
Oleh : Nabilah Ummu Yazeed
Linimasanews.id—Masyarakat Indonesia dikejutkan oleh fakta ribuan rekening yang dibekukan sepihak oleh pemerintah, dengan alasan tidak aktif, tidak memiliki arus transaksi, atau diduga terlibat dalam praktik keuangan ilegal. Para nasabah tersebut tidak diberi peringatan terlebih dahulu, tidak pula diberi kesempatan untuk membela diri (KPPOD, 30/07/2025).
Diketahui, pemerintah melalui Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan sejumlah bank membekukan ribuan rekening tersebut sebagai bagian dari upaya pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan aktivitas mencurigakan.
Namun sayangnya, sebagian besar pemilik rekening ternyata tidak memiliki keterlibatan dengan aktivitas kriminal. Banyak di antaranya hanya rakyat biasa yang membuka rekening sebagai sarana menabung, menerima bantuan, atau sekadar menyimpan dana darurat. Kini mereka kehilangan akses terhadap uang mereka sendiri, tanpa proses hukum yang jelas. Kebijakan ini muncul di tengah meningkatnya tekanan fiskal dan kebutuhan pemerintah untuk memperketat kontrol terhadap arus dana.
Di bawah sistem kapitalisme, negara cenderung menomorsatukan stabilitas keuangan negara dan kredibilitas di mata investor asing. Maka, sistem perbankan dijadikan instrumen utama pengawasan dengan memosisikan rakyat sebagai obyek, bukan subjek. Selain itu, adanya standar internasional dari lembaga-lembaga global seperti Financial Action Task Force (FATF) mendorong negara-negara, termasuk Indonesia untuk mengikuti standar ketat atas nama pencegahan kejahatan keuangan meski mengorbankan hak-hak dasar warga negara.
Sistem kapitalisme ini gagal menjamin perlindungan atas hak milik individu. Negara yang seharusnya menjadi pelindung rakyat, justru berubah menjadi pemangsa dengan dalih kepentingan umum. Pembekuan rekening tanpa proses hukum adalah bentuk nyata penindasan struktural. Rakyat kehilangan kendali atas hartanya sendiri karena tunduk pada sistem yang lebih berpihak pada kepentingan korporasi dan elite ekonomi.
Dalam sistem kapitalisme sekuler, negara dijadikan sebagai alat untuk menekan rakyat, bahkan bisa memeras dan merampas harta tanpa hak. Telah banyak kebijakan pemerintah yang memungut dan memalak rakyatnya sendiri dari berbagai hal. Negara seakan-akan mencari beragam celah dari rakyatnya yang berpotensi untuk diambil keuntungan darinya. Tanpa peduli betapa rakyatnya berusaha bertahan hidup di tengah gempuran ekonomi hari ini.
Dengan diberlakukan pemblokiran rekening seperti ini, negara telah melanggar prinsip al-bara’ah Al asliyah (praduga tak bersalah) terhadap rakyat. Padahal dalam sistem Islam, hak milik individu diakui dan dijaga dengan ketat. Negara tidak boleh mengambil, membekukan, atau mengatur ulang kepemilikan harta tanpa dasar syar’i yang jelas dan proses hukum yang adil.
Islam membagi harta dalam tiga kategori: milik individu, milik umum, dan milik negara. Ketiganya memiliki aturan spesifik yang mencegah terjadinya perampasan atau penyalahgunaan kekuasaan. Jika seseorang memiliki harta, walau ia tidak menggunakannya, Islam tidak mengizinkan negara menyitanya selama ia tidak melanggar hukum syariah.
Dalam sejarah Khilafah Islam, para khalifah sangat berhati-hati dalam mengambil keputusan terkait harta rakyat. Misalnya, Khalifah Umar bin Khattab menolak mengambil kembali harta rampasan perang yang telah diberikan kepada prajurit, meskipun secara politis hal itu dianggap perlu. Baginya, hak milik pribadi harus dijaga.
Sementara yang terjadi hari ini, semua menunjukkan bahwa sistem kapitalisme tidak dapat diandalkan untuk menjaga harta, hak, dan kehormatan rakyat. Negara menjadi alat oligarki, bukan pelayan masyarakat. Karena itu, sudah saatnya umat Islam menyadari pentingnya mengembalikan sistem Islam sebagai dasar dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sistem Islam dengan syariat sebagai sumber hukumnya dan khilafah sebagai institusinya telah terbukti selama lebih dari 13 abad menjaga stabilitas, keadilan, dan kemakmuran rakyatnya. Islam tidak membiarkan satu orang pun kehilangan haknya tanpa proses yang adil, tidak juga tunduk pada tekanan asing. Dengan sistem ini, keadilan ditegakkan bukan karena kekuatan uang, tetapi karena ketaatan pada hukum Allah.
Pembekuan rekening rakyat kecil hanyalah satu dari sekian banyak bukti bobroknya sistem yang ada. Maka, umat tidak cukup hanya marah atau resah. Sudah waktunya bergerak, berpikir, dan mengambil sikap tegas: bahwa solusi sejati hanya ada dalam sistem Islam yang diterapkan secara kaffah. Bukan hanya menyelamatkan rekening, tetapi menyelamatkan seluruh umat dari kerusakan sistemis yang telah berlangsung terlalu lama ini.