
Oleh: Sadiqa
Linimasanews.id—Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Kalimat ini kini sangat sering terngiang. Penyebabnya, kehidupan masyarakat yang aman, nyaman, dan sejahtera, tidak dirasakan oleh sebagian besar masyarakat. Gejolak yang terus terpendam lama akhirnya meledak juga. Sepanjang akhir bulan Agustus hingga awal September, tercatat berbagai demonstrasi dilakukan dari berbagai kalangan masyarakat.
Publik kecewa negara telah dikuasai oleh para kapitalis yang bertujuan untuk mengumpulkan pundi-pundi keuntungannya semata. Pengelolaan sumber daya yang seharusnya merupakan kewajiban negara, diserahkan dengan mudah kepada swasta. Pemerintah hanya tunduk dengan berbagai iming-iming timbal balik yang dianggap menggiurkan, padahal justru menyengsarakan masyarakat. Kebijakan dibuat sebagai tameng untuk melindungi dan memberi keuntungan bagi kelompok tertentu.
Demokrasi yang selalu mengagungkan jargon “dari rakyat untuk rakyat”, realitasnya justru wakil rakyat memikirkan perut sendiri. Akhirnya, tersisa nasib buruk bagi rakyat: kesejahteraan tidak tercukupi, rasa aman tidak terjamin, keadilan hilang, hingga menimbulkan berbagai permasalahan yang makin kompleks. Sebagian yang sudah tak berdaya pun akhirnya memilih untuk bunuh diri sekeluarga.
Lalu, ke manakah pemimpin bangsa yang dulu selalu memberikan janji manis? Di manakah para wakil rakyat yang bersumpah untuk menjadi garda terdepan menjamin kesejahteraan? Semua itu hanya tipu daya para kapitalis.
Kebangkitan Umat
Sebagai manusia yang dilahirkan dengan fitrah mempertahankan diri, tentu seorang muslim tidaklah hanya diam ketika mendapati kezaliman di sekitarnya. Sewajarnya kezaliman yang saat ini terjadi menggugah perasaan dan pemikiran hingga memunculkan keinginan untuk melawan.
Aksi unjuk rasa juga datang dari kalangan generasi Z (Gen Z). Mereka menyuarakan aspiranya melalui media sosial, poster, dan media visual lainnya. Mengutip Kompas.com (3/9/2025), Psikolog Anak dan Remaja Anastasia Satriyo, M.Psi. mengungkapkan, aksi yang saat ini terjadi bukan hanya fenomena terkait dengan politik, melainkan juga merupakan refleksi dari perkembangan identitas diri, mekanisme untuk bertahan dalam kondisi stres dan nilai sosial sebagai generasi muda.
Sejatinya, aksi demonstrasi merupakan salah satu cara untuk mengoreksi penguasa, melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Namun demikian, penyelenggaraannya juga haruslah sesuai dengan syariat, yakni tidak disertai dengan ikhtilat (campur baur) dan tidak boleh menggunakan kekerasan (anarkis) ataupun senjata.
Terhadap aktivitas mengoreksi penguasa yang zalim, Rasulullah saw. bersabda, ”Pemimpin para syuhada (di surga kelak) adalah Hamzah bin Abdil Muthallib dan seorang laki-laki yang berdiri di hadapan imam (penguasa) yang zalim, lalu laki-laki itu melakukan amar ma’ruf nahi munkar kepada imam itu, lalu imam itu membunuhnya.” (HR. Al Hakim, Al Mustadrak, No. 4884).
Jelaslah bahwa Islam merupakan jawaban atas segala permasalahan yang sesuai dengan fitrah manusia. Segala sesuatu telah diatur dalam syariat dengan aturan yang memberikan ketenangan dan menjamin kesejahteraan rakyat. Aturan dalam hal kepemimpinan, Islam mampu menjawab berbagai tantangan, baik dalam persoalan sosial, pendidikan, kesehatan, ekonomi, bahkan persoalan iklim dan krisis global.
Dalam Islam, seorang pemimpin wajib memiliki ketakwaan dan kepribadian yang kuat sehingga mampu memikul tanggung jawab dengan baik, menyelesaikan persoalan yang terjadi dengan cepat dan tepat. Dalam hal mengoreksi pemimpin, secara syariat, rakyat diperbolehkan untuk melakukan kritik kepada penguasa. Hal itu kini juga bisa dilakukan melalui berbagai forum, seperti kajian di masjid, kampus, diskusi online, surat opini atau tulisan artikel, unggahan di media sosial dan masih banyak lainnya.
Kini, sudah saatnya suara rakyat menjadi titik tolak bagi kebangkitan umat. Suara rakyat atas kesengsaraan yang tejadi harus diungkap. Jeritan rakyat yang menyiksa lahir dan batin harus segera diselesaikan dengan solusi Islam.