
Oleh: Uswatun Khasanah (Muslimah Brebes)
Linimasanews.id—Indonesia memiliki wilayah yang luas, sebagian besar belum digarap, meliputi ratusan juta hektar. Anehnya, Indonesia juga tidak luput dari permasalahan lahan. Beredar luas kabar bahwa tanah bersertifikat akan disita negara jika tidak dikembangkan selama dua tahun. Menanggapi hal ini, Jonahar, Direktur Jenderal Pengendalian dan Penataan Ruang (Dirjen PPTR) Kementerian Pertanian dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), menegaskan bahwa kriteria penetapan tanah terlantar berdasarkan Surat Hak Milik, berbeda dengan kriteria tanah Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan. Ia menyatakan bahwa peraturan yang berlaku saat ini berfokus pada Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan yang dimiliki oleh Badan Hukum.
Tanah dengan surat hak milik hanya dapat diatur jika termasuk dalam kategori tanah terlantar, sesuai dengan Pasal 7 Peraturan Pemerintah (PP) No. 20 Tahun 2021 tentang Penerbitan Kawasan dan Tanah Terlantar. Peraturan tersebut menetapkan bahwa tanah milik pribadi dapat diatur jika dikuasai oleh orang lain dan menjadi kawasan perkampungan; jika dikuasai oleh orang lain selama 20 tahun berturut-turut tanpa hubungan hukum dengan pemiliknya; dan/atau jika fungsi sosialnya tidak terpenuhi. Jonahar menekankan bahwa tujuan peraturan ini adalah untuk mencegah sengketa dan mengatur kepemilikan tanah yang melanggar peraturan.
Pemerintah mengeklaim telah mengamankan sekitar 1,4 juta hektar tanah terlantar yang saat ini sedang disita oleh negara. Tanah-tanah ini kabarnya akan dialihkan kepada organisasi masyarakat. Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, mengumumkan bahwa tanah telantar tersebut telah direklamasi oleh negara karena, menurut pemegang sertifikat, tanah tersebut tidak terpakai. Luas ini merupakan bagian dari 55,9 juta hektar, atau 79,5 persen dari total tanah bersertifikat di Indonesia.
Nusron kemudian menyatakan bahwa tanah terlantar tersebut akan dialihkan kepada organisasi masyarakat. Di antara organisasi yang disebutkan Nusron terdapat organisasi keagamaan, termasuk Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis), dan Persatuan Umat Islam (PUI). Ia juga menyebutkan organisasi mahasiswa ekstra-mural (ormek), termasuk Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).
“Di sinilah sebetulnya peluang daripada sahabat-sahabat sekalian keluarga besar PMII, keluarga besar NU, keluarga besar Muhammadiyah, keluarga besar yang lain untuk mengisi ruang ini. Nah ini saya baru cerita yang sudah terpetakan dan bersertifikat sehingga peluagnya yang bapak-bapak bisa lakukan itu ada 1,4 juta hektar” ungkap Nusron (detik.com, 20 Juli 2025).
Kapitalisme memperlakukan tanah sebagai komoditas, bukan barang publik. Lebih lanjut, tanah yang tercakup dalam program HGU dan HGB seringkali dikuasai oleh perusahaan-perusahaan besar, sementara rakyat jelata kesulitan mendapatkannya untuk perumahan, pertanian, atau perdagangan. Negara justru menjadi perantara kepentingan kapitalis, alih-alih pembela hak asasi manusia. Reklamasi tanah terlantar bahkan dapat menciptakan celah hukum bagi oligarki.
Banyak tanah negara yang seharusnya digunakan untuk kepentingan publik justru terabaikan. Pemerintah juga tidak memiliki rencana untuk pengembangan tanah terlantar ini secara jelas. Hal ini dapat memicu adanya penyalahgunaan atau salah kelola. Pada kenyataannya, rakyat dapat kembali menjadi korban sementara pengusaha meraup keuntungan. Kapitalisme menundukkan segalanya, termasuk tanah, untuk kepentingan bisnis dan investor.
Berbeda dengan Islam. Islam mengatur bahwa tanah dibagi menjadi tiga jenis kepemilikan, individu, negara, dan publik. Negara tidak dapat mengalihkan tanah negara kepada individu atau perorangan untuk tujuan menjalankan kendali tanpa batas. Khalifah akan mengelola tanah negara dalam kerangka proyek-proyek strategis yang memenuhi kebutuhan rakyat, baik perumahan, pertanian, maupun infrastruktur publik. Tanah tersebut tidak akan dijual kepada asing atau dikuasai oleh korporasi. Tujuannya bukanlah keuntungan, melainkan kemakmuran dan keberkahan.
Dalam Islam, tanah merupakan elemen penting perekonomian, khususnya pertanian. Ada tiga sektor lainnya: industri, perdagangan, dan jasa.
Jika seseorang memiliki tanah, tetapi tidak produktif, khususnya tanah pertanian, misalnya karena kelalaian, tanah diabaikan selama tiga tahun berturut-turut maka hak kepemilikannya akan hangus. Islam menyelesaikan masalah ini dengan mengambil alih kepemilikan tanah oleh negara, secara paksa menyita tanah yang telah diabaikan selama tiga tahun berturut-turut dan kemudian diberikan kepada mereka yang dapat mengelolanya secara produktif.
Untuk menjaga produktivitas lahan, Islam menganjurkan dua metode. Metode pertama melarang pemisahan kepemilikan dan produktivitas. Jika seseorang memiliki lahan pertanian tetapi mengabaikannya sehingga tidak produktif, ia kehilangan hak kepemilikannya, dan negara merampas lahan tersebut serta mengalihkannya kepada pihak yang mampu mengolahnya. Demikian pula, seseorang yang memiliki lahan tetapi tidak mengelolanya sendiri, melainkan menyewanya, juga dianggap memisahkan kepemilikan dari produktivitas. Islam mengatasi masalah ini dengan melarang penyewaan lahan pertanian.
Dalam Islam, seorang kepala negara adalah perisai bagi rakyat. Ia akan melindungi rakyatnya dari berbagai gangguan dan kerusakan dari para kapitalis. Ia tidak akan membiarkan para kapitalis merampas sejangkal tanah rakyat untuk kepentingan bisnis dan investor. Wallahualam.