
Editorial—Wacana tentang gaji dan tunjangan anggota DPR kembali menjadi sorotan publik setelah sejumlah laporan media mengungkapkan angka fantastis yang mereka terima: lebih dari Rp100 juta per bulan. Rinciannya berlapis: gaji pokok, tunjangan kehormatan, tunjangan perumahan, tunjangan transportasi, hingga tunjangan beras dan bensin. Ironisnya, kabar ini menyeruak di tengah kesulitan ekonomi rakyat, inflasi yang menggerus daya beli, dan angka kemiskinan yang stagnan. Pertanyaan mendasar pun mencuat: apakah besaran tunjangan ini pantas, atau justru menunjukkan wajah asli demokrasi kapitalisme?
Dalam sistem demokrasi kapitalisme, jabatan politik kerap dilihat sebagai tangga sosial-ekonomi, bukan amanah. Proses pemilihan yang mahal, budaya transaksional, dan pengaruh oligarki membentuk lingkaran setan: politik menjadi ajang investasi, bukan pengabdian. Tak mengherankan bila para politisi merasa wajar menetapkan angka tunjangan tinggi bagi diri mereka sendiri. Mereka bukan hanya legislator, tetapi sekaligus penentu kebijakan anggaran. Di sinilah letak ironi terbesar: pejabat publik memiliki kuasa untuk menentukan fasilitas pribadi yang dibiayai uang rakyat.
Jika kita menengok praktik di negara-negara maju, besaran gaji pejabat memang relatif tinggi. Namun, transparansi, kinerja, dan akuntabilitas juga tinggi. Di Indonesia, citra DPR justru sering tercoreng isu korupsi, rendahnya produktivitas legislasi, serta keterputusan dari aspirasi rakyat. Wajar jika publik bereaksi keras ketika mengetahui detail tunjangan yang terkesan berlebihan, seperti tunjangan beras dan bensin, fasilitas rumah dinas, hingga kendaraan dinas yang tidak jarang tumpang tindih.
Kritik terhadap ketimpangan ini tidak sekadar soal nominal. Lebih dalam, ia mencerminkan ketidakadilan struktural yang mengakar dalam sistem demokrasi kapitalisme. Di satu sisi, rakyat menanggung beban pajak, biaya hidup tinggi, dan terbatasnya akses layanan publik. Di sisi lain, elite politik menikmati privilese yang justru semakin menjauhkan mereka dari realitas rakyat. Akibatnya, kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif terus merosot.
Islam menawarkan perspektif berbeda tentang jabatan publik. Dalam sejarah Islam, jabatan adalah amanah, bukan sarana mencari keuntungan. Para khalifah dan pejabat negara hidup sederhana, bahkan sebagian menghindari pemanfaatan fasilitas negara secara berlebihan. Umar bin Khattab dikenal menolak mengambil gaji besar dan hanya mengambil nafkah sekadar cukup untuk keluarganya. Rasulullah SAW menegaskan bahwa pemimpin adalah pelayan umat, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah atas setiap kebijakannya.
Jika prinsip ini diterapkan, anggota legislatif bukanlah profesi untuk memperkaya diri. Gaji dan tunjangan diberikan sesuai kebutuhan dasar, bukan untuk gaya hidup mewah. Sistem syariat memastikan pengelolaan harta negara untuk kepentingan rakyat, bukan elite. Negara bertugas menyediakan kebutuhan pokok masyarakat, pendidikan, kesehatan, keamanan, dan kesejahteraan bukan mengalokasikan anggaran besar untuk fasilitas pejabat.
Fenomena tunjangan DPR adalah cermin masalah lebih luas: politik uang, budaya materialisme, dan lemahnya integritas pejabat publik. Perubahan kosmetik, seperti pemotongan gaji, tidak cukup jika sistem yang melahirkan ketimpangan ini tetap dipertahankan. Dibutuhkan transformasi menyeluruh yang menempatkan politik sebagai amanah, bukan komoditas. Dalam konteks Islam, keimanan menjadi benteng moral, sementara syariat memberi kerangka hukum yang adil dan transparan.
Kasus ini seharusnya menjadi momentum refleksi. Masyarakat perlu lebih kritis, bukan hanya terhadap angka tunjangan, tetapi juga sistem politik yang memproduksinya. Elite politik pun perlu menyadari bahwa legitimasi mereka di mata rakyat terus terkikis. Sejarah mencatat, bangsa yang membiarkan ketimpangan merajalela akan menghadapi krisis kepercayaan yang pada akhirnya meruntuhkan stabilitas.[OHF]