
Oleh: Ika Kusuma
Linimasanews.id—Adanya lonjakan drastis kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak cukup membuat publik prihatin, tercatat terjadi 11.800 kasus dalam rentang waktu 1 Januari hingga Juni 2025 kemudian meningkat menjadi 13.000 kasus pada Juli 2025. Mirisnya, dalam kasus pornografi anak dalam ruang digital, Indonesia berada pada urutan ke 4 dunia dan ke 2 di kawasan Asean ini berdasarkan data survei National Center ons Missing dan Exploited Children (NCMEC).
Menurut Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak, Arifatul Choiri Fauzi, penyebab kekerasan terhadap perempuan dan anak terus melonjak adalah tingginya tingkat terpaparnya anak oleh dunia digital tanpa kontrol yang memadai. Selain itu, Kepala BKKBN Wihaji menjelaskan jika generasi muda saat ini sangat rentan akan ancaman siber mengingat ketergantungan serta begitu masifnya penggunaan gawai dalam keseharian mereka. Hasil survei State of Mobile pada tahun 2024, Indonesia menjadi negara tertinggi durasi pengunaan gawai dengan rata-rata 6,05 jam per hari. (tempo.co.id, 9 dan 11/7/2025).
Dalam pertemuan Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya dengan Sekretaris Jenderal International Telecommunication Union (ITU) Doreen Bogdeon – Martin di Jenewa Swiss menegaskan dukungan Indonesia terhadap ITU yang menempatkan kantor perwakilan di Indonesia sekaligus memperkenalkan PP Tunas /PP Nomor 17 Tahun 2025 tentang tata kelola pengadaan sistem elektronik sebagai bentuk komitmen Indonesia melindungi anak secara daring.
Dunia digital tak bisa dimungkiri telah menjadi keseharian bagi masyarakat saat ini. Namun, banyaknya masalah yang ditimbulkan menunjukkan ada hal yang salah dan harus lebih dicermati. Kurangnya kontrol dari orang tua terlebih negara di tengah masifnya pengaruh dunia digital jika terus dibiarkan berlarut tentu akan semakin mengancam masa depan generasi kita.
Minimnya literasi digital saat ini makin diperparah dengan sistem pendidikan sekuler yang telah memisahkan agama dari aturan kehidupan. Akibatnya, generasi tumbuh tanpa fondasi agama yang kuat di tengah arus digital yang penuh dengan tontonan yang tidak mendidik dan merusak. Sangat disayangkan, kebijakan negara yang populis tak pernah bisa memberi perlindungan yang nyata. Sebaliknya, arus digitalisasi dinilai lebih banyak mendatangkan keuntungan sehingga menjadikan negara abai terhadap dampak buruknya.
Selain ancaman terhadap generasi, penguasaan dunia siber juga mengancam kedaulatan negara karena bisa dijadikan alat untuk menguasai negara. Di sinilah, peran negara sebagai junnah atau pelindung harusnya bisa dilaksanakan secara maksimal.
Negara wajib membangun sistem teknologi digital yang mandiri tanpa tergantung terhadap asing. Dengan demikian, negara akan mudah memberikan komunikasi yang sehat kepada masyarakat berupa ruang siber yang mematuhi norma agama dan bebas pornografi. Sayangnya, dalam sistem sekularisme kapitalis, fungsi negara sebagai raa’ in (pengurus urusan masyarakat) dan junnah (pelindung) tak kan pernah terwujud.
Fungsi negara dalam sistem kapitalisme hanya cukup sebatas regulator kebijakan. Akibatnya, kebijakan kebijakan populis lah yang lahir, seolah demi masyarakat namun sejatinya untuk kepentingan kaum elite. Fungsi negara sebagai raa’in dan junnah hanya akan maksimal terlaksana dalam sistem Islam kafah (khilafah).
Syekh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitab “Nidzamul Islam” menjelaskan bahwa tidak ada kekuatan politik yang terpisah dari agama. Pemimpin dalam sistem Islam sadar akan tanggung jawabnya dan melaksanakan kewajiban berdasarkan akidah dan syariat. Islam memandang penting keberlangsungan generasinya. Islam memproteksi dan mengembangkan potensi generasi dengan maksimal melalui pendidikan, kontrol lingkungan, dan negara. Demikian pula dengan perempuan, Islam selalu memuliakan perempuan. Islam tak hanya menjamin keamanan bagi perempuan, namun juga menjaga martabatnya.
Dari segi pendidikan, Islam terbukti mampu melahirkan generasi berkepribadian Islam di mana pola pikir dan perilaku mereka berdasarkan syariat. Mereka dengan sadar akan menghindari hal-hal yang dilarang oleh syariat, termasuk di antaranya pornografi. Ketika iman telah tertancap kuat di jiwa mereka, maka iptek akan digunakan semaksimal mungkin untuk kemaslahatan umat.
Peradaban Islam juga melahirkan kontrol masyarakat yang kuat karena setiap individu sadar akan kewajiban beramar makruf nahi mungkar sehingga lingkungan yang aman dan kondusif bagi tumbuh kembang generasi dapat terwujud. Adanya aturan dalam Islam yang mengatur interaksi antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram seperti larangan khalwat (berdua-duaan antara laki-laki dan perempuan tanpa disertai mahram) dan ikhtilat (campur baur laki-laki dan perempuan tanpa hajat yang dibenarkan syariat) tentu mampu menjaga perempuan dari pelecehan ataupun kekerasan seksual.
Dalam Islam, negara sebagai sebuah konstitusi akan menggunakan kekuasaannya untuk memproteksi umatnya terutama generasinya dari bahaya siber. Negara akan mengarahkan perkembangan teknologi dan siber untuk kemaslahatan umat, tidak hanya di dunia namun juga akhirat.
Secara ekonomi, negara menjamin tiap kepala keluarga memperoleh lapangan pekerjaan hingga sanggup menafkahi keluarganya dengan baik. Hal ini juga mampu memastikan dan menghindarkan perempuan dan anak dari bahaya eksploitasi akibat ekonomi. Jika masih ada pelanggaran yang terjadi, negara akan menerapkan hukum yang sesuai dengan syariat Islam yang terbukti tegas dan menjerakan. Karena hukum Islam berasal dari aturan Allah, maka bersifat mutlak dan konsisten, tak bisa diperjualbelikan seperti hukum buatan manusia.
Ketika saat ini perempuan dan anak terancam, sejatinya karena mereka telah kehilangan pelindung sejatinya. Sistem saat ini telah meniscayakan mereka menjadi objek eksploitasi. Hukum pun tak pernah memberikan keadilan bagi mereka. Ini bukti kerusakan sistem yang nyata.
Sejarah mencatat, umat Islam pernah hidup dalam kesejahteraan dan keadilan, yakni ketika sistem Islam ditegakkan selama 1300 tahun. Semua itu adalah bukti nyata bahwa tidak ada sistem yang sempurna selain sistem Islam kafah. Wallahualam bisawab.