
Oleh: Rini Sulistiawati
(Pemerhati Sosial)
Linimasanews.id—Ketika ribuan buruh kehilangan pekerjaan dan harapan, publik dikejutkan oleh pemandangan tak biasa. Institusi kepolisian yang biasa kita lihat menjaga keamanan. Kini hadir di tengah problematika ekonomi. Bukan sebagai pengaman demo, tetapi sebagai penyalur tenaga kerja. Sebuah ironi yang membingkai kegagalan sistematis.
Ini bukan kisah satir dari panggung teater politik. Ini realita. Saat lembaga ketenagakerjaan melempem, Polri turun tangan seperti “agen outsourcing negara”, membungkus krisis PHK dengan senyuman, seragam, dan seremoni.
Pada 12 Juni 2025, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo melepas secara simbolis 700 pekerja korban PHK ke dua perusahaan industri di Cirebon dan Brebes. Ini bagian dari program kolaboratif dengan serikat buruh dan Polri yang menargetkan penempatan skala besar hingga 1.000 pekerja, dengan potensi penyerapan mencapai 35.000 lowongan” (detik.com, 12/06/2025).
Kapolri menyatakan bahwa langkah penyaluran tenaga kerja korban PHK ini merupakan respons atas instruksi Presiden guna menangani “badai PHK” yang tengah menghantam sektor industri, khususnya industri tekstil (antaranews.com, 29/07/2025).
Namun, kita berhak bertanya: ke mana kementerian tenaga kerja? Ke mana dinas-dinas terkait? Mengapa Polri yang harus turun langsung menangani persoalan struktural ini?
PHK Massal Bukan Kebetulan, tetapi Buah Sistem
PHK massal bukanlah peristiwa yang terjadi secara tiba-tiba, melainkan konsekuensi dari kebijakan yang membenarkan praktik eksploitasi. Undang-Undang Cipta Kerja memberikan ruang luas bagi perusahaan untuk melakukan PHK atas nama efisiensi. Upah rendah dijadikan magnet bagi investor, sementara perlindungan bagi para pekerja kian tergerus, memberi keleluasaan bagi korporasi besar untuk mengurangi jumlah karyawan.
Pemerintah tidak gagap secara teknis, tapi lemah secara politis terjebak dalam skema neoliberalisme yang lebih berpihak pada modal daripada rakyat. Alih-alih memperkuat negara agar mampu menyejahterakan, yang dilakukan justru memperluas ruang pasar agar semakin bebas mencengkeram.
Inilah buah pahit dari sistem kapitalistik yang memandang tenaga kerja sebagai angka bukan manusia yang memiliki martabat dan keluarga untuk dinafkahi.
Mengapa Harus Polri? Bukankah Negara Punya Lembaga Tersendiri?
Ketika negara abai mengurus buruh, lahirlah ironi. Aparat keamanan menanggung tugas lembaga ketenagakerjaan yang gagal. Bahkan ketika ribuan pabrik gulung tikar, dan jutaan pekerja kehilangan mata pencaharian, yang aktif justru bukan Kemenaker, melainkan lembaga yang identik dengan senjata. Apakah ini penanda dari negara yang krisis fungsi? Atau justru indikator bahwa sistem yang ada memang tidak dirancang untuk menyejahterakan, hanya mengatur agar gejolaknya tidak mengguncang stabilitas politik?
Islam Punya Paradigma Berbeda, Negara adalah Pengurus Rakyat
Dalam Islam, negara bukan sekadar regulator pasar, tapi pelindung sejati rakyatnya. Rasulullah saw. bersabda, “Imam (khalifah) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus.”
(HR. Al‑Bukhari & Muslim)
Islam tidak membiarkan sumber daya alam dikuasai asing. Islam tidak membiarkan rakyat saling sikut demi upah murah. Islam tidak membolehkan negara berpangku tangan terhadap derita yang dialami para buruh.
Sistem Islam mengharuskan negara hadir dalam pemenuhan kebutuhan dasar termasuk pekerjaan. Negara wajib memastikan distribusi kekayaan berjalan adil, bukan mengalir ke segelintir elite pemodal.
Solusi Islam, Sistemis dan Tidak Gimik
Solusi Islam atas badai PHK bukanlah tambal sulam atau proyek jangka pendek. Islam menawarkan sistem ekonomi dan ketenagakerjaan yang menjamin hak rakyat secara sistemis dan terstruktur.
Negara dalam Islam akan memandang pekerjaan sebagai hak, bukan beban pasar. Ia akan menciptakan sistem produksi dan distribusi kekayaan yang adil. Jaminan sosial dalam Islam bersumber dari Baitul Mal, bukan dari program politis ataupun bantuan asing. Kepemilikan umum seperti tambang, energi, dan hutan tidak boleh diprivatisasi, sehingga hasilnya dapat digunakan untuk membuka lapangan kerja, membangun industri riil, dan memperkuat daya beli masyarakat.
Negara juga akan menghapus sistem upah murah, dan menjamin hak pekerja sesuai kebutuhan hidup yang layak. Dengan begitu, tidak akan muncul lagi ironi di mana aparat keamanan justru menanggung beban lembaga ketenagakerjaan yang gagal.
Rakyat Butuh Sistem yang Melindungi
Langkah Polri turun tangan membantu buruh patut kita apresiasi. Itu bukan kelemahan, tapi kepedulian. Di tengah gelombang PHK, mereka hadir di saat institusi yang seharusnya bertanggung jawab justru melemah. Namun mari jujur, apakah ini solusi permanen, atau hanya peran darurat dalam sistem yang rusak?
Kita tak sedang menyalahkan Polri. Mereka hanya menambal luka yang ditorehkan oleh sistem kapitalisme. Sebuah sistem yang menjadikan rakyat komoditas, dan pekerjaan sebagai angka statistik. Maka saat aparat keamanan ikut memikul beban sosial, itu bukan tanda keberhasilan negara, tapi tanda bahwa sistem ini tak lagi mampu berdiri tegak.
Islam datang bukan hanya dengan doa, tetapi dengan sistem yang nyata. Negara dalam Islam adalah pelindung, pengurus, dan penanggung jawab hidup rakyat. Kini, saatnya bukan hanya mengganti peran, tetapi mengubah sistem. Dari kapitalisme yang menyisakan luka, menuju Islam kaffah yang menjamin sejahtera. Karena keadilan bukan hanya datang dari siapa yang bergerak, tetapi dari sistem yang benar-benar berpihak pada manusia.