
Oleh. Arifah Azkia N.H., S.E. (Aktivis Dakwah Surabaya)
Linimasanews.id—Pada tanggal 13 Agustus 2025 tepat di acara Sarasehan Nasional Ekonomi Syariah Refleksi Kemerdekaan RI, Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menjadi pembicara. Dalam pidatonya ia mengatakan bahwa kewajiban bayar pajak sama seperti menunaikan zakat dan wakaf. Pasalnya, ketiganya memiliki tujuan yang sama, yakni menyalurkan sebagian harta kepada pihak yang membutuhkan dan terdapat hak orang lain di setiap harta yang dimiliki seseorang (Tempo.co).
Sri Mulyani juga mengatakan bahwa pajak yang dibayarkan oleh masyarakat akan dikembalikan ke masyarakat dalam berbagai bentuk. Seperti program perlindungan sosial, hingga adanya subsidi yang manfaatnya langsung dirasakan oleh masyarakat, terutama pada kelompok berpendapatan rendah.
Pernyataan ini sejatinya tidak serta merta muncul begitu saja. Pernyataannya memakai embel-embel islami untuk menarik simpati rakyat dengan menabrakkan konsep pajak, zakat, dan wakaf supaya seolah bertujuan dari rakyat dan untuk rakyat. Padahal, seperti diketahui, tidak sedikit rakyat miskin yang kini telah diblokir secara tiba-tiba bantuan sosialnya dengan dalih salah sasaran, pengelolaan dana bansos dikorupsi, jutaan BPJS dinonaktifkan. Bahkan, PBB dinaikkan berkali-kali lipat, seperti di Cirebon (naik 1000%), Kota Batu (naik 700%), Jombang (naik 400%), Semarang (naik 400%), Pati (naik 250%), dan masih banyak lainnya.
Dalam sistem kapitalis, pajak masih menjadi tumpuan pemasukan APBN. Pemerintah bahkan masih terus mencari peluang objek pajak baru, seperti pajak warisan, pajak royalti lagu, karbon, rumah ketiga, dan juga akan membidik pajak dari pedagang online, pedagang eceran, pedagang emas, hingga perikanan.
Pajak dalam Kapitalisme: Alat Pemalak
Masyarakat terus diimbau agar patuh membayar pajak dengan slogan-slogan “Membayar pajak, bukti cinta Tanah Air”, “Apa kata dunia?”, dan lainnya. Pemerintah pun mengeklaim, pajak ini banyak fungsinya. Di antaranya, (1) fungsi anggaran, yakni membiayai semua pengeluaran negara seperti gaji pegawai negeri, gaji tentara, untuk pembayaran hutang pemerintah, dan membiayai pembangunan; (2) fungsi regulasi, terkait kebijakan fiskal seperti bea masuk untuk menekan impor; (3) fungsi stabilitas, seperti untuk mengendalikan gejolak harga; (4) Fungsi pemerataan untuk menebar keadilan.
Namun, secara faktual, pajak lebih banyak memudaratkan kehidupan rakyat pada umumnya. Demikian pula, semua fungsi yang disebutkan tidak satu pun berbicara demi kepentingan rakyat. Bagaimana rakyat tidak merasa muak dengan pajak rasa palak? Di tengah berbagai kesempitan hidup yang dirasakan, berbagai kewajiban pajak terus dibebankan. Nyaris tidak ada objek kekayaan milik rakyat yang tidak kena beban bayar pajak.
Di sisi lain, sumber daya alam yang seharusnya untuk rakyat, justru diserahkan pada swasta atau korporasi kapitalis, sehingga rakyat terbebani dua kali: sumber daya alam dikuasai korporasi, lalu hasil kerja mereka masih pula dipajaki.
Perbedaan Kontras Pajak dengan Zakat dan Wakaf
Dalam Islam, konsep zakat adalah kewajiban yang telah ditetapkan Allah sebagai salah satu rukun Islam, dengan nisab dan kadar yang jelas yang bertujuan untuk menyucikan jiwa dan harta, sekaligus membantu fakir miskin juga delapan golongan mustahik lainnya.
Sebagaimana di dalam QS.At-Taubah:60 Allah berfirman, “Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, para amil zakat, orang-orang yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) para hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk orang-orang yang sedang dalam perjalanan (yang memerlukan pertolongan), sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.”
Maka, zakat bukanlah sebagai instrumen negara untuk menutupi defisit, melainkan ibadah yang berdimensi sosial, mengalirkan harta dari yang mampu kepada yang membutuhkan, dan hukumnya wajib.
Sedangkan wakaf adalah sedekah jariyah sekaligus menjadi investasi akhirat bagi pewakaf. Hartanya yang dipergunakan dalam tujuan wakaf tidak boleh dijual atau diwariskan, melainkan hanya dimanfaatkan untuk kemaslahatan. Manfaat dari benda yang disedekahkan pun tentu tidak boleh untuk kegiatan yang melanggar syariat. Wakaf bisa untuk masjid, pesantren, sekolah dan sejenisnya tanpa adanya pungutan. Hukumnya sunah.
Dalam Islam, pajak (dharibah) hanya berlaku ketika keadaan darurat, misalnya jika Baitulmal kosong sementara ada kebutuhan mendesak (misalnya jihad, bencana, atau keamanan umat), bukan menjadi sumber utama keuangan negara. Dharibah hanya dipungut dari laki-laki Muslim yang kaya (yang sudah memenuhi kebutuhan primer dan sekunder) dengan kadar besarnya sesuai kebutuhan mendesak dan hanya bersifat sementara. Dengan demikian, dharibah hanya sebagai instrumen darurat, bukan sistemis. Adapun sumber pendapatan negara berasal dari pengelolaan SDA milik umum, fai’, kharaj, jizyah, ghanimah, ‘ushr dan zakat.
Khatimah
Dari uraian di atas, maka negeri yang memaksa rakyat membayar pajak tidak dapat dibenarkan, apalagi sampai menganggapnya setara dengan konsep zakat dan wakaf. Nabi saw. bersabda : “Tidak akan masuk surga pemungut pajak (al-muks).” (HR. Abu Dawud, Ahmad, dan disahihkan Al-Albani)
Perbedaan pengelolaan ekonomi ini menunjukkan bahwa Islam bukan sekadar agama ritual, melainkan juga mampu menjadi solusi ideologis yang mengatur tata kelola ekonomi dengan adil dan manusiawi. Jika kapitalisme melahirkan ketimpangan dan eksploitasi, maka Islam menghadirkan distribusi kesejahteraan, baik kepada seluruh kaum muslim ataupun nonmuslim.
Karenanya, sudah saatnya umat menyadari bahwa keadilan hakiki dan kesejahteraan sejati tidak lahir dari kapitalisme, melainkan hanya dari penerapan Islam secara kaffah dalam bingkai tegaknya daulah Khilafah, sehingga tercipta kemaslahatan termasuk dalam pengelolaan keuangan negara.