif resiprokal 19% yang diumumkan presiden AS, Donald Trump. Meski kata Presiden Prabowo mengalami perundingan yang alot, tarif tersebut berhasil turun dari 32% menjadi 19%. Keberhasilan ini justru membuat banyak pakar ekonom geleng-geleng kepala akibat negosiasi tersebut. Pasalnya, Trump sebelumnya menyampaikan sebagaimana dilansir Reuters, Rabu (16/7) bahwa produk-produk asal AS tidak akan dikenakan tarif apapun saat masuk ke Indonesia, sedang Indonesia harus membayar 19%.
Negosiasi ini membuat Direktur Eksekutif Centre of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira turut berpendapat terkait posisi Indonesia yang justru menjadi lemah. Ia menkhawatirkan Indonesia akan menjadi template bagi negara lain. Baginya kesepakatan ini preseden yang kurang bagus.
Bhima juga menilai bahwa syarat lain yang mengharuskan Indonesia mengimpor BBM, LPG, gandum, produk-produk pertanian dengan nilai kontrak yang cukup besar dalam jangka panjang adalah negosiasi tidak menguntungkan Indonesia. Ia memberikan saran kepada presiden Prabowo agar melakukan evaluasi terlebih dahulu. Mengapa harus terlalu bergantung pada pasar Amerika.
Adapun syarat lainnya adalah Indonesia harus membeli 50 unit pesawat Boeing dari As. Prabowo beralasan hal ini dilakukan untuk membesarkan armada Garuda Indonesia.
Jika dibandingkan dengan Vietnam, keputusan tarif resiprokal ini dinilai tetap tidak menguntungkan Indonesia. Padahal Vietnam juga merupakan negara pengekspor utama di Asia Tenggara. Negosiasi negara Vietnam dengan AS bisa menurunkan tarif yang awalnya 46% menjadi 20%. Meski selisih hanya 1%, daya saing Vietnam jauh lebih tinggi dalam soal industri manufaktur. Ditambah fakta di negara tersebut memiliki ongkos produksi dan biaya logistic yang rendah. Relokasi tetap ke Vietnam.
Trump Happy, Indonesia Gigit Jari
Trump mengutarakan kegembiraannya setelah mencapai kesepakatan dengan Indonesia. Ia menyampaikan kepada pers Gedung putih, sanjungan kepada Presiden Prabowo. Karena Negosiasi tersebut, AS mendapat akses yang belum pernah dicapai sebelumnya. Yakni memiliki akses penuh ke Indonesia
Dengan penuh kegembiraan dan kemenangan, Trump menyatakan bahwa AS tidak akan membayar tarif. Prabowo memberikannya akses ke Indonesia yang belum dicapai sebelumnya. Baginya itu adalah bagian kesepakatan yang besar. Sedangkan Indonesia akan membayar tarif sebesar 19% dan AS tidak akan membayar apa pun.
Pernyataan presiden AS tersebut diperkuat oleh Menteri Perdagangannya, Howard Lutnick. Ia menyampaikan bahwa negara zamrud katulistiwa tersebut akan membayar tarif untuk produk-produk dalam negeri yang masuk ke Amerika. Sebaliknya, AS tidak dikenai tarif apapun. Dengan optimis Lutnick akan membangkitkan kembali industri. Itu akan membebaskan petan, peternak, nelayan, dan Industri dalam negeri Amerika Serikat.
Kewajiban lainnya agar tarif turun sebesar 19% adalah Indonesia harus membeli produk energi AS senilai US$15 miliar atau sekitar Rp244 triliun. Hal ini telah dilansir oleh CNN Business. Sungguh miris mendengar pernyataan Presiden Prabowo bahwa negosiasi tersebut adalah hubungan perdagangan yang saling menguntungkan kedua negara. Dari kacamata ekonomi, jelas sekali siapa yang diuntungkan di sini?
Kemandirian Ekonomi Daulah Khilafah
Sangat berbeda dengan yang dialami negara-negara satelit di alam kapitalisme. Negara pengikut dan negara satelit akan senantiasa dilemahkan oleh AS agar senantiasa bergantung pada negara adidaya kampium kapitalisme, yakni AS. Daulah Khilafah akan membangun kedaulatan dan kemandirian ekonomi yang tangguh.
Kemandirian ekonomi Khilafah bukan sekedar jargon atau semangat nasionalisme sempit. Lebih dari itu, kemandirian yang dibangun oleh Daulah Khilafah adalah kewajiban syar’i dan kebutuhan strategis.
Di antaranya agar negara tak bergantung pada asing. Baik dalam pembiayaan, pangan, energi, maupun teknologi. Ketergantungan ekonomi justru menjadi pintu masuk dominasi asing dalam politik. Oleh karena itu, struktur ekonomi dirancang agar Daulah Islam memililki ekonomi yang sustainable.
Islam membagi kepemilikan menjadi tiga, yaitu kepemilikan individu, kepemililkan umum, dan kepemilikan negara. Sumber daya strategis seperti listrik, air, bahan bakar, laut, dan tambang terkategori milik umum. Di dalam Islam, negara wajib mengelola semua itu dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk subsidi, infrastruktur, dan pelayanan publik seperti, pendidikan dan kesehatan.
Pendapatan negara juga berasal dari pos-pos yang lain seperti kharaj, jizyah, fai’, ghanimah, usyr, rikaz dan zakat. Sumber-sumber ini dikelola di Baitul Mal yang berfungsi sebagai kas negara untuk mengumpulkan dan mendistribusikan harta sesuai syariah. Dengan sumber-sumber ini, negara tidak bergantung pada utang uar negeri atau pajak permanen yang membebani rakyat.
Negara Islam juga membangun sektor pertanian dan peternakan sebagai basis pangan yang mandiri. Tanah yang terlantar lebih dari tiga tahun akan ditarik oleh negara dan akan diberikan kepada mereka yang mampu mengelolanya. Kebijakan ini mendukung para petani untuk memililki sawah sendiri, dengan kemudahan akses terhadap irigasi, pupuk dan benih. Islam juga mendorong negara agar membangun infrastruktur pasar yang adil.
Dari sini, akan muncul ketahanan pangan. Boro-boro negara bergantung pada produksi pangan Amerika, sistem Islsm ini justru menangkal dominasi asing dalam industri strategis.
Belum lagi, negara wajib membangun industri strategis yang menopang militer negara. Seperti, industry logam dan mesin. Negara mendorong industri agar mandiri secara teknologi dan pertahanan. Kebijakan Tarif Resiprokal. Ada kebijakan perdagangan internasional dalam Islam tidak bersifat bebas seperti di dalam kapitalisme.
Islam mengatur perdagangan antarnegara dengan prinsip keadilan, proteksi, dan resiprokalitas. Resiprokalitas negara Khilafah menuntut perlakuan perdagangan terhadap negara lain sebanding dengan perlakuan mereka terhadap Khilafah. Jika mereka membuka pasar, kitapun membuka. Jika mereka menutup dan mengenakan tarif tinggi, kita membalasnya dengan hal yang sama.
Kebijakan ini tampak pada Zaman Khailfah Umar bin Khattab ra. Beliau menerima laporan bawa pedagang Romawi dan Persia bebas memasuki wilayah Islam dan menjual barang mereka tanpa bea masuk, sementara pedagang muslim dikenakan tarif tinggi di negara mereka. Maka dari itu, Khalifah Umar memerintahkan untuk memunguut usyur (bea masuk) dari pedagang asing tersebut dengan kadar yang sama seperti yang mereka dikenakan kepada pedagag muslim di negara mereka.
Ini adalah contoh bahwa prinsip tarif resiprokal bukanlah teori, tetapi telah dipraktikan secara adil dan bijaksana. Negara akan melindungi kedaulatan pasar dan ekonomi negara. Negara Islam juga melarang masuknya barang asing jika terbukti merusak industri lokal, mengandung budaya yang merusak, atau menjatuhkan harga produk lokal melalui dumping.
Negara akan menerapkan sistem perdagangan internasional yang adil dan resiprokal. Perdagangan tidak dibuka secara bebas seperti yang dipaksakan oleh WTO. Khilafah akan berdagang berdasarkan prinsip timbal balik.
Kemudian, Khilafah akan menyatukan negeri-negeri muslim dalam satu blok ekonomi yang kuat. Wilayah-wilayah Islam akan menjadi satu entitas pasar dan kekuatan produksi. Tidak ada batas bea atau pembatasan dagang di antara wilayah-wilayah Khilafah. Negara justru akan mendorong kerjasama riset, teknologi, pertanian, dan industri strategis sehingga mampu bersaing di panggung global. Wallahualam bisawab.