
Linimasanews.id—Kalimantan Selatan tengah menghadapi badai pemutusan hubungan kerja (PHK). Data dari semester pertama 2025 mencatat lebih dari 1.000 kasus PHK, menjadikan provinsi ini peringkat ke-10 nasional, dan kedua tertinggi di luar Pulau Jawa (Tribunnews, 28/7/2025). Sektor yang paling terdampak adalah pertambangan, sektor yang selama ini digadang-gadang sebagai tulang punggung ekonomi Kalsel.
Ribuan pekerja di-PHK karena proyek tambang yang telah usai, kontrak kerja yang habis, atau alasan klasik efisiensi biaya dan pergeseran pasar. Di Tapin, misalnya, ratusan pekerja pertambangan telah dipastikan akan dirumahkan (Tribunnews, 22/07/2025).
Alasan klasik yang bergulir di antaranya kontrak habis, proyek selesai, efisiensi biaya, hingga pergeseran pasar kembali digunakan sebagai dalih. Namun di balik semua itu, satu hal yang patut dicermati adalah betapa rentannya lapangan kerja dalam sistem ekonomi berbasis kapitalisme. Struktur ekonomi Kalsel dalam hal ini rapuh dan sangat bergantung pada proyek jangka pendek.
Kapitalisme memosisikan perusahaan bukan sebagai lembaga yang punya tanggung jawab sosial, tetapi sebagai alat untuk mengakumulasi keuntungan sebesar-besarnya bagi pemilik modal. Dalam kerangka ini, tenaga kerja diperlakukan layaknya komoditas. Jika tidak lagi memberi keuntungan maksimal, maka mereka yang dianggap beban yang sah-sah saja untuk dilepas. PHK pun bukan dianggap tragedi sosial, melainkan bagian dari strategi efisiensi. Tidak lagi peduli apakah itu menghancurkan hidup ribuan keluarga
Di Mana Peran Negara?
Sayangnya, negara dalam sistem kapitalisme hanya hadir sebagai pengawas kepatuhan administrati. Negara hanya bisa memastikan proses PHK sesuai prosedur hukum ketenagakerjaan, tetapi tidak bisa mencegahnya, karena tunduk pada logika pasar. Pemerintah pun enggan mengintervensi sektor produksi karena khawatir dicap “anti investasi.” Alhasil, negara tak ubahnya seperti pelayan korporasi, bukan pelindung rakyat.
Meningkatnya angka PHK di Kalsel hanyalah satu dari sekian banyak konsekuensi dari sistem ekonomi kapitalistik. Sistem ini menjadikan lapangan kerja tidak stabil, bergantung pada proyek yang cepat usai, dan tidak ada jaminan keberlanjutan. Akhirnya, ketika proyek selesai, rakyat kembali menganggur dan kemiskinan bertambah.
Sebaliknya, Islam, melalui sistem Khilafah, menawarkan model ekonomi alternatif yang menempatkan rakyat, bukan investor, sebagai pusat kebijakan. Dalam sistem ini, negara berkewajiban menyediakan pekerjaan bagi setiap warga, karena bekerja adalah kebutuhan dasar yang harus dijamin, bukan sekadar urusan pasar. Terlebih, hukum bekerja bagi laki-laki adalah wajib.
Sistem Khilafah tidak akan membiarkan rakyat bergantung pada proyek tambang jangka pendek. Ekonomi dibangun dari sektor riil yang berkelanjutan, seperti pertanian, industri manufaktur, dan pengelolaan kekayaan alam oleh negara, bukan swasta. Kekayaan akan didistribusikan secara adil, dan negara menjadi ra’in (pengurus umat), bukan hanya regulator pasar. PHK juga tidak bisa dilakukan sewenang-wenang. Perusahaan tidak boleh memutus hubungan kerja kecuali ada alasan syar’i yang sah. Itulah wujud tanggung jawab sosial dan keadilan ekonomi dalam Islam.
Apa yang terjadi di Kalimantan Selatan hari ini bukan semata bencana ekonomi, tetapi simbol runtuhnya sistem kapitalisme yang gagal memberi perlindungan bagi rakyatnya sendiri. Saatnya kita membuka mata bahwa sistem ini telah usang dan tidak lagi layak dipertahankan.
Islam tidak menawarkan solusi tambal sulam. Khilafah adalah sistem menyeluruh yang mengatur ekonomi, politik, dan sosial dengan tujuan mewujudkan kesejahteraan hakiki bagi seluruh umat manusia. Dengan menjadikan negara sebagai pelindung, bukan sekadar penyedia regulasi pasar, krisis PHK massal bisa diakhiri, dan kehidupan yang lebih bermartabat bisa dibangun.
Kini saatnya berpikir serius: apakah kita masih ingin bertahan dalam sistem yang terus meminggirkan rakyat, atau berani mengganti arah menuju sistem Islam yang adil dan mensejahterakan?