
Oleh: M. U. Fatin Muthiah (Aktivis Muslimah)
Linimasanews.id—Di tanah Gaza, dunia kembali menyaksikan lahirnya generasi yang ditempa dalam suasana perang yang tidak berimbang. Di tengah dentuman bom yang menghancurkan rumah, sekolah, hingga fasilitas kesehatan, di balik penderitaan akibat blokade yang melumpuhkan, bahkan di tengah kepedihan kehilangan keluarga, anak-anak Gaza tetap teguh dengan cita dan mimpinya. Mereka terus berpegang pada Al-Qur’an, tetap belajar, tetap berprestasi, dan tidak berhenti bercita-cita mempertahankan tanah suci mereka.
Sementara itu, di banyak perguruan tinggi, termasuk di negeri-negeri muslim, terlihat fenomena berbeda. Generasi muda justru banyak yang terjebak pada kondisi psikologis yang dikenal sebagai duck syndrome. Istilah ini mula-mula populer di Universitas Stanford, Amerika Serikat, untuk menggambarkan mahasiswa yang tampak tenang di luar, tetapi di balik itu mereka mengayuh dengan panik demi menanggung tekanan ekspektasi yang menjerat.
Fenomena duck syndrome kini menjadi persoalan global. Banyak mahasiswa tampak baik-baik saja, namun sebenarnya sedang berjuang keras menghadapi stres, tekanan sosial, dan tuntutan hidup. Tidak sedikit yang akhirnya jatuh pada depresi (Kompas.com, 22/8/2025). Realitas ini menunjukkan, sistem kapitalisme gagal membentuk generasi yang tangguh. Sebaliknya, justru melahirkan jiwa-jiwa rapuh yang mudah runtuh.
Ketangguhan Anak Gaza: Didikan Berbasis Qur’an
Rahasia keteguhan anak-anak Gaza terletak pada pendidikan yang mereka terima. Meski berada dalam situasi perang, keluarga dan masyarakat tetap menjadikan anak-anak sebagai generasi penjaga Al-Aqsa. Orang tua hingga kakek-nenek mengajarkan Al-Qur’an, menyampaikan sejarah perjuangan Islam, dan menanamkan kesadaran politik akan pentingnya membebaskan tanah suci. Mereka sadar betul bahwa generasi muda adalah aset berharga untuk melanjutkan jihad hingga meraih kemenangan.
Karena itu, meskipun banyak yang telah kehilangan orang tua, mereka tetap bersekolah. Bagi mereka, belajar adalah bagian dari perjuangan, bukan sekadar rutinitas. Mereka tidak tumbuh dengan mental korban, tetapi dengan jiwa pemenang. Inilah hasil dari pendidikan Qur’ani yang melahirkan pribadi Islam dengan kesadaran hidup: mengabdi kepada Allah dan menjaga kehormatan umat.
Di sisi lain, mahasiswa di negeri-negeri muslim yang berada dalam naungan sistem sekuler justru banyak yang kehilangan arah. Tuntutan akademik, gaya hidup materialistis, dan standar kesuksesan kapitalistik menjerumuskan mereka pada kecemasan yang tak berkesudahan. Tampak aktif, produktif, dan berprestasi, tetapi batinnya rapuh dan gamang.
Fenomena ini sejatinya lahir dari sistem kapitalis yang menanamkan standar semu: sukses diukur dengan harta, jabatan, dan gelar. Generasi muda tidak pernah diarahkan untuk memahami hakikat hidup. Mereka jauh dari keimanan, minim kesadaran politik, dan kehilangan visi hidup sebagai muslim. Tak heran, stres dan depresi makin marak melanda generasi.
Ketangguhan anak-anak Gaza seharusnya menjadi cermin bagi mahasiswa muslim. Jika mereka yang hidup di bawah bom bisa tetap tegar dan berprestasi, mengapa generasi muda yang hidup dalam suasana aman justru mudah rapuh? Bedanya terletak pada iman dan identitas. Anak-anak Gaza paham siapa mereka, yakni hamba Allah, penjaga Al-Aqsa, sekaligus bagian dari umat Islam yang dipanggil untuk berjihad.
Sementara itu, banyak mahasiswa muslim kini kehilangan jati diri. Mereka terjebak dalam standar hidup ala kapitalisme, mengejar nilai, karier, dan status sosial, tanpa mengaitkannya dengan tujuan ibadah. Akibatnya, hidup terasa hampa, penuh tekanan, dan kehilangan makna.
Fenomena duck syndrome ini tak akan selesai hanya dengan terapi individu atau motivasi singkat. Akar masalahnya terletak pada sistem sekuler kapitalis yang menjauhkan generasi dari iman. Islam kaffah menawarkan jalan keluar dengan mengajarkan bahwa hidup adalah ibadah kepada Allah dan ukuran sukses adalah ketaatan serta amal saleh.
Demikian pula, tragedi Gaza tidak mungkin berhenti tanpa adanya kekuatan politik umat. Hanya Khilafah yang mampu menyatukan kaum muslimin, menggerakkan kekuatan militer untuk membebaskan Palestina, sekaligus membina generasi dengan pendidikan Qur’ani yang menanamkan ketangguhan sejak dini.
Penutup
Generasi Gaza menunjukkan bahwa keteguhan lahir dari iman, bukan dari keadaan yang serba mudah. Mereka terus belajar, tetap bercita-cita, dan berprestasi di tengah perang. Sebaliknya, generasi muda di negeri-negeri aman justru terjerat stres dan depresi akibat standar hidup kapitalistik.
Sudah saatnya pemuda muslim menjadikan Gaza bukan hanya objek simpati, tetapi juga teladan perjuangan. Jalan keluar dari krisis generasi tidak terletak pada motivasi instan, melainkan pada perubahan sistem menuju Islam kaffah. Dengan penerapan syariat Islam dalam naungan Khilafah, generasi muda akan lahir sebagai pribadi tangguh, umat pun akan kembali merasakan kemuliaan hidup dalam rida Allah.