
Oleh: Melda Utari (Pengajar dan Aktivis Dakwah Islam)
Linimasanews.id—Kabar meningkatnya tunjangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di temgah kondisi ekonomi masyarakat yang masih jauh dari kata sejahtera memicu polemik. Ironis, ketika rakyat berjuang menghadapi harga kebutuhan pokok yang kian melambung, para wakil rakyat yang gajinya sudah tinggi memperoleh tambahan fasilitas berupa kenaikan tunjangan.
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mendapatkan tunjangan rumah senilai Rp50 juta per bulan, sehingga total gaji dan tunjangan mereka menjadi lebih dari Rp 100 juta per bulan (Beritasatu, 20/8/2025). Padahal, data BPS menunjukkan angka kemiskinan di Indonesia masih jutaan orang. Tingkat pengangguran juga masih tinggi.
Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: untuk siapa sebenarnya kebijakan anggaran negara ini berpihak? Apakah pada kesejahteraan rakyat atau justru pada kenyamanan pejabat?
Kenaikan tunjangan DPR yang menuai polemik ini mencerminkan wajah nyata sistem politik yang dijalankan hari ini. Demokrasi kapitalis menjadikan jabatan politik bukan sekadar amanah, melainkan juga ladang untuk memperkaya diri. Logika yang dipakai adalah logika materi: makin tinggi jabatan, makin besar pula hak istimewa yang didapat.
Padahal, fungsi DPR adalah mewakili rakyat menyuarakan aspirasi, serta mengawasi jalannya pemerintahan agar berpihak pada kepentingan umum. Namun realitasnya, keputusan-keputusan yang diambil sering kali lebih menguntungkan kelompok elite politik daripada rakyat banyak. Tidak heran jika publik merasa kecewa dan kehilangan kepercayaan terhadap institusi politik.
Dari sisi ekonomi negara, peningkatan tunjangan pejabat di tengah keterbatasan APBN jelas menambah beban. Uang negara seharusnya dialokasikan untuk pelayanan dasar masyarakat seperti pendidikan, kesehatan, lapangan kerja. Bukan untuk memanjakan pejabat.
Perspektif Islam
Islam memandang kekuasaan dan jabatan sebagai amanah, bukan jalan mencari keuntungan pribadi. Rasulullah saw. mengingatkan bahwa pemimpin adalah pelayan umat, bukan penguasa yang bebas menikmati fasilitas negara. Dalam sistem pemerintahan Islam (khilafah), pejabat hanya diberi gaji sekadar mencukupi kebutuhan wajar hidupnya, bukan fasilitas mewah atau tunjangan berlebihan.
Selain itu, pengelolaan harta negara dalam Islam berlandaskan prinsip keadilan. Dana Baitulmal diprioritaskan untuk kepentingan rakyat. Yakni, menjamin kebutuhan pokok setiap individu, memberikan layanan pendidikan dan kesehatan gratis, serta membuka lapangan pekerjaan. Tidak ada celah bagi pejabat untuk memperkaya diri dari uang negara.
Dengan demikian, solusi hakiki dari persoalan ini bukan sekadar menolak kenaikan tunjangan DPR, melainkan meninggalkan sistem yang memberi ruang bagi keserakahan pejabat. Jika kenaikan tunjangan DPR adalah cermin rapuhnya sistem kapitalisme demokrasi, Islam menghadirkan konsep kepemimpinan yang bersih, adil, dan berpihak sepenuhnya kepada umat. Hanya dengan penerapan aturan Islam secara menyeluruh, amanah kekuasaan dapat benar-benar dijalankan demi kesejahteraan rakyat, bukan kesejahteraan segelintir elite.