
Oleh: Dini Azra
Linimasanews.id—Baru-baru ini terungkap sindikat penjualan bayi berskala internasional. Polda Jawa Barat Berhasil membongkar sebuah jaringan tindak pidana perdagangan orang (TTPO) yang telah beroperasi sejak tahun 2023. Sindikat ini telah berhasil menjual sedikitnya 24 bayi dari Indonesia ke Singapura. Mereka menjual bayi-bayi tersebut dengan harga antara Rp11.000.000 hingga Rp16.000.000 per anak. Dalam pengungkapan kasus ini polisi telah menetapkan 12 orang sebagai tersangka (Liputan6.com, 21/7/2025).
Para pelaku menggunakan modus adopsi ilegal dan pemalsuan dokumen. Mereka merekrut bayi-bayi itu sejak masih dalam kandungan, memalsukan identitasnya, lalu menjualnya ke luar negeri, terutama ke Singapura. Terbongkarnya kasus ini berawal dari unggahan seorang pelaku di Facebook yang mengatakan ingin mengadopsi bayi tanpa proses yang ribet. Lalu, seorang ibu yang tengah hamil menghubunginya hingga terjadilah negosiasi dengan kesepakatan sang ibu dijanjikan uang sebesar Rp10.000.000 untuk menyerahkan bayinya. Namun, ternyata uang yang didapat tidak sesuai yang dijanjikan dan setelah bayi tersebut lahir, pelaku langsung membawanya kabur. Polisi yang menyelidiki kasus ibu yang melaporkan kehilangan bayinya, akhirnya malah menemukan kasus yang lebih besar.
Sungguh mengerikan fenomena ini. Bagaimana mungkin manusia yang diberikan akal dan perasaan bisa tega menjadikan bayi tak berdosa sebagai barang dagangan? Bagaimana pula seorang ibu dengan kesadaran diri bisa menyerahkan bayi yang baru dia lahirkan untuk ditukar dengan sejumlah uang? Padahal, fitrah yang melekat pada diri seorang ibu pasti mencintai anaknya, tidak ingin anaknya tersakiti karena ia adalah buah hati. Akan tetapi, karena rasa putus asa, fitrah seorang ibu pun sirna. Rasa kemanusian hilang hanya untuk mendapatkan sejumlah uang.
Bagaimana Pandangan Islam?
Tidak perlu pengkajian mendalam, dalam ajaran Islam, menjual anak atau bayi jelas haram, apa pun alasannya. Kelahiran seorang bayi sudah menjadi ketetapan Allah terlepas orang tuanya menghendaki atau tidak. Allah Subhanahu wa Ta’ala sudah memperingatkan melalui Firman-Nya:
وَلَا تَقْتُلُوْٓا اَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ اِمْلَاقٍۗ نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَاِيَّاكُمْۗ اِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْـًٔا كَبِيْرًا
“Janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepada mereka dan (juga) kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka itu adalah suatu dosa yang besar.” (QS al-Isra [17]:31)
Maknanya, orang tua yang telah diberikan amanah berupa anak harus tetap merawatnya, meskipun dalam kondisi miskin. Tidak boleh membunuhnya, termasuk tidak boleh menelantarkan apalagi menjualnya. Orang tua yang menjual bayinya sama saja dengan membunuhnya. Sebab, artinya mereka sudah tidak peduli akan nasib anaknya sendiri, apakah anak itu hidup atau mati. Selain itu, nasab bayi yang dijual akan terputus dari orang tuanya. Ini dampak lain yang juga berbahaya dari sisi agama. Bisa saja setelah anak itu dewasa, dia akan bertemu dengan pasangan yang ternyata memiliki hubungan darah dengannya.
Pandangan dan Solusi Negara Kapitalis
Perdagangan bayi bisa tergolong sebagai kasus kejahatan human trafficking atau perdagangan manusia. Dalam hal ini, pemerintah telah menerbitkan peraturan untuk upaya pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan orang. Di antaranya, Peraturan Presiden (PERPRES) No 19 Tahun 2023 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (RAN PPTPPO).
Yaitu, rencana aksi tingkat nasional yang berisi serangkaian kegiatan yang dilakukan secara sistematis dan terencana untuk mencegah dan menangani TPPO. Melalui program ini pemerintah akan melakukan upaya penguatan kebijakan dan regulasi, penanganan rehabilitasi, pemulangan reintregasi, peningkatan pemahaman individu tentang TPPO, peningkatan kapasitas aparat hukum, sampai pengembangan inovasi dalam upaya pencegahan TPPO.
Terungkapnya kasus penjualan bayi bukan hanya sekali, tetapi sering kali terjadi. Ini seolah fenomena gunung es yang tampak permukaannya saja. Pelaku yang berhasil ditangkap bisa jadi bukan pemain besar di balik sindikat perdagangan orang berskala internasional. Kemungkinan ada jaringan kuat yang melibatkan oknum-oknum yang bisa membantu pemalsuan dokumen.
Seharusnya, negara lebih bekerja keras untuk mengerahkan seluruh komponennya untuk menggali lebih dalam menangkap semua yang terlibat dan memberikan hukuman berat. Selain itu, harus dipahami akar masalah sebenarnya, sehingga penyelesaian masalahnya bisa paripurna.
Lemahnya Keimanan Akibat Memisahkan Agama dari Kehidupan
Jika dicermati secara mendalam dengan kacamata Islam, penyebab terjadinya kasus penjualan bayi ini karena lemahnya keimanan. Yakni, akibat cara pandang kapitalis yang menjadikan materi sebagai orientasi. Di samping itu, sekularisme yang sudah tertanam di benak masyarakat, membuat mereka mengesampingkan peran agama dari kehidupan. Mereka tidak menjadikan agama sebagai pedoman dalam menjalani kehidupan. Agama hanya dipandang dari sisi kerohanian, mengatur hubungan manusia dengan Pencipta lewat ibadah ritual semata.
Padahal, Islam adalah aqidah dan peraturan. Ketika seorang muslim mengakui dirinya sebagai makhluk Allah, semestinya muncul kesadaran akan hubungannya dengan Allah. Dengan begitu, dia akan melakukan amal perbuatan sesuai dengan perintah dan larangan Allah. Sebab, dia percaya semua perbuatannya kelak akan diminta pertanggungjawaban di hadapan Allah.
Jika manusia tidak menjadikan aturan Allah sebagai panduan hidup, mereka akan mudah terseret arus sekularisme, tidak peduli halal haram demi memperoleh materi dan kesenangan duniawi. Tidak mengherankan jika generasi muda sekarang memilih pergaulan bebas sebagai gaya hidup. Hal ini memicu terjadinya kehamilan di luar nikah. Ketika mereka belum siap menjadi orang tua, alhasil memilih menggugurkan kandungan, membuang bayi, atau bisa juga menjual anaknya sendiri. Lebih miris lagi jika seorang ibu yang memiliki suami rela menjual bayinya karena terimpit ekonomi.
Demikian pula, para pelaku sindikat penjualan bayi sudah membuang rasa kemanusian demi mendapatkan keuntungan. Negara kapitalis tak bisa mengambil tindakan yang tegas untuk menghukum para penjahat. Hukum yang diberlakukan berlandaskan HAM. Hukuman penjara tidak bisa membuat pelaku jera, bahkan di dalam penjara praktik kejahatan masih bisa ditemukan. Hukum juga sering berpihak pada pihak yang punya uang. Sebesar apa pun kejahatannya, jika memiliki uang dan kekuasaan, pelaku bisa dibebaskan. Lain halnya jika yang terjerat hukum adalah rakyat kecil, hukum ditegakkan tanpa ampunan. Faktor inilah yang membuat segala jenis kejahatan sulit dihilangkan.
Islam Solusi Hakiki
Islam adalah solusi untuk memecahkan berbagai masalah kehidupan. Hak-hak manusia benar-benar dilindungi, bukan sekadar jargon atau basa-basi. Sistem Islam menerapkan aturan yang bersumber dari wahyu Ilahi, bukan aturan yang diciptakan manusia. Landasannya adalah akidah Islam yang membentuk individu dan masyarakat berkepribadian Islam. Begitupun, pemimpin dalam sistem Islam menjalankan hukum syarak karena takut kepada Allah semata.
Kasus kejahatan, termasuk penjualan bayi akan sulit ditemui dalam sistem Islam sebab negara menjamin kebutuhan rakyatnya, menjaga sistem pergaulan, dan menerapkan sanksi yang tegas dan menjerakan bagi setiap pelaku kejahatan tanpa terkecuali. Umat muslim maupun nonmuslim mendapatkan keadilan yang sama sebagai warga negara.