
Editorial—Pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menyamakan pajak dengan zakat dan wakaf memicu perdebatan publik. Di tengah tekanan fiskal negara, pemerintah mengupayakan berbagai cara untuk meningkatkan penerimaan pajak, termasuk dengan mencari objek pajak baru seperti pajak warisan, karbon, dan kepemilikan rumah ketiga. Namun, membandingkan pajak dengan zakat dan wakaf jelas menyesatkan. Pajak, zakat, dan wakaf lahir dari filosofi yang berbeda: pajak adalah instrumen negara modern berbasis kapitalisme, sedangkan zakat dan wakaf merupakan bagian dari sistem keuangan Islam yang berpijak pada akidah dan hukum syariah. Penyamaan istilah ini tidak hanya membingungkan umat, tetapi juga menutupi akar masalah ketimpangan ekonomi yang semakin nyata di negeri ini.
Dalam sistem kapitalisme, pajak dijadikan tulang punggung APBN. Negara menjadikan pajak sebagai sumber utama pendapatan, sementara pengelolaan sumber daya alam—yang seharusnya menjadi milik publik—diserahkan kepada pihak swasta atau korporasi asing. Akibatnya, rakyat yang sebenarnya pemilik sumber daya harus menanggung beban ganda: kehilangan akses terhadap kekayaan alam dan dipaksa membayar pajak yang tinggi. Ironisnya, dana pajak ini tidak sepenuhnya kembali kepada rakyat. Sebaliknya, ia digunakan untuk membiayai proyek-proyek besar yang lebih banyak menguntungkan elite politik dan pemilik modal. Tak heran jika kesenjangan sosial semakin melebar, sementara rakyat kecil semakin tercekik.
Kebijakan pajak di negara kapitalis juga sarat dengan diskriminasi. Pajak dikenakan tanpa memandang kemampuan ekonomi secara nyata. Rakyat kecil yang penghasilannya pas-pasan tetap harus membayar pajak konsumsi seperti PPN atau pajak barang-barang tertentu, yang secara tidak langsung memperbesar biaya hidup. Sebaliknya, korporasi besar sering mendapat keringanan, bahkan tax amnesty, yang membuat mereka semakin kaya. Kapitalisme memfasilitasi akumulasi kekayaan di tangan segelintir orang, sementara mayoritas rakyat harus berjuang untuk bertahan hidup. Ketidakadilan inilah yang melahirkan kritik tajam terhadap sistem perpajakan modern.
Dalam Islam, konsep pajak tidak dikenal seperti dalam kapitalisme. Ada istilah kharaj, jizyah, dan dharibah, tetapi sifatnya sangat berbeda. Dharibah hanya dikenakan dalam kondisi darurat, ketika kas negara kosong, dan hanya kepada Muslim kaya yang memiliki kelebihan harta. Ini bukan instrumen rutin seperti pajak dalam kapitalisme. Dengan kata lain, beban negara tidak secara otomatis dibebankan kepada seluruh rakyat, terutama mereka yang miskin. Pajak dalam Islam bukanlah tulang punggung keuangan negara, melainkan mekanisme darurat untuk menutup kebutuhan sesaat. Negara Islam memiliki banyak sumber pendapatan lain yang jauh lebih stabil dan berkeadilan.
Sumber utama pemasukan negara dalam sistem Islam adalah kepemilikan umum, seperti pengelolaan sumber daya alam, tambang, dan energi. Kekayaan alam tidak boleh diprivatisasi atau diserahkan kepada swasta, apalagi asing. Negara mengelola langsung sumber daya tersebut dan hasilnya dikembalikan untuk kesejahteraan rakyat. Dengan mekanisme ini, negara tidak bergantung pada pajak untuk menjalankan fungsinya. Bahkan, zakat menjadi salah satu pilar penting yang dikelola oleh negara untuk mendistribusikan kekayaan kepada delapan golongan yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an (QS. 9:60). Zakat bukan sekadar kewajiban sosial, tetapi mekanisme distribusi kekayaan yang adil.
Wakaf juga memegang peran penting dalam ekonomi Islam. Wakaf adalah bentuk sedekah jariyah yang bersifat sukarela dan terus-menerus memberi manfaat bagi masyarakat. Di masa kejayaan Islam, wakaf menjadi sumber pembiayaan pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur publik. Banyak universitas dan rumah sakit ternama di dunia Islam berdiri kokoh selama ratusan tahun berkat dana wakaf. Ini membuktikan bahwa Islam memiliki mekanisme ekonomi yang kuat untuk memenuhi kebutuhan masyarakat tanpa harus membebani rakyat dengan pajak tinggi.
Menyamakan pajak dengan zakat dan wakaf berarti mengabaikan perbedaan mendasar antara kapitalisme dan Islam. Kapitalisme memandang pajak sebagai instrumen wajib yang dipungut dari semua orang tanpa memandang kemampuan, sedangkan zakat adalah kewajiban ibadah dengan syarat-syarat tertentu. Wakaf bersifat sukarela, dan dharibah hanya dipungut sementara dalam kondisi darurat. Penyamaan istilah ini seolah menjustifikasi kebijakan pajak yang memberatkan rakyat, sekaligus memoles wajah kapitalisme agar tampak “islami”. Padahal, yang dibutuhkan adalah keberanian untuk mengubah sistem ekonomi secara fundamental, bukan sekadar memoles istilah.
Ketergantungan pada pajak juga mencerminkan kegagalan negara dalam mengelola kekayaan alam. Indonesia, dengan kekayaan tambang, minyak, gas, dan sumber daya alam lainnya, seharusnya mampu membiayai pembangunan tanpa harus memeras rakyat. Namun, karena kekayaan tersebut diserahkan kepada swasta, negara kehilangan sumber pendapatan yang sah. Akhirnya, rakyat menjadi tumpuan terakhir untuk mengisi kas negara melalui pajak. Inilah buah pahit kapitalisme: rakyat miskin dipaksa menanggung beban, sementara segelintir elite menikmati hasil.
Ekonomi Islam menawarkan jalan keluar. Dengan konsep kepemilikan publik dan negara yang berfungsi sebagai pengatur utama, sumber daya alam dapat dikelola untuk kepentingan rakyat. Negara Islam (Khilafah) memiliki sumber pendapatan dari fai’, ghanimah, usyur, kharaj, jizyah, zakat, dan pengelolaan harta milik umum. Pajak (dharibah) hanya digunakan ketika semua sumber tersebut tidak mencukupi, sehingga pajak bukan instrumen utama. Sistem ini terbukti dalam sejarah: pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, kekayaan negara begitu melimpah hingga sulit menemukan orang miskin yang layak menerima zakat.
Sepatutnya kita mengajak untuk melihat akar persoalan ekonomi dengan jernih. Beban pajak yang mencekik bukan sekadar masalah teknis fiskal, tetapi buah dari sistem kapitalisme yang menindas. Penyamaan pajak dengan zakat dan wakaf tidak akan menghapus ketidakadilan itu. Solusi nyata adalah kembali pada sistem ekonomi Islam yang telah terbukti menyejahterakan rakyat. Saatnya umat Islam menyadari bahwa zakat dan wakaf bukanlah sekadar ibadah individual, tetapi instrumen sosial yang dirancang untuk membangun peradaban yang adil dan makmur. Pajak kapitalisme hanya akan memperdalam jurang ketimpangan; sementara sistem Islam menutup jurang itu dengan distribusi kekayaan yang benar.[OHF]