
Editorial—Kekejaman Israel terhadap rakyat Palestina, khususnya di Gaza, terus menorehkan luka yang dalam di hati umat manusia. Berita tentang pembunuhan lima jurnalis Al Jazeera di Gaza baru-baru ini mengguncang dunia. Pembunuhan itu bukan sekadar aksi brutal yang merenggut nyawa, tetapi upaya sistematis untuk membungkam suara perlawanan. Jurnalis, yang sejatinya menjadi saksi sejarah dan penyampai kebenaran, kini menjadi target pembunuhan demi menutupi kejahatan genosida. Pembantaian ini menunjukkan betapa Israel tidak mengindahkan hukum internasional, hak asasi manusia, atau nilai-nilai kemanusiaan yang mereka gembar-gemborkan. Lebih dari itu, tindakan ini mencerminkan ketakutan Israel terhadap kebenaran yang akan mengungkap wajah asli penjajahan mereka.
Sementara itu, Gaza terus dilanda krisis kemanusiaan yang kian parah. Data PBB menyebutkan lebih dari satu juta perempuan dan anak-anak kini berada di ambang kelaparan massal. Bantuan kemanusiaan yang masuk ke wilayah ini terbatas, sementara blokade dan serangan udara menghancurkan infrastruktur vital. Ironisnya, suara-suara kecaman internasional belum cukup untuk menghentikan agresi. Bahkan, di tengah penderitaan itu, Israel melontarkan gagasan “relokasi” penduduk Gaza—rencana yang jelas-jelas melanggar hukum dan mengingatkan pada praktik pembersihan etnis. Sementara itu, sebagian warga Israel sendiri turun ke jalan, menuntut diakhirinya perang. Ini membuktikan bahwa kejahatan rezim Zionis tidak hanya merugikan korban di Gaza, tetapi juga menciptakan perpecahan di dalam negeri mereka.
Sayangnya, dunia Muslim masih berada dalam posisi lemah. Penguasa negeri-negeri Muslim yang memiliki sumber daya besar, baik ekonomi maupun militer, justru tidak menunjukkan keberanian. Nasionalisme sempit dan ketergantungan pada kekuatan Barat membelenggu langkah mereka. Negara-negara Muslim lebih sibuk menjaga hubungan diplomatik dengan Israel atau sekutunya, ketimbang membela saudara-saudara mereka yang dibantai. Padahal, sejarah mencatat bahwa tanah Palestina adalah tanah yang diberkahi, bagian dari wilayah umat Islam yang harus dijaga dengan darah dan nyawa. Ketidakpedulian ini menjadi bukti nyata pengkhianatan penguasa Muslim terhadap amanah umat.
Umat Islam tidak boleh pasrah dalam menghadapi tragedi ini. Pembunuhan jurnalis mungkin berhasil membungkam sebagian media, tetapi tidak akan memadamkan semangat perjuangan rakyat Gaza. Mereka sadar betul kemuliaan tanah mereka, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an, dan mereka rela menanggung penderitaan demi membela kehormatan Islam. Namun, dukungan moral semata tidak cukup. Perjuangan Gaza membutuhkan dukungan nyata, termasuk bantuan politik, militer, dan ekonomi yang terorganisir. Sejarah Islam mencatat bahwa pembebasan Palestina hanya bisa tercapai melalui kekuatan politik dan militer yang bersatu, bukan melalui diplomasi semu atau tekanan internasional yang seringkali bias.
Di sinilah urgensi Khilafah Islamiyah menjadi nyata. Sistem politik Islam ini bukan sekadar konsep teologis, tetapi solusi praktis untuk menghadapi penjajahan. Khilafah memiliki kapasitas untuk menggerakkan seluruh sumber daya umat, menyatukan kekuatan negara-negara Muslim, dan mengirimkan pasukan untuk membela wilayah yang terjajah. Dalam sejarah, Palestina pernah dibebaskan dari penjajah oleh Salahuddin al-Ayyubi, seorang pemimpin yang beroperasi di bawah naungan nilai-nilai Islam. Tanpa kepemimpinan yang kuat, umat Islam akan terus menjadi bulan-bulanan kekuatan global.
Selain aspek politik, Khilafah juga menjamin keadilan informasi. Pembunuhan jurnalis adalah bukti betapa pentingnya media independen untuk melawan propaganda penjajah. Dalam sistem Islam, informasi dipandang sebagai amanah yang harus dijaga, bukan alat manipulasi. Negara Islam akan memastikan suara korban dan kebenaran tidak tenggelam dalam kebohongan media arus utama yang cenderung berpihak pada kepentingan politik Barat.
Tragedi Gaza adalah ujian bagi umat Islam. Apakah kita hanya akan menjadi penonton tragedi terbesar abad ini, atau mengambil langkah konkret untuk mengubahnya? Aktivitas dakwah ideologis menjadi krusial untuk membangkitkan kesadaran umat. Tanpa kesadaran, umat akan terus terpecah dan mudah diadu domba. Dengan dakwah yang benar, umat akan menyadari bahwa solusi bukanlah sekadar bantuan kemanusiaan atau diplomasi, tetapi perubahan sistem yang mendasar.
Sudah saatnya mengajak umat Islam untuk tidak lagi terbuai janji-janji palsu dunia internasional. Kita harus menegaskan bahwa Palestina adalah bagian dari tubuh umat Islam. Rasulullah SAW bersabda, “Perumpamaan kaum mukminin dalam kasih sayang, cinta, dan kelembutan di antara mereka seperti satu tubuh. Jika satu anggota tubuh sakit, seluruh tubuh ikut merasakannya dengan demam dan tidak bisa tidur.” Tragedi Gaza adalah luka kita bersama. Setiap tetes darah yang tumpah di sana adalah seruan bagi kita untuk bangkit.
Khilafah bukanlah mimpi utopis, melainkan solusi riil yang telah terbukti dalam sejarah. Dunia Muslim memiliki populasi lebih dari dua miliar jiwa, sumber daya alam melimpah, dan kekuatan militer yang jika disatukan akan menjadi kekuatan yang tak tertandingi. Semua potensi ini akan sia-sia jika terus dikelola dalam kerangka negara bangsa (nation-state) yang diwariskan penjajah. Nasionalisme yang sempit hanya memperkuat perpecahan dan melemahkan umat. Kini saatnya kita membicarakan Khilafah bukan sebagai utopia, tetapi sebagai keharusan sejarah untuk mengakhiri penderitaan umat Islam di Gaza dan seluruh dunia.[OHF]