
Oleh: Khodijah Ummu Hannan
Linimasanews.id—Remaja adalah harapan masa depan. Namun, kini banyak di antara mereka terperangkap dalam gelapnya pergaulan. Alih-alih mengisi hari dengan belajar, sebagian justru terseret pada aksi kekerasan dan pelanggaran hukum.
Kasus-kasus terbaru memperlihatkan potret kelam itu. Di antaranya, dansir detiksumbagsel (10/8/2025), seorang pelajar MTs kelas dua, meregang nyawa setelah lehernya ditusuk gunting oleh JN (9 tahun), siswa kelas 4 SD di Muratara, Sumatera Selatan. Kasus lainnya diberitakan beritasatu.com (4/8/2025), seorang siswa SMK di Bandung tega membunuh temannya sendiri karena cemburu.
Kasus-kasus tersebut tidak hanya menggores duka mendalam, tetapi memunculkan pernyataan, mengapa mereka bisa melakukan tindakan sekejam itu? Data dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menunjukkan lonjakan drastis kasus kekerasan di sekolah. Pada 2024 tercatat 573 kasus kekerasan, meningkat 100% dari tahun sebelumnya (detikcom,27/12/24). Ironisnya, guru menjadi pelaku terbanyak (43,9%), disusul siswa (13,6%) (kompas.com, 28/12/24). Bahkan survei Badan Pusat Statistik (BPA) dan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (BPPA) mengungkap, 4 dari 10 anak perempuan dan 3 dari 10 anak laki-laki pernah mengalami kekerasan, baik fisik, fsikis, maupun seksual (iconomic,13/11/23).
Pola Asuh yang Rusak
Menurut penelitian, terbukti terjalin hubungan erat antara pola asuh orang tua dan bullying. Pola asuh yang permisif (serba membolehkan tanpa batas) membuat anak minim kontrol emosi dan mudah bertindak agresif. Studi di Sukabumi menemukan 68,4% siswa pelaku tawuran berasal dari rumah dengan pola asuh permisif. Artinya, kebebasan tanpa bimbingan bukanlah kasih sayang, tetapi racun yang perlahan membunuh karakter anak (uny.jurnal kajian sosiologi 2023).
Terkait kasus di Muratara, menurut Syarkoni, Psikologis Klinis RSUD Siti Fatimah Sumatera Selatan pun terjadi karena pola asuh, baik dari aktivitas lingkungan, keluarga hingga pertemanan. Bisa juga karena bentuk personality yang mengarah kepada prilaku sadistik (detiksumbagsel, 10/8/25). Mirisnya lagi, hanya 23% orang tua di Indonesia yang pernah mendapatkan pendidikan pengasuhan (parenting, (iconomic,13/11/23). Sisanya, berjalan tanpa panduan, menggunakan insting dan temuan turun-temurun yang seringnya sudah tidak relevan dengan zaman.
Sekolah yang Lupa Menanamkan Karakter
Kita sering membanggakan sistem pendidikan yang “modern” dan “terintegrasi teknologi”. Namun, sayang, kita lupa menanamkan akidah yang kuat, sehingga menghasilkan anak didik yang hanya pintar akademis namun minim iman dan akhlak. Fakta bahwa guru banyak melakukan kekerasan menunjukkan adanya krisis keteladanan di sekolah, sehingga tepatlah peribahasa guru kencing berdiri murid kencing berlari. Pendidikan karakter nyaris hilang, tersisih oleh mengejar nilai ujian dan selesainya bahan ajar.
Kapitalisme: Akar dari permasalahan
Masalah pola asuh dan lemahnya penanaman karakter sejatinya hanyalah masalah cabang. Permasalahan utamanya adalah penerapan sistem kapitalisme sekuler di negeri ini, sebuah sistem yang memisahkan agama dari kehidupan. Dalam pola pikir kapitalisme, peran orang tua sering kali dipersempit hanya pada pemenuhan fisik dan mencukupkan diri ketika sudah memberikan makan, pakaian, tempat tinggal, dan menyekolahkan, tanpa lagi membekali anaknya dengan akidah yang kokoh dan ilmu agama.
Selain itu, kapitalisme juga telah melahirkan sistem pendidikan yang berbasis kurikulum sekuler yang tujuan utamanya adalah materi. Akibatnya, pembentukan akhlak mulia bukan utama, melainkan mencetak generasi yang berorientasi duniawi semata. Begitulah kapitalisme menjerat generasi menjadi sosok materialis.
Islam Menyelamatkan Generasi
Pemuda dalam Islam bukan sekadar kelompok usia muda yang penuh energi, tetapi ujung tombak perubahan dan penentu arah masa depan umat. Maka dari itu, Islam memberikan perhatian khusus terhadap pemuda dan mempersiapkan mereka dengan sebaik mungkin.
Sejarah mencatat, banyak sahabat Rasulullah yang masih berusia belia, namun sudah dipercaya untuk memegang peranan penting. Ali bin Abi Thalib, di usia belasan telah menjadi pembela Rasulullah di malam hijrah. Usamah bin Zaid di angkat menjadi panglima perang pada usia sekitar 18 tahun, memimpin pasukan yang bahkan berisi para sahabat senior. Ini membuktikan bahwa dengan pembinaan yang tepat, pemuda mampu memikul amanah besar.
Pemuda seperti Ali bin Abi Thalib dan Usamah bin Zaid tentu bukanlah dihasilkan dari sistem sekuler. Mereka digembleng dalam sistem pendidikan Islam yang langsung dibina oleh Rasulullah. Maka, ketika ingin kembali memiliki pemuda-pemuda sekelas mereka, langkah pertamanya adalah dengan menghadirkan kembali sistem kehidupan Islam yang menerapkan aturan Islam secara kafah.
Sistem Islam memiliki sistem pendidikan yang khas, yaitu sistem pendidikan yang berbasis akidah Islam. Tujuan utamanya adalah menciptakan generasi berkepribadian Islam, yang memiliki pola pikir dan pola sikap Islam, menjadikan akidah Islam sebagai landasan perbuatan.
Akidah Islam akan ditanamkan sejak usia dini oleh orang tua. Orang tua akan mendidik anak-anaknya dengan limpahan kasih sayang, namun tetap tegas dalam menanamkan aturan Islam. Selain orang tua, guru juga memiliki peran penting dalam pendidikan Islam, yakni sebagai pendidikan yang juga bertugas membentuk kepribadian Islam pada anak didiknya. Dengan urgensinya, maka dalam Islam, guru mendapat kedudukan mulia, gaji yang layak, dan dukungan yang penuh dari negara, sehingga mampu menjalankan perannya dengan optimal.
Selanjutnya, untuk mencetak generasi unggulan, perlu adanya peran negara yang akan menjamin lingkungan sosial yang kondusif, meminimalkan paparan kemaksiatan, dan mendukung kesejahteraan guru serta sarana pendidikan. Ketika sudah gamblang kapitalisme gagal membina generasi, sudah saatnya beralih kepada sistem yang mampu melahirkan generasi unggul, yaitu sistem Islam yang menerapkan syariat Islam secara kafah.