
Oleh: Dian Mayasari, S.T.
(Tenaga Pendidik)
Linimasanews.id—Langkah pemerintah yang mulai memasukkan pelajaran Koding dan Kecerdasan Artifisial (KKA) ke dalam kurikulum sebagai mata pelajaran pilihan di jenjang SD hingga SMA memang patut diapresiasi. Ini mencerminkan upaya serius dalam menyiapkan generasi Indonesia menghadapi era Society 5.0, sebuah masa ketika manusia dan teknologi harus bersinergi dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi, dukungan pembiayaan melalui dana BOS memperkuat niat baik ini.
Namun, di tengah semangat digitalisasi tersebut, muncul kekhawatiran yang tak bisa diabaikan. Apakah sistem pendidikan nasional benar-benar telah memiliki fondasi yang cukup untuk menopang perubahan sebesar ini?xRealitas di lapangan menunjukkan bahwa arah pendidikan masih sering berubah-ubah.
Bergantinya kurikulum setiap kali pergantian kebijakan dari pemimpin baru, seolah pendidikan hanyalah proyek eksperimental yang bisa diuji coba sesuai selera penguasa. Padahal, pendidikan melibatkan guru dan murid sebagai manusia yang memiliki karakter, emosi, dan latar belakang berbeda. Menerapkan program digital seperti KKA dalam waktu singkat, tanpa pemahaman menyeluruh dan persiapan matang, sangat berisiko bagi pembentukan karakter peserta didik.
Belum lagi jika menilik data kemampuan literasi dan numerasi siswa di Indonesia yang masih memprihatinkan. Ketika kemampuan dasar saja masih belum merata, menuntut penguasaan teknologi canggih justru bisa memperparah kesenjangan. Aspek infrastruktur pun menjadi tantangan besar. Banyak sekolah di daerah terpencil belum memiliki fasilitas dasar seperti komputer, jaringan internet, bahkan listrik yang stabil. Sementara itu, kurikulum KKA diterapkan secara nasional. Kebijakan semacam ini dapat menciptakan jurang baru antara sekolah-sekolah yang sudah siap dan yang tertinggal.
Di sisi lain, muncul pula pertanyaan seputar posisi guru di tengah kehadiran AI. Benarkah teknologi ini akan menggantikan peran guru dalam proses belajar-mengajar? Hal yang perlu kita ingat AI hanyalah alat bantu, bukan pengganti.
Teknologi yang canggih tidak mampu menggantikan rasa empati, ketulusan cinta kasih, serta peran seorang guru dalam memahami kebutuhan muridnya. Pendidikan bukan hanya mentransfer ilmu, tetapi juga membentuk kepribadian dan menanamkan nilai hidup. Hal yang tak bisa diberikan oleh mesin, secerdas apa pun algoritmanya.
Guru tetap menjadi sosok sentral dalam membentuk peserta didik yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga kuat secara spiritual dan sosial. Sentuhan manusiawi itulah yang akan membedakan pendidikan sejati dari sekadar pelatihan teknis berbasis mesin.
Sebelum melangkah lebih jauh, penting bagi pemerintah untuk memastikan kesiapan semua aspek—kurikulum, SDM, infrastruktur, hingga penguatan karakter. Jika tidak, upaya membawa pendidikan ke arah digitalisasi justru bisa menjadi beban baru yang mengganggu tujuan hakiki pendidikan itu sendiri.