
Suara Pembaca
Aksi demonstrasi yang berujung anarkis di sejumlah wilayah menyisakan kerusakan, baik transportasi, gedung pemerintah dan komersial, juga fasilitas umum lainnya. Di Jakarta, terjadi kerusakan cukup parah akibat adanya pembakaran gerbang tol, halte Transjakarta, hingga stasiun MRT (31/8).
Demonstrasi yang terjadi belakangan ini bukan hanya menyoal satu masalah saja. Aksi ini merupakan akumulasi kekecewaan publik terhadap elite politik dan kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada rakyat. Salah satunya, tunjangan fantastis anggota parlemen telah menyakiti perasaan rakyat kecil.
Sejatinya, demonstrasi adalah wujud ekspresi rakyat dalam menyampaikan pendapat secara kolektif, terutama saat jalur formal (seperti parlemen) dianggap tidak lagi mewakili suara rakyat sebagai penyeimbang kekuasaan. Sayangnya, demonstrasi yang seharusnya dilakukan dengan tertib dan sesuai dengan prosedur, berubah menjadi kekecewaan dan kemarahan publik yang tidak terbendung.
Kericuhan dalam demonstrasi bukanlah tujuan awal. Hal itu muncul sebagai akibat dari sistem yang gagal dan lamban dalam merespons suara rakyat. Belum lagi ada pihak-pihak maupun oknum tertentu yang sengaja ingin menyulutkan amarah peserta dan membenturkannya kepada pihak-pihak tertentu, salah satunya kepada aparat yang bertugas di lapangan. Hal ini memperkeruh suasana. Dalam hal ini, para petinggi negara mesti segera hadir membuka ruang-ruang diskusi bagi masyarakat untuk mendengarkan tuntutan mereka, mengkaji ulang serta merealisasikan
Indonesia adalah negara mayoritas penduduk muslim terbesar. Bagi seorang muslim, ada mestinya dijunjung tinggi. Islam mengajarkan berkasih sayang terhadap sesama, bijak dalam menyampaikan pendapat, dan perdamaian. Seyogianya umat Islam mengindahkan bahwa dalam Islam, tidak dibenarkan aksi kekerasan, anarkisme apalagi sampai menyebabkan hilangnya nyawa seseorang yang tidak bersalah.
Devi Arianti