
Suara Pembaca
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menyampaikan bahwa tanah yang dibiarkan tidak dimanfaatkan selama dua tahun dapat diambil alih oleh negara. Ketentuan ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Telantar. Kepala Biro Humas dan Protokol ATR/BPN, Harison Mocodompis, menyebut bahwa negara berhak mengidentifikasi dan menertibkan tanah yang tidak digunakan, tidak diusahakan, atau tidak dipelihara sejak dua tahun setelah hak atas tanah tersebut diberikan (17/7/2025 ).
Kebijakan ini sekilas tampak tegas, namun jika dicermati lebih mendalam, ia menyimpan ironi dan kecacatan sistemik. Negara seakan ingin menunjukkan bahwa tanah tidak boleh dibiarkan terbengkalai. Namun dalam praktiknya, tanah-tanah yang dicabut haknya tidak lantas didistribusikan kepada rakyat kecil yang sangat membutuhkan, melainkan justru diserahkan kepada korporasi atau investor besar dengan dalih “pengelolaan produktif”. Inilah wajah nyata dari kebijakan agraria dalam sistem kapitalisme, di mana yang kuat dan bermodal besar akan selalu mendapatkan prioritas, sementara rakyat kecil disisihkan dari akses terhadap sumber kehidupan mereka sendiri. Tanah dijadikan objek komersialisasi, bukan hak dasar rakyat.
Dalam kenyataan di lapangan, rakyat yang kesulitan mengelola tanah karena keterbatasan modal atau infrastruktur justru kehilangan haknya. Sebaliknya, korporasi besar yang memiliki jaringan kekuasaan dan kekuatan modal justru dengan mudah mendapatkan akses pengelolaan atas tanah-tanah yang sebelumnya ditelantarkan. Bahkan dalam sejumlah kasus, negara secara resmi telah menyerahkan tanah-tanah tersebut kepada perusahaan swasta dengan berbagai skema kerjasama atau hak guna usaha (HGU). Ini menunjukkan bahwa kebijakan ini sejatinya bukan bertujuan untuk keadilan distribusi, tetapi hanya mengalihkan lahan dari satu pemilik ke pemilik yang lebih kuat secara ekonomi dan politik.
Lebih tragis lagi, rakyat yang menuntut hak atas tanah baik petani, nelayan, atau masyarakat adat kerap dicap mengganggu stabilitas dan menghadapi kriminalisasi. Sementara perusahaan besar yang menguasai ribuan hektare lahan nyaris tak tersentuh, meski jelas-jelas banyak dari lahan tersebut yang juga tidak produktif atau bahkan menyebabkan kerusakan lingkungan. Maka terlihat jelas bahwa persoalan agraria ini bukan sekadar masalah teknis penertiban, tetapi merupakan konsekuensi dari sistem kepemilikan yang timpang dan kebijakan negara yang tunduk pada kepentingan pemodal.
Islam memandang tanah bukan sebagai aset komersial, melainkan amanah dari Allah yang wajib dikelola sesuai syariah. Dalam sistem Islam, tanah yang tidak dihidupkan selama tiga tahun akan dicabut haknya, namun bukan untuk diserahkan kepada korporasi atau institusi yang kuat secara ekonomi. Tanah itu akan diberikan kepada rakyat yang mampu menghidupkannya, dengan dukungan negara berupa sarana dan prasarana yang dibutuhkan. Negara bertindak sebagai pelayan dan penjaga amanah, bukan makelar kepentingan investasi.
Dalam pandangan Islam, tanah tidak boleh dibiarkan menjadi barang spekulasi atau alat akumulasi kekayaan. Ia harus difungsikan sebagai sarana pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Negara tidak hanya mencabut hak atas tanah yang telantar, tetapi juga menjamin bahwa tanah tersebut sampai kepada mereka yang berhak, yaitu rakyat. Negara dalam sistem Islam (Khilafah) juga tidak akan membiarkan satu kelompok menguasai ribuan hektare, sementara yang lain tidak memiliki sepetak pun. Sistem distribusi kepemilikan diatur secara ketat berdasarkan ketentuan syariah, dengan prinsip keadilan dan pemerataan.
Dengan demikian, akar persoalan tanah telantar dan ketimpangan agraria tidak akan pernah selesai jika dibiarkan dalam kerangka sistem kapitalisme yang menuhankan investasi dan pertumbuhan ekonomi. Solusi Islam menawarkan pendekatan yang menyeluruh, bukan sekadar administratif, melainkan ideologis. Dalam sistem Islam, tanah akan kembali berfungsi sebagai hak hidup rakyat, bukan komoditas korporasi. Maka, hanya dengan penerapan syariah secara kaffah, melalui institusi Khilafah, problem tanah dan ketimpangan kepemilikan dapat benar-benar diselesaikan secara adil, permanen, dan berpihak pada umat.
Rosna Fiqliah
Pemerhati Sospol, Deli Serdang