
Editorial—Indonesia telah merdeka selama 80 tahun, tetapi capaian di bidang pendidikan dan kesehatan masih jauh dari cita-cita kemerdekaan. Di berbagai daerah terpencil, fasilitas pendidikan memprihatinkan: sekolah-sekolah reyot, kekurangan guru, dan akses terbatas. Bahkan, angka partisipasi sekolah tingkat SMA mengalami penurunan signifikan. Di sektor kesehatan, masalah serupa terjadi. Layanan kesehatan belum merata, tenaga medis menumpuk di kota besar sementara daerah terpencil kesulitan mendapatkan dokter. Masalah stunting dan gizi buruk masih menghantui, menandakan negara gagal memenuhi hak dasar rakyat. Ironis, kemerdekaan yang seharusnya menjadi jalan menuju kesejahteraan justru belum dirasakan oleh sebagian besar rakyat.
Salah satu penyebab ketimpangan ini adalah sistem kapitalisme yang diterapkan sejak awal kemerdekaan. Kapitalisme memandang pendidikan dan kesehatan sebagai komoditas, bukan hak dasar. Negara lebih berperan sebagai regulator, bukan penyedia layanan. Pendidikan berkualitas hanya tersedia bagi mereka yang mampu membayar mahal, sementara rakyat miskin harus puas dengan fasilitas seadanya. Begitu pula kesehatan: rumah sakit modern dan layanan premium hanya untuk kelas menengah ke atas, sementara rakyat kecil antre panjang di puskesmas dengan fasilitas terbatas. Ketimpangan ini adalah warisan sistem yang menempatkan keuntungan di atas kesejahteraan.
Sektor pendidikan kini semakin terkomersialisasi. Banyak sekolah dan universitas menjadi ladang bisnis, dengan biaya masuk yang tinggi dan fasilitas yang dipatok sesuai kemampuan bayar. Di daerah terpencil, anak-anak harus menempuh perjalanan jauh untuk sekolah, bahkan ada yang terpaksa putus sekolah karena biaya. Pemerintah memang memiliki program wajib belajar, tetapi kualitas pendidikan yang disediakan masih tertinggal jauh dibandingkan negara-negara tetangga. Laporan internasional menunjukkan kualitas pendidikan Indonesia masih berada di peringkat bawah. Padahal, pendidikan adalah kunci kemajuan bangsa. Tanpa sumber daya manusia yang unggul, Indonesia akan terus menjadi negara berkembang.
Di bidang kesehatan, situasinya tak kalah memprihatinkan. Banyak masyarakat tidak mampu mengakses layanan kesehatan karena biaya yang tinggi. Program jaminan kesehatan nasional memang ada, tetapi pelaksanaannya penuh masalah: antrean panjang, ketersediaan obat terbatas, dan rumah sakit sering kali tidak memadai. Data stunting menunjukkan kegagalan negara dalam memastikan gizi dan kesehatan anak-anak. Stunting bukan hanya masalah fisik, tetapi juga mempengaruhi kecerdasan dan masa depan generasi bangsa. Jika masalah ini tidak diselesaikan, bonus demografi yang sering dibanggakan bisa berubah menjadi beban demografi.
Sistem kapitalisme membuat pemerintah lebih fokus pada pembangunan infrastruktur besar ketimbang memenuhi hak dasar rakyat. Jalan tol, bandara, dan proyek prestisius lainnya berdiri megah, tetapi sekolah di pelosok tetap reyot dan rumah sakit penuh sesak. Semua ini menunjukkan bahwa prioritas negara tidak berpihak kepada rakyat kecil. Pemerintah lebih mengutamakan kepentingan investor daripada kesejahteraan warga. Padahal, konstitusi menegaskan bahwa negara harus mencerdaskan kehidupan bangsa dan menyejahterakan seluruh rakyat. Namun, janji itu masih jauh dari kenyataan.
Islam menawarkan paradigma yang berbeda. Dalam Islam, negara adalah ra’in, pengurus dan pelayan rakyat. Pendidikan dan kesehatan adalah hak publik yang harus dijamin oleh negara secara gratis dan merata. Negara Islam membangun sistem pendidikan yang berkualitas, berbasis nilai-nilai Islam, dan menjangkau seluruh wilayah. Sejarah mencatat bahwa pada masa kejayaan Islam, pendidikan dan kesehatan disediakan secara gratis. Banyak universitas dan rumah sakit berdiri megah dan memberikan layanan tanpa memungut biaya. Semua ini dimungkinkan karena negara mengelola sumber daya alam secara langsung untuk kepentingan rakyat.
Dalam sistem Islam, pendidikan tidak sekadar mengejar keterampilan teknis, tetapi juga membentuk kepribadian Islami. Kurikulum dirancang untuk melahirkan generasi beriman, bertakwa, dan berilmu. Negara memastikan setiap individu memiliki akses pendidikan sejak dini hingga tingkat tinggi, tanpa diskriminasi. Begitu pula dengan kesehatan: rumah sakit dibangun dengan fasilitas terbaik, tenaga medis disebar merata, dan seluruh biaya ditanggung negara. Sistem ini telah terbukti dalam sejarah Islam, di mana pelayanan publik menjadi salah satu keunggulan peradaban Islam.
Masalah utama Indonesia bukan hanya keterbatasan anggaran, tetapi paradigma yang keliru. Kekayaan alam negeri ini melimpah, tetapi diserahkan kepada swasta atau asing. Akibatnya, negara bergantung pada pajak dan utang untuk membiayai pendidikan dan kesehatan. Padahal, jika kekayaan alam dikelola negara sesuai syariat, anggaran pendidikan dan kesehatan dapat dipenuhi tanpa membebani rakyat. Kesejahteraan adalah hak rakyat, bukan barang mewah yang hanya bisa dibeli oleh kalangan mampu.
Delapan dekade kemerdekaan seharusnya menjadi momentum untuk mengevaluasi arah bangsa. Apakah kita akan terus terjebak dalam kapitalisme yang menciptakan ketimpangan, atau berani kembali pada sistem yang berpihak kepada rakyat? Sistem Islam bukan sekadar konsep ideal, tetapi solusi praktis yang telah terbukti. Dengan pengelolaan negara berbasis syariat, pendidikan dan kesehatan dapat menjadi hak yang nyata, bukan sekadar janji politik. Perubahan paradigma ini membutuhkan keberanian politik dan kesadaran umat. Tanpa perubahan mendasar, kemerdekaan akan tetap semu bagi rakyat kecil yang tidak merasakan manfaatnya.
Kini saatnya mengajak seluruh elemen bangsa untuk kembali pada cita-cita kemerdekaan sejati. Indonesia tidak akan maju jika pendidikan dan kesehatan terus diperlakukan sebagai komoditas. Saatnya kita membangun sistem yang memuliakan manusia, bukan memuja keuntungan. Islam telah menunjukkan jalannya: negara sebagai pelayan rakyat, kekayaan alam sebagai sumber kesejahteraan, dan pendidikan serta kesehatan sebagai hak setiap warga. Inilah kemerdekaan hakiki yang layak kita perjuangkan.[OHF]