
Oleh: Erlis Agustiana
(Aktivis Muslimah)
Linimasanews.id—Media sosial dan dunia digital saat ini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan perempuan dan anak-anak. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menyatakan bahwa media sosial merupakan salah satu sumber utama kekerasan terhadap perempuan dan anak, baik berupa eksploitasi seksual diruang digital, perundungan, konten pornografi, hingga pengaruh ideologi sesat yang menyusup lewat aplikasi (tempo.co, 09/07/25).
Penggunaan gadget atau HP yang berlebihan juga memicu berbagai persoalan lain seperti adiksi digital, kerusakan moral, gangguan perkembangan psikososial, hingga menurunnya produktivitas generasi muda. Dalam berbagai forum internasional, pemerintah Indonesia sendiri mengakui bahwa situasi ini menjadi tantangan besar menuju generasi emas 2045. Namun sayangnya, langkah konkret negara masih sangat terbatas dan cenderung reaktif.
Semua permasalahan di atas sebenarnya bukan sekadar soal literasi digital yang rendah atau lemahnya regulasi pemerintah. Masalah ini jauh lebih mendalam, yakni lahir dari sistem kehidupan sekular kapitalistik yang menjadikan teknologi sebagai komoditas ekonomi, bukan amanah syariat.
Sekularisme telah memisahkan agama dari kehidupan, termasuk dalam pengaturan media, pendidikan, dan teknologi. Pada era digitalisasi ini, aktivitas di media sosial serta penggunaan internet menjadi perkara yang tidak bisa dihindari dan harus dihadapi. Hari ini, teknologi dan media sosial satu sisi memberikan manfaat namun disisi yang lain berbahaya bagi penggunanya.
Sistem kapitalisme menjadikan media sosial lebih banyak digunakan sebatas paradigma bisnis dan mencari materi, seperti adu konten supaya viral, kampanye hedonisme, penyebaran pola pikir sekular liberal. Selain itu, muncul juga kejahatan digital, seperti kasus penipuan, pelecehan seksual, pinjaman online, judi onlinel, dan lainnya, tanpa peduli yang kadi korban adalah anak -anak dan perempuan.
Kapitalisme sekuler dalam sistemnya meniscayakan negara hanya sebagai regulator, dan tidak menjalankan peran sebagai penjaga akidah dan pelindung bagi rakyat dan generasi. Dengan demikian, selama teknologi digital berada di bawah sistem kapitalisme ini, jauh panggang dari api untuk berharap ruang siber ramah anak dan perempuan. Justru predator digital, pelaku kekerasan daring, dan penyebar nilai rusak akan terus menjadikan perempuan dan anak sebagai korban.
Berbanding terbalik dengan sistem kapitalisme sekuler, Islam hadir bukan sekadar sebagai aturan ibadah individual, tetapi sebagai sistem hidup yang menyeluruh, termasuk dalam urusan teknologi, media, pendidikan, dan perlindungan masyarakat. Dalam sistem Islam, negara memegang peran utama sebagai raa’in (pengurus rakyat) dan junnah (pelindung) bagi seluruh warganya, termausk meriayah ruang siber. Berikut prinsip utama perlindungan siber dalam Islam:
Pertama, pengaturan media dan teknologi berdasarkan syariat. Negara akan memastikan bahwa konten kreator seluruh konten yang bertentangan dengan syariat Islam (pornografi, kekerasan, liberalisme, L687, sekularisme) akan dilarang dan diblokir sepenuhnya. Platform dan aplikasi yang merusak moral generasi akan dihentikan operasionalnya, tanpa kompromi.
Kedua, pendidikan anak yang terintegrasi dengan akidah Islam. Pendidikan dalam Islam tujuannya adalah untuk membentuk syaksiyah islalamiah, yaitu generasi yang memiliki pola pikir yang Islami serta pola sikap yang mencerminkan pemahamannya, sehingga terbentuk generasi yang memiliki kepribadian Islam. Literasi digital berbasis akidah akan diajarkan agar anak paham batasan halal-haram dalam berteknologi.
Ketiga, keluarga menjadi benteng dan kontrol masyarakat. Sebagaimana yang difirmankan Allah bahwa keluarga memiliki peran menjaga anggota keluarga dari api neraka. Maka orang tua selayaknya memiliki ilmu yang cukup untuk mendidik anak-anak mereka. Hal ini menjadi tanggung jawab negara, sehingga orang tua juga bisa mengawasi anak-anaknya. Sementara masyarakat menjalankan peran controlling untuk saling mengingatkan dan mencegah terjadinya kemungkaran.
Keempat, negara menegakkan sanksi tegas. Predator digital, pelaku pelecehan online, atau penyebar konten haram akan dihukum berdasarkan hukum Islam, baik ta’zir maupun had, sesuai kadar kejahatannya.
Jika mekanisme tersebut berjalan, maka kekhawatiran terhadap masa depan perempuan dan anak dalam dunia digital bisa diharapkan. Namun, jika sistem hari ini terus dipertahankan, maka yang akan tumbuh bukan generasi emas, melainkan generasi cemas, gerenasi yang lemah akidah, rusak moral, dan terancam keselamatan jiwanya. Umat Islam saatnya memiliki kesadaran bahwa hanya Islam yang diterapkan secara kaffah yang mampu meberikan perlindungan sejati. Solusinya bukan dengan tambal sulam kebijakan sekuler, tetapi dengan menegakkan kembali Khilafah ala minhaj an-nubuwwah yang akan mengelola teknologi dengan panduan wahyu, bukan nafsu kapital. Wallahualam.